Di antaranya adalah Mekah, tempat para jamaah
haji melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah), sa’i (lari-lari kecil), dan
tahallul (memotong rambut). Kemudian, Arafah, suatu padang tandus tempat para
jamaah haji melakukan perenungan dan berdoa sebanyak-banyaknya. Lalu, Mina,
tempat para jamaah haji melontar tiga macam jumrah, dan seterusnya hingga
ritual haji selesai. Pertanyaannya, apa rahasia yang terkandung dalam
pelaksanaan ibadah haji itu, apakah ia hanya sekadar ritual belaka, atau ada
makna luhur di balik semua ritual tersebut?
Berdasarkan pemahaman itulah, Dr Ali Syariati,
melalui buku ini, mengajak kita untuk menyelami ritual haji menuju makna
sesungguhnya. Ia juga menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh
hikmah. Karena, haji, dalam pemahamannya bukan sekadar ritual wisata yang hampa
makna, haji merupakan sebuah langkah maju menuju ‘pembebasan diri’, bebas dari
penghambaan kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang
Sejati. Melalui buku ini, Dr Ali Syari’ati juga akan memberitahu kita tentang
siapa saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita,
yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya. Mulai
dari penafsiran makna ritual miqat, Ka’bah, tawaf, sa’i, Arafah, Mina, hingga
makna ritual kurban, Idul Adha, Ali Syari’ati, dengan bahasa yang khas
memberikan pemahaman yang begitu komprehensif bagi kita tentang makna haji.
Memahami makna haji, dalam konteks ini
membutuhkan pemahaman secara khusus dengan sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya,
karena praktik-praktik ritual ibadah ini memiliki keterkaitan dengan
pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim bersama keluarganya. Para ilmuwan
seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang memengaruhi atau
bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi, seperti ditulis al-Akkad,
penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim merupakan penemuan manusia terbesar
dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat
dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom
betapa pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut.
Haji, dalam pemahaman Syari’ati, merupakan
kepulangan manusia kepada Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan
dan yang tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan
gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai
dan fakta-fakta. Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan
manusia bukanlah untuk binasa, tetapi untuk ‘berkembang’. Tujuan ini bukan
untuk Allah, tetapi untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Makna-makna tersebut
dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam
tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk
nyata atau simbolik dan semuanya, pada akhirnya mengantarkan seorang haji hidup
dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
Semisal, dalam konteks niat sambil menanggalkan
pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih
universal dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pakaian ihram melambangkan pola,
preferensi, status dan perbedaan-perbedaan tertentu. Tak dapat disangkal bahwa
pakaian, pada kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda
antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat
mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga
dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makany, di tempat
di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus
ditanggalkan.
Semua harus
memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus
ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di Miqat ini, apapun ras dan suku harus
dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai
serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan
kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan
penghambaan) harus di tinggalkan. Semua ditinggalkan ketika Miqat dan seorang
haji berperan sebagai manusia yang sesungguhnya. Di Miqat, dengan mengenakan
dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuh
manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang
melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini.
Ia akan merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang
akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ka’bah yang dikunjungi, dalam pemahaman
Syari’ati, mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di
sana, misalnya, ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di
sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka’bah ini pernah berada dalan pangkuan
Ibunya yang bernama Hajar, seorang perempuan hitam, miskin, bahkan budak, yang
konon kuburannya pun di tempat itu. Namun demikian, budak perempuan ini
ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi
pelajaran bahwa Allah memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan
atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk
menjadi Hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari
keterbelakangan menuju peradaban.
Selain itu, melalui buku setebal 260 halaman ini,
Syari’ati juga mengupas makna pengorbanan Ismail yang hingga kini diabadikan
umat muslim di seluruh penjuru dunia, makna Idul Adha, makna bermalam di Mina
serta makna beberapa ritual lainnya. Syari’ati, melalui buku ini, hendak
menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya haji bukanlah sekadar prosesi
lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk
mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata lain, orang yang sudah
berhaji haruslah menjadi manusia yang ‘tampil beda’ (lebih lurus hidupnya)
dibanding sebelumnya, dan ini adalah kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita
hanyalah wisatawan yang berlibur ke Tanah Suci di musim haji, tidak lebih. Buku
ini amat penting untuk dibaca oleh siapapun, sebagai upaya untuk menumbuhkan
kesadaran baru akan makna haji yang hakiki.
Haji mabrur, menurut M. Quraish Shihab, ditandai dengan berbekasnya makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di tanah suci, sehingga makna-makna tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari. "Pakaian biasa" ditanggalkan dan "pakaian ihram" dikenakan. Menanggalkan pakaian biasa, kata Quraish Shihab, berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Bukankah ibadah haji adalah kehadiran memenuhi panggilan Allah?
Kakbah merupakan lambang dari wujud dan Keesaan Allah.
Bertawaf di sekelilingnya melambangkan aktivitas manusia yang tidak pernah
terlepas dari-Nya. Kakbah bagaikan matahari yang menjadi pusat tata surya dan
dikelilingi oleh planet-planetnya. Pertanyaannya, apakah setelah bertawaf,
segala aktivitas masih terikat oleh daya tarik Tuhan Yang Maha Esa? Kalau
tidak, maka poros haji Anda keluar dari orbitnya. Artinya hajinya belum
mencapai maqam haji mabrur.
Sai adalah lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi. Kita tahu, bukankah Hajar (ibu Ismail a.s.) mondar-mandir di sana mencari air untuk puteranya? Pertanyaannya, apakah sepulang dari menunaikan ibadah haji masih akan berpangku tangan menanti turunya "hujan" dari langit atau akan berusaha dengan segala kemampuan untuk melepaskan "dahaga" kehidupan?.
Sai adalah lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi. Kita tahu, bukankah Hajar (ibu Ismail a.s.) mondar-mandir di sana mencari air untuk puteranya? Pertanyaannya, apakah sepulang dari menunaikan ibadah haji masih akan berpangku tangan menanti turunya "hujan" dari langit atau akan berusaha dengan segala kemampuan untuk melepaskan "dahaga" kehidupan?.
Kalau
usahanya, ternyata masih berangkat dari kekotoran dan tidak bermuara pada
penghargaan dan kemurahan hati, maka tentunya jauh panggang dari api terhadap
nilai yang didapat dari ibadah haji tersebut.
Arafah berarti pengenalan. Yakni dimaksudkan agar para jemaah haji diharapkan mampu mengenal jati dirinya, menyadari kesalahan dan kekeliruannya, serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Dan yang lebih penting lagi adalah menyadari akan kebesaran dan keagungan Sang Penciptanya.
Arafah berarti pengenalan. Yakni dimaksudkan agar para jemaah haji diharapkan mampu mengenal jati dirinya, menyadari kesalahan dan kekeliruannya, serta bertekad untuk tidak mengulanginya. Dan yang lebih penting lagi adalah menyadari akan kebesaran dan keagungan Sang Penciptanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar