Salah satu
tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara
manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan
keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau
merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan
Yang Mahaesa.
Wahai seluruh manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan
dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa
(QS 49: 13).
Kedudukan
perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau
dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan
perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad
Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir,
menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun,
maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi
dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan
mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan
Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak
dijadikan bahan perbandingan."190
Almarhum
Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di
Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir
dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan
Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang
menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang
bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan
yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan."191
Banyak
faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan
tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan,
sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan
yang tidak dibenarkan itu.
Berikut ini
akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam
menyangkut perempuan, dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam
berbagai bidang.
Berbedakah
asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan
kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah
setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah
mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?
Demikian
sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak
sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam
dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat
abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan
tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama
surah Al-Nisa':
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan
darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.
Demikian
Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan)
dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa
dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik
yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa
ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya)
yang berbunyi:
Saling pesan-memesanlah
untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk
yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu
Hurairah).
Benar ada
hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan
diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat
kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah
menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad
Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum
kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21)
dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang
keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."192
Tulang rusuk
yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa
hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama
dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki
untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat
bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana
fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Memahami
hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui
kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
Dalam Surah
Al-Isra' ayat 70 ditegaskan bahwa:
Sesungguhnya Kami telah
memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk
memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk
yang Kami ciptakan.
Tentu,
kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula
penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya,
baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah
Ali'Imran yang menyatakan: Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain,
dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal
dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni
perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin ini sama-sama
manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan
kemanusiaannya.
Dengan
konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS
3:195).
Pandangan
masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis
oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran
seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan:
Dan apabila seorang dari
mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah
wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu.
(Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa
yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).
Ayat ini dan
semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala
macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang
kemanusiaan.
Dari
ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya
tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang
membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk
dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:
Maka
setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).
Lalu
keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari
keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).
Kalaupun ada
yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam),
yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:
Kemudian setan membisikkan
pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya
tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS
20:120).
Demikian
terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta
meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan
kedudukan dan asal kejadiannya.
Al-Quran
berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut
menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan
kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh
perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan.
Secara umum
surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
Bagi lelaki hak (bagian)
dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa
yang dianugerahkan kepadanya.
Berikut ini
akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut
pandangan ajaran Islam.
Salah satu
ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan
hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat
71:
Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum,
ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama
antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan
dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata
awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan,
sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang
ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk
memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan
perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar
masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai
bidang kehidupan.193
Keikutsertaan
perempuan bersama dengan lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat
disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari
kandungan sabda Nabi Muhamad saw.:
Barangsiapa yang tidak
memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan
mereka.
Kepentingan
(urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas
sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya.
Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang
kehidupan politik.194
Di sisi
lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk
bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.
Urusan mereka (selalu) diputuskan
dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat ini
dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik
bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura
(musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang
kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti
setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa
mengadakan musyawarah.
Atas dasar
ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak
tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami
sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat
--termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan
betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa
kecuali.
Al-Quran
juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan
bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam
surah Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara,
pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan
perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan
kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai
pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat,
bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.195
Harus diakui
bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa'
ayat 34, Lelaki-lelaki adalah pemimpin
perempuan-perempuan... sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat
dalam persoalan politik. Karena --kata mereka-- kepemimpinan berada di tangan
lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan
mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di
atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh
ayat yang disebutkan itu.
Ayat
Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami)
terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan
ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak
pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan
suami.
Kenyataan
sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam
soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi
Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik
(jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi
Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan
'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu
terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya
Khalifah Ketiga, Utsman r.a.
Peperangan
itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan
Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam
peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut
paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Kalau kita
kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam,
maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif
dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di
dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain,
dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan
tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat
memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari
pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara
singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa
"perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan dan
aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam,
sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan,
bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi),
Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain,
tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam
Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan
kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad,
Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban,
dan lain-lain.
Di samping
itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang
pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti
Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay196
--istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan
sebagainya.
Dalam bidang
perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat
sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang
tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad,
kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi
kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada
perempuan ini dengan sabdanya:
Apabila Anda akan membeli
atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli
atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan
bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri Nabi
saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi
Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.197
Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar
r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.198
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau
menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw.
banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan
waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda:
Sebaik-baik
"permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah
memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi'
Al-Anshari).
Aisyah r.a.
diriwayatkan pernah berkata: "Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik
daripada tombak di tangan lelaki."
Tentu saja
tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada
pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada
akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama
ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma
agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum
wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan
tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat
diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma)
dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi
pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan
sebagai hakim.
Dalam
beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap
orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya
kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain". Atas dasar
kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab
fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita
menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam
berbagai bidang.199
Terlalu
banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban
belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan.
Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang
telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan
sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki
maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka
semua dituntut untuk belajar:
Menuntut
ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah).
Para
perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka
memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus
untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja
dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran
memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang
kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan
mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut
tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas
pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat
yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran
menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Maka Tuhan mereka
mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun
perempuan..." (QS 3:195).
Ini berarti bahwa
kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang
mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam
raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai
disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas
untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka
masing-masing.
Banyak
wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi,
Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula
sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang
dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.:
Ambillah setengah
pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian
juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian
Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah
salah seorang guru Imam Syafi'i200
(tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di
seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu
Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab
tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara
Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan
Abdul-Latif Al-Baghdadi.201
Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw.
tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap
perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi
juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu,
sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai
tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqarri,
dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi,
memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah
mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada
akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam
bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya
dalam bidang ini.202
Harus diakui
bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa
kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan
disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas
hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula
mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal
ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan
mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya
kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga,
pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan
yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih
banyak daripada soal-soal keagamaan."203
Demikian
sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.
Tentunya
masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan
dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa
mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara
sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat
dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi
dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin
itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan atas yang lain:
Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak
dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka
peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka
peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).
Maha Benar
Allah dalam segala firman-Nya.
Catatan kaki
190
Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, Kairo, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, 1964, h. 138.
191
Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil
Azhar, 1959, h. 193
192
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H jilid IV,
h. 330.
193
Amin Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam
Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad, t.t., h. 13.
194
Ibid.
195
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama'
Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986, h. 60.
196
Ibrahim bin Ali Al-wazir, Dr., 'Ala Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis 'Asyar, Kairo, Dar
Al-Syuruq 1979, h. 76.
197
Lihat biografi para sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma' Al-Shahabat,
karya Ibnu Hajar, jilid IV.
198
Muhammad Al-Ghazali, op.cit., h. 134.
199
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 71.
200
Ibid., h. 77.
201
Abdul Wahid Wafi, Prof. Dr., Al-Musawat fi Al-Islam, Kairo, Dar Al-Ma'arif,
1965, h. 47.
202
Ibid.
203
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit., h. 79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar