BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Esa.[1]
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan ialah akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan Ibadah.[2]
Menurut Prof.
Khoirudin Nasution, pernikahan adalah kesepakatan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk menjadi pasangan yang saling menghalalkan, saling
memiliki, saling memberi hak dan saling menolong dalam rangka berusaha secara
bersama mencapai kebahagian bersama. Dengan definisi ini, usaha sama-sama
dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, kebahagian. Demikian juga tujuan dari
usaha bersama dirasakan bersama pula, yakni kebahagiaan bersama. Dengan
definisi ini pula ada keselarasan antara tujuan hidup, kebahagiaan, dan tujuan
perkawinan, kebahagiaan anggota keluarga.[3]
Pernikahan merupakan seruan agama yang harus
dijalankan oleh manusia bagi yang mampu untuk berkeluarga. Banyak sekali hikmah
yang dapat diambil dari sebuah pernikahan selain sunnatullah yang telah
digariskan ketentuannya, pernikahan juga dapat membuat kehidupan seseorang
menjadi lebih terarah, tenang, tentram dan bahagia. Pernikahan adalah sebagai
perantara untuk menyatukan dua hati yang berbeda, memberikan kasih sayang,
perhatian dan kepedulian antara laki-laki dan perempuan. Disamping, seruan
agama pernikahan juga merupakan ibadah, karena dengan pernikahan dilakukan
untuk menyempurnakan separoh agamanya.[4]
Pernikahan menjadi pintu gerbang dalam pembangunan
keluarga merupakan sesuatu yang amat penting. Kalimat dalam akad nikah yang
begitu mudah dan ringan diucapkan
sebenarnya memiliki konsekuensi dan tanggungjawab yang sangat berat, inilah
kadang kala yang tidak disadari oleh orang yang melakukan pernikahan.[5] Dengan
perkawinan, mereka tentu menginginkan terciptanya suatu keluarga atau rumah
tangga yang bahagia sejahtera lahir dan batin serta memperoleh keselamatan
hidup dunia dan akhirat. Dari keluarga sakinah inilah kelak akan terwujud
masyarakat yang rukun, damai serta makmur, material dan spiritual. Kehidupan
keluarga dan masyarakat yang semacam inilah yang menjadi cita-cita dan tujuan
pembangunan nasional yang sedang dan akan terus dilaksanakan oleh pemerintah
dan rakyat Indonesia.[6]
Dengan demikian, dengan adanya pernikahan tersebut diharapkan akan
terwujud rumah tangga yang baik, melahirkan generasi yang baik dan memberi
manfaat bagi agama, masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, terwujudnya
ketahanan keluarga menjadi sesuatu yang amat penting agar perjalanan keluarga
bisa berlangsung sebagaimana yang diharapkan.[7]
Dalam
mengarungi bahtera kehidupan, kehidupan keluarga tidak lepas dari berbagai
goncangan yang bisa membahayakan keluarga, ada konflik suami isteri,
ketidakharmonisan antara menantu dan
mertua, hubungan orang tua dengan anak atau sebaliknya yang tidak menyenangkan,
campur tangan keluarga besar dalam menghadapi persoalan keluarga sampai
pengaruh tetangga atau masyarakat sekitar yang tidak selalu baik dalam
perjalanan keluarga. Dengan demikian menjalani kehidupan keluarga seringkali
berhadapan dengan problema.
Belakangan
ini, gejala keterpecahan keluarga seakan menjadi suatu fenomena. Hal ini
ditandai dengan maraknya perselingkuhan , kawin cerai, free sex, narkoba,
kenakalan remaja, meningkatnya jumlah anak jalanan karena lari dari rumah dan
sebagainya. Munculnya gejala negatif tersebut seakan-akan sebagai pertanda
berakhirnya institusi keluarga di satu
sisi. Di sisi lain pernikahan sebagai simbol formal pembentukan keluarga baru,
sejatinya terkonstruksi secara religius, kian hari tumbuh sekedar sebagai trend
gaya hidup.Pernikahan tidak lebih dari sebuah pementasan kemewahan yang jauh
dari nilai-nilai religius.
Fenomena
keretakan keluarga dan desakralisasi pernikahan begitu menghiasi perjalanan
kehidupan manusia sekarang ini tidak lain karena dalam kehidupan modern ini
sedang terjangkiti faham kenisbian.
Dimana setiap entitas keluarga kehilangan daya kendali untuk dapat menyadari
nilai-nilai hidup. Dalam keluarga modern saat ini dominan berlaku hubungan
kausalitas yang seringkali distilahkan toleransi organik, di mana hubungan
antara ayah,ibu, dan anak tidak lebihdari sebuah hubungan kepentingan material
sesaat, bukan hubungan yang berlandaskan kasih sayang. Tujuan utamanya hanyalah
bagaimana untuk dapat mempertahankan hidup di tengah kompetisi materialisme dan
kapitalisme. Pola hidup keluarga yang organis akibat tingginya mobilitas sosial
yang berlebihan pada akhirnya lambat
laun akan menghantarkan institusi keluarga ke jurang kepunahan, sehingga jauh dari impian
terwujudnya keluarga yang sakinah, sebagai tujuan utama dari sebuah pernikahan.[8]
Dalam
menghadapi problema hidup, sangat penting bagi insan keluarga untuk terus
mengokohkan ketakwaan kepada Allah sebab dalam kamus orang yang bertakwa tidak
ada istilah buntu dalam artipersolan tidak bisa dipecahkan. Kemampuan
menyelesaikan problema yang dihadapi menjadi amat penting dalam hidup ini,
dengan mengendalikan persoalan itu sehingga kehidupan dapat berjalan sebagaimana
mestinya.[9]
Dalam era
globalisasi, ketahanan keluarga sangat penting untuk diperhatikan. Keluarga
sebagai kelompok terkecil dalam sebuah negara harus mempunyai ketahanan
keluarga yang menjadi pondasi untuk menangkal segala macam gangguan dari luar. Kehidupan masyarakat kita sekarang
dengan tantangan yang sedemikian berat menuntut kehadiran keluarga yang
memiliki ketahanan yang baik sehingga
diharapkan akan lahir masyarakat dengan ketahanan pribadi yang baik karena
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dan bangsa. Untuk itu, perlu
adanya perhatian khusus terhadap pembangunan keluarga yang berkarakter.[10]
Tugas dan kewajiban orang tua terhadap anaknya
harus dilaksanakan dengan baik. Adapun membina adalah segala upaya pengelolaan atau penanganan
berupa ; merintis , meletakkan dasar , melatih, membiasakan, memelihara,
mencegah, mengawasi menyantuni, mengarahkan serta mengembangkan kemampuan suami
isteri (orang tua) untuk mewujudkan
keluarga sakinah dengan mengadakan dan menggunakan segala daya upaya dan dana
yang dimiliki.[11]
Dengan demikian, keluarga adalah tempat menempa generasi penerus bangsa agar
menjadi anak bangsa yang berakhlak mulia
(berkarakter mulia).
Dalam UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendali diri,kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.[12]
Pendidikan
dalam agama Islam pada dasarnya adalah proses pembentukan watak, sikap,
perilaku Islami yang meliputi iman (aqidah), islam(syari’at) dan ihsan (akhlaq,etika
dan tasawuf).Tujuan pokoknya adalah
mempersiapkan peserta didik agar mampu menjadi khalifah Allah yang akram yang berarti lebih bertakwa pada Allah dan yang shalih dalam arti mampu
mengelola, mengembangkan dan melestarikan alam.[13]
Karakter adalah cara berpikir
dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan
siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.[14]
Pendidikan
akhlak(karakter) dalam Islam bertujuan agar manusia berada dalam kebenaran, di
jalan yang lurus, jalan yang telah
digariskan oleh Allah SWT. Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak atau karakter mulia merupakan tujuan
pokok dalam pendidikan akhlak Islam. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika
perbuatannya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an.[15]
KUA sebagai ujung tombak Kementerian Agama dalam memberikan pelayanan
dan bimbingan kepada masyarakat dan KUA
bersentuhan langsung dengan berbagai masalah
di masyarakat. Oleh karena itu,
keberadaan KUA menjadi sorotan dan tolok ukur kualitas pelayanan dari
Kementerian Agama.Untuk itulah, KUA dituntut untuk bisa memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat. Prima dalam arti bekerja cepat , tepat, efektif dan
efesien sesuai standar oprasional prosedur yang berlaku demi mencapai kepuasan
masyarakat.[16]
Terkait dengan tugas
yang diembannya, maka KUA ikut andil dan berperan dalam mengantarkan
keluarga-keluarga muslim Indonesia menjadi keluarga yang berkarakter mulia,
sebab setiap keluarga muslim ketika melangsungkan pernikahan tentunya membutuhkan
petugas KUA untuk menghadiri, mengawasi dan mencatat terjadinya
pernikahan tersebut, yang merupakan tugas pokok KUA di bidang pencatatan
perkawinan. Dengan demikian, KUA
mempunyai peran penting dan strategis dalam ikut mewujudkan masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia menjadi masyarakat, bangsa dan negara yang
berkarakter.
B.
Perumusan Pokok Masalah
Dari uraian tersebut di atas maka dapat
dikemukakan rumusan pokok masalah yang akan
dibahas dan dikaji dalam penulisan ini, yaitu :
1.
Bagaimanakah peran
KUA dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ?
2.
Bagaimanakah
peran KUA dalam pembinaan karakter
bangsa?
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan pada perumusan pokok masalah
di atas, maka tujuan penulisan ini
adalah :
a. Untuk
mengetahui peran dan tugas Kantor
Urusan Agama (KUA) dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
b. Untuk
mengetahui peran Kantor Urusan Agama (KUA) dalam pembinaan karakter bangsa.
2.
Manfaat Penulisan
Berkaitan dengan tujuan penulisan di
atas , maka signifikansi penulisan ini
adalah sebagai berikut :
a.
Aspek teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat pada
khazanah teoritis dan ilmiah yang mengacu pada kajian epistemologis menyangkut
peran dan tugas Kantor Urusan Agama (KUA) dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
b.
Aspek Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi wawasan dan landasan pentingnya karakter (akhlak) bagi pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) dalam melakukan
tugas pelayanan pada masyarakat sehingga mampu mengoptimalkan peran Kantor Urusan
Agama (KUA) dalam pembinaan karakter
bangsa.
D.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi
dalam beberapa bab yaitu :
BAB I.
PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan dan Sistematika
Penulisan.
BAB II. KAJIAN
TEORITIS DAN METODOLOGI PENULISAN
Bab
ini terdiri dari : Kajian Teoritis dan
Metodologi Penulisan.
BAB III. PERAN KANTOR
URUSAN AGAMA (KUA) DALAM PEMBINAAN KARAKTER BANGSA
Bab
ini terdiri dari : Peran, Tugas dan Fungsi
Kantor Urusan Agama (KUA) Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara, dan Peran Kantor Urusan
Agama (KUA) Dalam Pembinaan Karakter Bangsa.
BAB. IV. KESIMPULAN.
Bab
ini terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI PENULISAN
A.
Kajian Teoritis
Pembangunan
bidang agama sebagai bagian integral dari pembangunan nasional merupakan
pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, agama menjadi
landasan moral dan etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pemahaman dan pengamalan agama secara benar diharapkan dapat mendukung
terwujudnya manusia Indonesia yang yang religius, demokratis, mandiri,
berkualitas, sehat jasmani rohani serta tercukupi kebutuhan material spiritual.[17]
Kementerian
Agama memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam
peningkatan wawasan keagamaan, penguatan peran agama dalam pembentukan
karakter dan peradaban bangsa, dan peningkatan kerukunan umat beragama dalam
pembangunan kerukunan nasional. Terkait dengan penguatan peran agama dalam
pembentukan karakter dan peradaban bangsa, maka hasil yang diharapkan adalah
peningkatan kualitas pribadi umat beragama, peningkatan harkat dan martabat
umat beragama dalam membangun jati diri bangsa, peningkatan peran umat beragama
dalam membangun harmoni antar peradaban, penguatan peran lembaga sosial
keagamaan, dan peningkatan peran agama dalam pembangunan nasional.[18]
Kantor Urusan Agama
berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 tahun 2002
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota pada pasal 11-14 tentang Tugas Bidang
Agama Islam di lingkungan Kantor Urusan Agama memiliki otoritatif dalam
memberikan pelayanan dan bimbingan di bidang Urusan Agama Islam.[19]
Dikatakan sebagai unit kerja terdepan,
karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Keberadaan KUA dinilai
sangat urgen seiring keberadaan Kementerian Agama. Hal ini menunjukan bahwa
peran KUA sangat strategis, bila dilihat dari keberadannya yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat, terutama yang memerlukan pelayanan bidang Urusan
Agama Islam . [20]
Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, keadilan, ketaatan,
kejujuran misalnya merupakan bentuk-bentuk moral yang tinggi yang sepanjang
masa memperoleh pujian dari manusia. Dalam sejarah tidak pernah dicatat bahwa
ketidakadilan, kelaliman, kepalsuan dan pemungkiran janji boleh ditegakkan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Persaudaraan, kasih
sayang dan kemurahan hati juga telah dinilai sepanjang masa. Sedangkan keakuan,
kebengisan, kekikiran dan kecongkakan tidak pernah dibenarkan oleh masyarakat
manapun. Manusia yang mempunyai rasa tanggung jawab besar dan melakukan
tugasnya dengan penuh bakti selalu dikagumi, dan sebaliknya manusia yang tidak
bertanggungjawab dan melalaikan tugasnya tidak pernah mendapat pembenaran dari
pihak manapun.
Eksistensi,
kemuliaan dan kejayaan sebuah bangsa tergantung akhlaknya, demikian juga
keterpurukan, kehinaan dan kehancurannya. Awal dan sumber segala kebaikan
adalah akhlak, demikian juga segala keburukan bersumber dan bermuara kepada
akhlak. Apabila sebuah bangsa mengalami krisis moral dan akhlak, maka bangsa
tersebut akan berbuat dlalim, berbuat kerusakan terhadap alam maupun kedlaliman
terhadap sesamanya. Dampak dari kedlaliman tersebut adalah timbulnya berbagai
musibah, balak dan bencana, baik yang bersumber dari alam maupun manusia.[21]
Karakter
adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia buat.[22] Pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas
Lickona, tanpa ketiga aspek ini pendidikan karakter tidak akan efektif. Jadi,
yang diperlukan dalam pendidikan karakter tidak cukup dengan pengetahuan lantas
melakukan tindakan yang sesuai dengan pengetahuannya saja. Hal ini karena
pendidikan terkait erat dengan nilai dan norma.[23]
Dengan demikian, pendidikan karakter terkait dengan dengan pilar cinta Tuhan
dan segenap ciptaanNya, hormat dan santun, dermawan, suka tolong menolong atau
kerjasama, baik dan rendah hati.[24]
Pendidikan
dalam agama Islam pada dasarnya adalah proses pembentukan watak, sikap,
perilaku Islami yang meliputi iman (aqidah), islam(syari’at) dan ihsan
(akhlaq,etika dan tasawuf).Tujuan
pokoknya adalah mempersiapkan peserta didik agar mampu menjadi khalifah
Allah yang akram yang berarti lebih
bertakwa pada Allah dan yang shalih
dalam arti mampu mengelola, mengembangkan dan melestarikan alam.[25]
Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan
pembangkit lahirnya masyarakat dan bangsa. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang
kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat bangsa akan menjadi sehat dan kuat.
Keluarga mempunyai andil yang besar bagi bangun runtuhnya suatu masyarakat.
Walaupun harus diakui pula bahwa masyarakat secara keseluruhan dapat
mempengaruhi pula keadaan para keluarga. Kalau dalam literatur keagamaan
dikenal ungkapan al-mar’atu ‘imad al-bilad (wanita adalah tiang negara), maka pada hakekatnya
tidaklah meleset bila dikatakan al-usrah ‘imad al-bilad biha tahya wabiha
tamut (keluarga adalah tiang negara, dengan keluargalah negara bangkit atau
runtuh).[26]
Jalinan perekat
bagi bangunan keluarga adalah hak dan kewajiban yang disyariatkan Allah
terhadap ayah, ibu, suami dan isteri serta anak-anak. Hak dan kewajiban serta
peraturan yang ditetapkan dalam keluarga tidak lain tujuannya kecuali untuk
menciptakan keharmonisan dalam hidup berumah tangga yang pada akhirnya
menciptakan suasana aman, bahagia, dan sejahtera bagi seluruh masyarakat
bangsa.
Keluarga adalah umat kecil yang
memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak
dan kewajiban masing-masing anggotanya. “Umat besar” atau satu negara demikian
pula halnya. Al-Qur’an menamakan satu komunitas sebagai umat, dan ibu yang
melahirkan anak keturunannya sebagai umm. Kedua kata tersebut terambil
dari akar kata yang sama , karena ibu yang melahirkan itu dan yang
dipundaknya terutama dibebankan pembinaan anak dan kehidupan rumah tangga yang
merupakan tiang umat, tiang negara dan bangsa.[27]
Tujuan berkeluarga adalah untuk membentuk keluarga sakinah. Keluarga
sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi
hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih
sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, serta
mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan
dan akhlak mulia.[28]
Keluarga sakinah disebut juga dengan
keluarga maslahah, yakni keluarga yang kebutuhan pokoknya dapat terpelihara.
Kebutuhan dimaksud meliputi kebutuhan lahir dan batin, kebutuhan fisik
-material dan moral-spritual. Pengertian tersebut berangkat dari cita-cita kaum
muslimin sebagai keluarga maslahah, perorangan, keluarga dan masyarakat, sebab
maslahah adalah terpelihara kebutuhan pokok manusia yakni agama, jiwa, harta
benda , keturunan dan akal.[29]
B.
Metodologi Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini termasuk penelitian kualitatif karena berusaha menyimpulkan, menganalisa
dan membuat interpretasi mengenai peran KUA dalam pembinaan karakter bangsa.
Pendekatan
yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah historis, yuridis, psikologis, sosiologis maupun filosofis. Hal
ini penulis gunakan untuk mengetahui
peran KUA dalam pembinaan
karakter bangsa.
2.
Metode
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dengan cara mengumpulkan buku-buku, majalah-majalah atau
artikel-artikel yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penulisan peran KUA dalam pembinaan karakter bangsa. Metode ini disebut dengan
dokumentasi.[30]
Data yang dikumpulkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah
data pokok yang berkaitan dan diperoleh secara langsung dari obyek penelitian.
Sumber data primer adalah sumber data yang memberikan data penelitian secara
langsung.[31]
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data-data yang diambil dari
buku-buku ataupun artikel yang berkaitan dengan masalah peran KUA dalam
pembinaan karakter bangsa. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh
lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek
penelitiannya. [32]
Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari buku-buku ,
majalah-majalah ataupun artikel yang secara tidak langsung berkaitan dengan
masalah peran KUA dalam pembinaan karakter bangsa.
3.
Metode Analisis
Metode
analisis yaitu cara penanganan suatu obyek ilmiah tertentu dengan cara
mengalihkan suatu penelitian dengan pengertian lain.[33]
Metode ini digunakan untuk
menjelaskan atau kejelasan obyek yang
diteliti, sehingga mendapatkan kesimpulan yang benar dan mempunyai validitas yang tinggi. Setelah
memperoleh data-data dari kepustakaan peneliti mengklasifikasikan atau
mengelompokkan sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas, setelah
itu data-data disusun dan dikelompokkan,
kemudian dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a.
Metode deduktif
yaitu penerapan suatu kebenaran umum pada fakta yang bersifat khusus. Ini
sebagaimana yang dikatakan oleh Sutrisno Hadi bahwasanya apa yang dipandang
benar pada semua peristiwa dalam satu jenis, berlaku pula sebagai suatu yang
benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam kelas atau jenis itu.[34]
Metode ini digunakan dalam menjelaskan peran KUA dalam pembinaan karakter bangsa.
b.
Metode induktif
yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus , peristiwa-peristiwa yang
konkrit dan khusus itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.[35]
Metode ini digunakan untuk menjelaskan penelitian peran KUA dalam pembinaan karakter bangsa, sehingga ditemukan formulasi kajian tentang
peran KUA dalam pembinaan karakter bangsa.
c.
Metode reflektif
thingking yaitu berfikir yang prosesnya mondar mandir antara yang empiri
dengan yang abstrak. Empiri yang khusus dapat saja menstimulasi berkembangnya
konsep yang abstrak yang luas, dan menjadikan mampu melihat relevansi empiri
pertama dengan empiri-empiri yang lain yang termuat dalam konsep abstrak baru yang dibangunnya[36].
Metode reflektif thingking digunakan untuk melihat peran KUA pembinaan karakter bangsa.
BAB III
PERAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)
DALAM PEMBINAAN KARAKTER BANGSA
A.
Peran, Tugas
dan Fungsi Kantor Urusan Agama (KUA)
Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara
Dalam KMA No. 517/2001
disebutkan bahwa Kantor Urusan Agama Kecamatan dan bertanggungjawab kepada
Kepala Kantor Departemen Agama(Kementerian Agama) Kabupaten/Kota yang dikoordinasi oleh kepala
seksi Urusan Agama Islam/Bimas Islam/Bimas dan Kelembagaan Agama Islam. Kantor
Urusan Agama Kecamatan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kantor
Departemen Agama (Kementerian Agama)
Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah Kecamatan.
Kantor Urusan Agama Kecamatan dipimpin oleh seorang Kepala.
Berdasarkan KMA No.517/2001 dan PMA No.11/2007 Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja
terdepan Kementerian Agama yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di
bidang Agama Islam, di wilayah Kecamatan. Sebagai front terdepan dari
Kementeian Agama, KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Oleh karena itu, wajar bila keberadaan KUA dinilai sangat urgen
seiring keberadaan Kementerian Agama. Fakta sejarah juga menunjukan bahwa kelahiran
KUA hanya berselang sepuluh bulan dari
kelahiran Kementerian Agama tepatnya tanggal 21 Nopember 1946. Hal ini menunjukkan
bahwa peran KUA sangat strategis, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat,
terutama yang memerlukan pelayanan bidang Urusan Agama Islam.
Adapun fungsi Kantor Urusan
Agama sebagaimana dalam KMA Nomor 517 tahun 2001, KUA Kecamatan memiliki
fungsi:
1) Menyelenggarakan
Statistik dan Dokumentasi;
2) Menyelenggarakan surat
menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga KUA
Kecamatan;
3) Melaksanakan pencatatan
nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan
ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah, sesuai dengan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Direktur Jendeeral Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
KUA
sebagai ujung tombak Kementerian
Agama dalam memberikan pelayanan dan bimbingan
kepada masyarakat, KUA bersentuhan langsung dengan berbagai masalah di masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan KUA menjadi sorotan dan tolok ukur
kualitas pelayanan dari Kementerian Agama.Untuk itulah, KUA dituntut untuk bisa
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Prima dalam arti bekerja cepat ,
tepat, efektif dan efesien sesuai standar oprasional prosedur dan kepuasan
masyarakat yang dilayani.
Sesuai peran, tugas, dan fungsi KUA
, maka otoritas KUA merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari Kementerian Agama,
yang berada di lingkungan wilayah tingkat kecamatan yang memiliki fungsi
dan peranan yang sangat penting dalam pembinaan agama Islam di Indonesia. Sebagai unit pelaksana
operasional Kementerian Agama, mekanisme kegiatan perkantoraan ditandai
aktifitas pelayanan administrasi dalam bentuk pelayanan dan bimbingan agama
pada masyarakat sebagai wujud koordinasi baik vertikal maupun horisontal,
meliputi: administrasi NTCR, kemesjidan, perwakafan, bimbingan keluarga
sakinah, zakat dan ibadah sosial, serta adminstrasi keuangan.
Kantor Urusan Agama berdasarkan
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 tahun 2002 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota pada pasal 11-14 tentang Tugas Bidang Agama
Islam di lingkungan Kantor Urusan Agama memiliki otoritatif dalam memberikan
pelayanan dan bimbingan di bidang Urusan Agama Islam.
Dalam PMA No. 39 Tahun 2012 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama, KUA adalah unit pelaksana tehnis
Dirjen Bimas Islam yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian
Agama Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam. Adapun kedudukan KUA berada di wilayah kecamatan. Dalam melaksanakan
tugas KUA menyelenggarakan fungsi :
a.
Pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan dan
pelaporan nikah dan rujuk
b.
Penyusunan statistik, dokumentasi dan pengelolaan
sistem manajemen KUA
c.
Pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga KUA
d.
Pelayanan bimbingan keluarga sakinah
e.
Pelayanan bimbingan kemasjidan
f.
Pelayanan bimbingan pembinaan syari’ah, serta
g.
Penyelenggaraan fungsi lain yang ditugaskan oleh
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
KUA sebagai unit terdepan kementerian
agama secara langsung berhadapan dengan masyarakat, terkait dengan pelayanan
bidang Urusan Agama Islam. Konsekuensi dari peran itu, secara otomatis aparat
KUA harus mampu mengurus rumah tangga sendiri dengan menyelenggarakan manajemen
kearsipan, administrasi surat-menyurat dan statistik serta dokumentasi. Selain itu, KUA juga dituntut betul-betul
mampu menjalankan tugas dibidang pencatatan nikah dan rujuk (yang merupakan tugas pokok KUA) secara baik,
karena pelayanan itu sangat besar pengaruhnya dalam membina kehidupan beragama,
karena dari situlah embrio terbentuknya keluarga yang bahagia sejahtera lahir
dan batin atau keluarga sakinah mawadah dan warahmah.
Dalam
malaksanakan tugas bidang urusan agama Islam, KUA tidak sekedar melakukan
pengawasan dan pencatatan nikah/rujuk saja, tetapi juga melaksanakan
tugas-tugas lainnya seperti mengurus dan membina tempat ibadah umat Islam
(masjid, langgar/mushalla) membina pengamalan agama Islam, zakat, wakaf, baitul
mal dan ibadah sosial, pangan halal, kemitraan umat Islam kependudukan serta
pengembangan keluarga sakinah, sesuai kebijakan Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berhubung KUA bersentuhan langsung dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan
dan kemampuan serta pemahaman yang beraneka ragam di bidang urusan agama Islam,
termasuk urusan perhajian, maka sesuai hasil Rakernas Penyelenggaran Haji tahun
2006 di Jakarta menyepakati KUA diikutsertakan sebagai pelayanan haji kepada
masyarakat dan calon jemaah haji.
Adapun
peran KUA dalam pelayanan selama ini antara lain:
1.
Pelayanan bidang administrasi/statistik dokumentasi
Sebagai unit pelaksana operasional Kementerian Agama,
mekanisme kegiatan perkantoraan ditandai aktifitas pelayanan administrasi dalam
bentuk pelayanan dan bimbingan agama pada masyarakat sebagai wujud koordinasi
baik vertikal maupun horisontal, meliputi: administrasi NTCR, kemesjidan,
perwakafan, bimbingan keluarga sakinah, zakat dan ibadah sosial, serta
adminstrasi keuangan.
2.
Pelayanan bidang kepenghuluan
KUA merupakan lembaga pemerintah yang berwenang
melakukan pencatatan pernikahan di kalangan umat Islam. Artinya eksistensi KUA
tidak semata-mata karena pemenuhan tuntutan birokrasi tetapi secara substansial
bertanggungjawab penuh terhadap pelaksanaan keabsahan sebuah pernikahan.
3.
Pelayanan bidang perkawinan dan keluarga sakinah
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang
akan berkembang menjadi tatanan masyarakat yang lebih luas. Karena itu
pembinaan keluarga sakinah sangat penting karena akan mewujudkan masyarakat yang
rukun, damai dan bahagia lahir dan batin. Pembinaan ini tidak hanya diberikan kepada
mereka yang akan menikah, tetapi juga kepada masyarakat secara umum, untuk
mewujudkan tujuan perkawinan yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan itu peran
KUA sangat dibutuhkan.
4.
Pelayanan bidang perwakafan
Peran Kepala KUA sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW) memiliki peran legitimate atas status harta benda yang diwakafkan
sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan. Dalam pelayanan di
bidang perwakafan, KUA melakukan sosialisasi perwakafan tanah, bimbingan,
pengelolaan dan pemberdayaan tanah wakaf
serta membantu menjamin keamanan tanah wakaf dari pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab dengan mengurus legalitas formal status tanah. Tanah wakaf merupakan aset umat Islam yang dapat
dimanfaatkan untuk kemakmuran umat, apabila diberdayakan secara maksimal, tepat
sasaran, dan tepat guna.
5.
Pelayanan bidang zakat dan ibadah sosial
Zakat dan ibadah sosial adalah modal dasar pembangunan
kesejahteraan ummat dan merupakan salah satu sumber dana untuk mengentaskan
kemiskinan. Guna lebih menyadarkan dan menggairahkan masyarakat dalam
mengeluarkan zakat dan infaknya, diperlukan bimbingan terutama dalam upaya
menggali potensi dana ummat melalui zakat maal, tijarah, profesi dan lainnya.
Disini peran KUA sangat diperlukan guna menggerakkan tokoh agama dan
masyarakat, sehingga semakin sinergis dalam mensosialisasikan fungsi dan peran
zakat serta infak di tengah ummat. Pada gilirannya kesadaran masyarakat semakin
meningkat dalam menyalurkan zakatnya terutama kepada lembaga zakat yang diakui
pemerintah seperti Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit
Pengumpul Zakat (UPZ).
6.
Pelayanan bidang kemasjidan dan kehidupan beragama
Sebagai aparat kementerian agama di tingkat kecamatan, KUA berkewajiban
memberikan bimbingan dalam mewujudkan Idarah, Imarah dan Ri’ayah masjid. Selain
itu juga mengkoordinir segala kegiatan keagamaan (Islam) di wilayahnya,
meliputi penerangan/penyuluhan agama, bimbingan dan penyelenggaraan ibadah
haji, serta memberikan dorongan dan motivasi serta pembinaan kepada masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana kehidupan beragama.
7.
Pelayanan bidang pangan halal
Dalam pelayanan
di bidang pangan halal, peran KUA melakukan sosialisasi tentang tentang pangan halal, baik menyangkut pangan,
kosmetik dan obat-obatan, sosialisasi dan pembinaan sembelihan halal, pendataan
dan pembinaan terhadap restoran/warung makan dan perusahaan makanan di
wilayahnya dan mengupayakan labelisasi halal.
8.
Penyuluhan dan sosialisasi undang-undang perkawinan
Penyuluhan dan sosialisasi undang-undang ataupun
peraturan terkait dengan masalah perkawinan, dilakukan oleh KUA bertujuan agar
masyarakat sadar terhadap peraturan
ataupun hukum terkait dengan perkawinan, karena dalam kenyataan hidup di masyarakat masih
sering dijumpai perkawinan yang belum sesuai ketentuan agama dan
perundang-undangan, terutama UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan serta PP No:
9/1975 tentang Pelaksanaan UU NO. 1/1974.
9.
Memberikan pelayanan di bidang hisab rukyat
Dalam pelayanan hisab rukyat, KUA mempunyai tugas
mensosialisasikan penentuan arah kiblat dan
mengukur arah kiblat tempat ibadah muslim dan makam muslim,
mensosialisasikan dan penyuluhan tentang penentuan awal Ramadlan dan 1 Syawal,
penanggalan hijriah, dan awal waktu shalat dan mengupayakan jadwal waktu shalat
maktubah.
10. Pelayanan
bidang perhajian
Pelayanan KUA
terkait dengan masalah haji, diantaranya sosialisasi kebijakan haji, pelayanan
penyuluhan dan penyebaran informasi perhajian kepada masyarakat,
penyelenggaraan manasik haji, pemberangkatan dan pemulangan jama’ah haji dan
pembinaan jama’ah haji pasca haji.
11. Kegiatan
lintas sektoral
Banyak sekali kegiatan-kegiatan lintas sektoral yang
memerlukan keterlibatan KUA di
dalamnya diantaranya : penyuksesan program pembangunan, keluarga
Berencana, kamtibmas, kesehatan dan sanitasi, penanggulangan penyalahgunaan
narkoba dan lain sebagainya.
B. Peran KUA dalam Membangun Karakter Bangsa
Eksistensi, kemuliaan dan kejayaan
sebuah bangsa tergantung akhlaknya, demikian juga keterpurukan, kehinaan dan
kehancurannya. Awal dan sumber segala kebaikan adalah akhlak, demikian juga
segala keburukan bersumber dan bermuara kepada akhlak. Apabila sebuah bangsa mengalami
krisis moral dan akhlak, maka bangsa tersebut akan berbuat dlalim, berbuat
kerusakan terhadap alam maupun kedlaliman terhadap sesamanya. Dampak dari
kedlaliman tersebut adalah timbulnya berbagai musibah, balak dan bencana, baik
yang bersumber dari alam maupun manusia.[37]
Bapak pendiri bangsa ketika
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, menyadari bahwa paling tidak ada tiga
tantangan besar yang harus dihadapi. Pertama, mendirikan negara yang bersatu.
Kedua, membangun bangsa. Ketiga, membangun karakter. Ketiga hal tersebut secara
jelas tampak dalam konsep negara bangsa (nation
state) dan pembangunan karakter bangsa (nation
and character building). Terkait dengan hal tersebut, presiden Sukarno
menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena karakter inilah yang akan membuat Indonesia menjadi
bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat.[38]
Karakter adalah cara berfikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan
mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia buat.[39] Dalam Islam, karakter
disebut juga akhlaq. Menurut Ahmad Amin, akhlak adalah segala sesuatu kehendak
yang terbiasa dilakukan. Sedangkan menurut al-Ghazali, akhlak berpangkal pada
hati, jiwa atau kehendak, kemudian diwujudkan dalam perbuatan sebagai kebiasaan
(bukan perbuatan yang dibuat-buat tapi sewajarnya). Ungkapan lain dari
al-Ghazali akhlak adalah karakter seseorang yang menancap di hati dan tulang
sulbi yang dengan karakter tersebut mendorongnya melakukan sesuatu yang positif
dengan mudah dan reflek tanpa butuh pemikiran. Maksud tanpa pikir untuk menunjukkan betapa
mendarah dagingnya, sehingga sudah merupakan tindakan reflek yang muncul secara
otomatis. Oleh sebab itu, suatu tindakan itu dikatakan sampai pada tingkat
akhlak kalau memenuhi dua syarat yaitu : dilakukan secara berulang-ulang dan
dilakukan dengan otomatis tanpa pemikiran dan pertimbangan.[40] Oleh karena itu akhlak (karakter)) adalah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan
perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran
terlebih dahulu.[41]
Kantor Urusan Agama adalah unit
kerja terdepan yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang agama
Islam. Lingkup kerja KUA adalah berada di wilayah tingkat Kecamatan, hal ini
sebagaimana ketentuan pasal 1 (1) PMA Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah menyebutkan bahwa Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut
KUA adalah instansi Departemen Agama yang bertugas melaksanakan sebagian tugas
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama islam dalam
wilayah kecamatan.[42]
KUA memiliki peran yang sangat penting dan
strategis dalam peningkatan wawasan keagamaan, penguatan
peran agama dalam pembentukan karakter dan peradaban bangsa, dan peningkatan
kerukunan umat beragama dalam pembangunan kerukunan nasional. Terkait dengan
penguatan peran agama dalam pembentukan karakter dan peradaban bangsa, maka
hasil yang diharapkan adalah peningkatan kualitas pribadi umat beragama,
peningkatan harkat dan martabat umat beragama dalam membangun jati diri bangsa,
peningkatan peran umat beragama dalam membangun harmoni antar peradaban,
penguatan peran lembaga sosial keagamaan, dan peningkatan peran agama dalam
pembangunan nasional.[43]
Terkait dengan tugas
dan peran KUA, KUA harus mampu menjalankan tugas di bidang pencatatan nikah
dan rujuk --yang merupakan tugas pokok
KUA-- secara baik, karena pelayanan itu
sangat besar pengaruhnya dalam membina kehidupan beragama, karena dari situlah
embrio terbentuknya keluarga yang bahagia sejahtera lahir dan batin atau
keluarga sakinah mawadah dan wa rahmah. Dengan demikian, KUA mempunyai peran penting
dan strategis dalam ikut mewujudkan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
menjadi masyarakat, bangsa dan negara yang berkarakter.
Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan
ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan
tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Esa.[44]
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan ialah akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan Ibadah.[45]
Pernikahan menjadi pintu gerbang dalam pembangunan
keluarga merupakan sesuatu yang amat penting. Kalimat dalam akad nikah yang
begitu mudah dan ringan diucapkan
sebenarnya memiliki konsekuensi dan tanggungjawab yang sangat berat, inilah
kadang kala yang tidak disadari oleh orang yang melakukan pernikahan.[46]
Tujuan berkeluarga adalah untuk membentuk keluarga sakinah.
Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu
memenuhi hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi
suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras,
serasi, serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai
keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.[47] Keluarga sakinah disebut juga dengan keluarga
maslahah, yakni keluarga yang kebutuhan pokoknya dapat terpelihara. Kebutuhan
dimaksud meliputi kebutuhan lahir dan batin, kebutuhan fisik -material dan
moral-spritual. Pengertian tersebut berangkat dari cita-cita kaum muslimin
sebagai keluarga maslahah, perorangan, keluarga dan masyarakat, sebab maslahah
adalah terpelihara kebutuhan pokok manusia yakni agama, jiwa, harta benda ,
keturunan dan akal.[48]
Setiap orang yang melakukan perkawinan, tentunya menginginkan terciptanya suatu keluarga atau
rumah tangga yang bahagia sejahtera lahir dan batin serta memperoleh keselamatan
hidup dunia dan akhirat. Oleh karena itu, dari keluarga sakinah inilah kelak
akan terwujud masyarakat yang rukun, damai serta makmur, material dan
spiritual. Kehidupan keluarga dan masyarakat yang semacam inilah yang menjadi
cita-cita dan tujuan pembangunan nasional yang sedang dan akan terus
dilaksanakan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia.[49]
Dengan demikian, dengan adanya
pernikahan tersebut diharapkan akan terwujud rumah tangga yang baik, melahirkan
generasi yang baik dan memberi manfaat bagi agama, masyarakat dan bangsa. Oleh
karena itu, terwujudnya ketahanan keluarga menjadi sesuatu yang amat penting
agar perjalanan keluarga bisa berlangsung sebagaimana yang diharapkan.[50]
KUA
dengan prorgram gerakan keluarga
sakinahnya berupaya untuk mewujudkan masyarakat madani yang bermoral tinggi,
penuh keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Oleh karena itu, upaya penanaman
nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia dilaksanakan melalui pendidikan agama
dalam keluarga, masyarakat dan pendidikan formal. Upaya ini menekankan
kepada aspek penanaman, pengamalan dan
penghayatan dan pengembangan nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia
dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Aspek penanaman,
pengamalan dan penghayatan nilai-nilai agama dimaksudkan untuk mengimbangi
dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga keluarga
dan masyarakat Indonesia memiliki ketahanan yang kokoh dalam menghadapi era
globalisasi dan berbagai pengaruh negatif masuknya budaya asing. [51]
Keluarga
adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin
yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan
keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup
pada masyarakat bangsa tersebut. Hakekat diatas adalah kesimpulan pandangan
para pakar dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pakar-pakar agama Islam. Dengan demikian, keluarga merupakan unit terkecil yang menjadi pendukung dan
pembangkit lahirnya masyarakat dan bangsa. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang
kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat bangsa akan menjadi sehat dan kuat.
Keluarga mempunyai andil yang besar bagi bangun runtuhnya suatu masyarakat.
Agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
pembinaan keluarga, perhatian yang sepadan dengan perhatiannya terhadap
kehidupan individu serta kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Keluarga
adalah sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari
sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat dan kasih sayang, ghirah, dan
sebagainya.[52]
Dalam keluarga kedua orang tua
mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, karena
baik buruknya anak tergantung dari pendidikan kedua orang tuanya.[53] Tugas dan kewajiban orang tua terhadap anaknya
harus dilaksanakan dengan baik.
Oleh karena itu, sebagai orang tua wajib membina dengan segala upaya pengelolaan atau
penanganan berupa ; merintis , meletakkan dasar , melatih, membiasakan,
memelihara, mencegah, mengawasi menyantuni, mengarahkan serta mengembangkan
kemampuan suami isteri (orang tua) untuk
mewujudkan keluarga sakinah dengan mengadakan dan menggunakan segala daya upaya
dan dana yang dimiliki.[54]
Dengan demikian, keluarga adalah tempat menempa generasi penerus bangsa agar
menjadi anak bangsa yang berakhlak mulia
(berkarakter mulia).
Suatu keluarga –sebagaimana halnya suatu
bangsa—tidak dapat hidup tenang dan bahagia tanpa suatu peraturan, kendali, dan
disiplin yang tinggi. Kepincangan dalam menerapkan peraturan mengakibatkan
kepincangan dalam kehidupan. Memimpin rumah tangga adalah satu tanggungjawab,
demikian juga memimpin suatu bangsa. Kepemimpinan suatu bangsa tidak mungkin
mencapai sukses apabila langkah-langkah pemimpin daerah tidak searah dengan
kepemimpinan di pusat. Kepemimpinan di setiap wilayah atau daerah tidak akan
berhasil apabila langkah-langkah keluarga bertentangan dengan langkah pemimpin
daerah itu. Demikian terlihat keterkaitan yang erat antara langkah keluarga
dengan langkah seluruh bangsa dalam satu negara. Dan demikian pula terbukti betapa keluarga merupakan tulang punggung bagi
tegaknya suatu negara. [55]
BAB IV
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Peran KUA dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
diantaranya adalah pelayanan bidang administrasi/statistik dokumentasi,
pelayanan di bidang kepenghuluan, pelayanan di bidang perkawinan dan keluarga
sakinah, pelayanan di bidang perwakafan, pelayanan di bidang zakat dan ibadah
sosial, pelayanan di bidang kemasjidan dan kehidupan beragama, pelayanan di
bidang pangan halal, penyuluhan dan sosialisasi undang-undang dan peraturan
perkawinan, pelayanan di bidang hisab rukyat, pelayanan di bidang haji dan
kegiatan lintas sektoral.
2. Peran KUA
dalam pembinaan karakter bangsa dapat kita ketahui dari pelayanan KUA di bidang
perkawinan, perkawinan merupakan pintu gerbang membangun keluarga, keluarga
yang sakinah mawaddah wa rahmah akan melahirkan generasi penerus bangsa yang
berakhlak mulia. Dari kumpulan-kumpulan keluarga sakinah mawaddah wa rahman
akan membentuk masyarakat yang berkarakter baik. Masyarakat-masyarakat yang
berkarakter baik akan melahirkan bangsa yang berakhlak mulia atau bangsa yang
berkarakter.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa dalam karya
tulis ini banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu saran dan kritik
membangun selalu penulis harapkan, semoga bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1998
Azwar, Saifudin, Metodologi
Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998
BP4 Jawa Tengah, Buku Panduan
Keluarga Muslim, Semarang: Kanwil Depag Jateng,2007
BP4 Pusat, Majalah Perkawinan dan Keluarga No. 488/2013
BP4 Pusat, Perkawinan dan
Keluarga, Majalah bulanan no. 469/XXXVIII/2011
Chafidh, M. Afnan dan Asrori, A.
Ma’ruf , Tradisi Islami, Surabaya : Khalista, 2008
Departemen Agama, Membina Keluarga Sakinah,
Jakarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2003
Departemen Agama Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji, Pedoman Pejabat Urusan Agama Islam, Jakarta : 2004
Departemen Agama RI, Petunjuk
teknis Pembinaan Keluarga Sakinah, (Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji Direkrtorat Urusan Agama Islam, 2005
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta : Andi
Offset, 1989
Kanwil Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah,Tanya Jawab Seputar
Keluarga Sakinah, (Semarang : Bagian Proyek Pembinaan Keluarga Sakinah,
2004)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta :Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, 2003
Mahfudh, Sahal,Nuansa Fiqh Sosial,
Yogyakarta: LKIS, 1994, Cet. I
Mahmud, Ali Abdul Halim, Akhlaq Mulia, Penerjemah Abdul Hayyi
el-Kattani dkk, Jakarta: Gema Insani, 2004
Mahbubi, M. Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Pustaka Ilmu,
2012
Muhajir,Noeng,
Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rakesarasin, 1996
Nasution, Khoirudin, Smart
dan Sukses, Yogyakarta : Academia dan Tazaffa, 2008
Riau. kemenag.go.id/Index.php?a=berita&id=190721
Samani, Mukhlas dan Hariyanto, Pendidikan Karakter, ( Bandung :
Remaja Rosda Karya, 2012), cet. II
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-qur’an, (Bandung, Mizan :
1994), cet. V
Subagyo,Joko P., Metode penelitian dalam Teori
dan Praktek, Jakarta:Rineka Cipta, 2004
Sumargono, Soerjono, Filsafat
Pengetahuan , Yogyakarta : Nur Cahya,1980
Undang-undang Perkawinan, Semarang:Aneka Ilmu, 1990
Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Yogyakarta: Bening, 2010
[2] Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta :DirjenBimas Islam
danPenyelenggara Haji, 2003, hal. 14
[3] Khoirudin
Nasution, Smart dan Sukses, Yogyakarta : Academia dan
Tazaffa, 2008, hal. 121
[4] BP4 Jawa
Tengah, Buku Panduan Keluarga Muslim,
Semarang: Kanwil Depag Jateng,2007, hal. 1
[5] BP4 Pusat, Perkawinan dan Keluarga, Majalah bulanan
no. 469/XXXVIII/2011, hal. 7
[7] Opcit.
[8] BP4 Pusat, Perkawinan dan Keluarga Majalah Bulanan
No. 470/XXXIX/2012, hal. 3-5
[9]ibid
[10]Ibid
[11] Membina, hal,
4
[12] UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Yogyakarta: Bening, 2010, hal. 12
[14] Ibid.
[15] Ali Abdul
Halim Mahmud, Akhlaq Mulia,
Penerjemah Abdul Hayyi el-Kattani dkk, Jakarta: Gema Insani, 2004,hal.259
[16] BP4 Pusat,
Majalah Perkawinan dan Keluarga No. 488/2013, hal. 8.
[17] Departemen
Agama Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Pedoman Pejabat
Urusan Agama Islam, (Jakarta : 2004), hal. 3-4.
[18] Riau. kemenag.go.id/Index.php?a=berita&id=19072
[19] Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 373 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota
[20]Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 373 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota
[21] MA Sahal
Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial., hal. 178.
[22] Ahmad Muhaimin
Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di
Indonesia, Yogyakarta: Arruz Media, 2011, Cet. I, hal. 16
[24] M. Mahbubi, Pendidikan
Karakter, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012), hal. 40
[26] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-qur’an, (Bandung, Mizan : 1994), cet. VI, hal. 255-256
[27] Ibid., hal. 255.
[28] Kanwil
Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah,Tanya Jawab Seputar Keluarga Sakinah,
(Semarang : Bagian Proyek Pembinaan Keluarga Sakinah, 2004), hal. 25.
[29] Khoiruddin,
hal.126
[30] Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1998), hal. 149
[31]P. Joko
Subagyo, Metode penelitian dalam Teori dan Praktek,
Jakarta:Rineka Cipta, 2004, hal. 87
[32]Saifudin Azwar,
Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 16
[33]Soejono
Sumargono, Filsafat Pengetahuan , Yogyakarta : Nur Cahya,1980, hal. 14
[34]Sutrisno
Hadi, Loc. Cit., hal. 3
[35] Ibid.,
hal. 42
[37] MA Sahal
Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial., hal. 178.
[38] Mukhlas Samani
dan Hariyanto, Pendidikan Karakter,
( Bandung : Remaja Rosda Karya,
2012), cet. II, hal. 1-2
[39] Ahmad Muhaimin
Azzet, Loc. Cit., hal. 16
[42] PMA No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah
[43] Riau.
kemenag.go.id/Index.php?a=berita&id=19072
[45] Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta :DirjenBimas Islam
danPenyelenggara Haji, 2003, hal. 14
[46] BP4 Pusat, Perkawinan dan Keluarga, Majalah bulanan
no. 469/XXXVIII/2011, hal. 7
[47] Kanwil
Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah,Tanya Jawab Seputar Keluarga Sakinah,
(Semarang : Bagian Proyek Pembinaan Keluarga Sakinah, 2004), hal. 25.
[48] Khoiruddin,
hal.126
[50] Opcit.
[51]Departemen
Agama RI, Petunjuk teknis Pembinaan
Keluarga Sakinah, (Ditjen Bimas Islamdan Penyelenggaraan Haji Direkrtorat
Urusan Agama Islam, 2005), hal. 29.
[52]M. Quraish
Shihab, Membumikan AlQur’an, Bandung
: Mizan, 1994, hal. 253
[53] M. Afnan
Chafih dan A. Ma’ruf Asrori, Tradisi
Islami, Surabaya : Khalista, 2008, hal.
71
[54] Membina, hal,
4
[55] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, hal. 256.
Harrah's Hotel and Casino - Mapyro
BalasHapusHarrah's Casino & Hotel Harrah's Cherokee Casino Resort is located 메이피로출장마사지 in the heart of the 동해 출장안마 Great Smoky 대전광역 출장샵 Mountains of Western North 영천 출장안마 Carolina. 제주도 출장안마 Harrah's Cherokee