Dalam acara workshop ”Penyusunan Produk Hukum” yang
diselenggarakan Sub.Bag Hukum dan KUB Kanwil Kemenag D.I. Yogyakarta beberapa
hari yang lalu, terjadi diskusi yang menurut penulis sangat serius bahkan
menjurus ke suasana panas. Satu persoalan hukum yang menjadi tema sentral
adalah masalah itsbat nikah.
Sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam,
khususnya pasal 7 ayat (3) jelas disebutkan, bahwa itsbat nikah yang dapat
diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan (a) adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian, (b) hilangnya akta nikah, (c) adanya keraguan tentang
sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, (d) perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU
No. 1 Tahun 1974 dan (e) perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor
1 tahun 1974 tersebut. Tetapi dengan adanya ketentuan tersebut, khususnya pada
dua poin terakhir (d) dan (e),
seolah-olah terjadi aturan yang saling berbenturan. Hal ini disebabkan karena
Pengadilan Agama dengan alasan lembaga tersebut tidak boleh menolak satu perkara,
juga atas dasar ketentuan pada poin (e) tersebut, PA justru menjadikannya sebagai
dasar untuk melemahkan dan mengabaikan ketentuan yang terdapat pada point (d), artinya
pernikahan yang dilakukan setelah tahun 1974 pun tetap dapat diajukan itsbat
nikah. Inilah yang menurut pihak Kantor Urusan Agama (Kepala dan Penghulu)
dianggap sebagai satu pengebirian atau bahkan pengkhianatan terhadap
undang-undang perkawinan serta inkosistensi Pengadilan Agama.
WEWENANG PA DAN PROSES ITSBAT NIKAH
Pengadilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan
peradilan negara yang dijamin eksistensinya dan kemerdekaannya dalam
menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tentang
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Semenjak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009
tentang Peradilan Agama, fungsi dan kedudukannya semakin kuat dan berkembang
dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Kemandirian lembaga
yudikatif ini semakin kokoh dan teruji setelah keluar dari lembaga eksekutif,
Kementerian Agama RI, dengan beralih menjadi satu atap (one roof sistem)
di bawah Mahkamah Agung sejak disahkannya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang terealisasi sejak tahun 2004 yakni seluruh lingkungan
peradilan berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung RI.
Pengadilan
Agama mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang : Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, shadaqah dan
Ekonomi Syariah. Sesuai penjelasan pasal
49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang tugas dan wewenang Pengadilan Agama tersebut, yaitu
yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan antara lain :
1.
Izin beristeri lebih dari seorang ( poligami ).
2.
Izin melangsungkan perkawinan bagi
orang yang belum berusia 21 tahun.
3.
Dispensasi kawin.
4.
Pencegahan perkawinan.
5.
Penolakan perkawinan oleh Pegawai
Pencatat Nikah.
6.
Pembatalan Perkawinan.
7.
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami
isteri.
8.
Perceraian karena talak ( CT ).
9.
Gugatan Perceraian ( CG ).
10. Penyelesaian
Harta Bersama.
11. Mengenai
Penguasaan anak.
12. Ibu
dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila mana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan
kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau
penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14. Putusan
tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan
tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16. Pencabutan
kekuasaan wali
17. Penunjukan
orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicabut.
18. Menunjuk
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang
ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang
tuanya.
19. Pembebanan
kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas
harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya.
20. Penetapan asal usul anak dan Penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
21. Putusan
tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuarn.
22. Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Dua
puluh dua item perkara di bidang perkawinan tersebut di atas yang paling banyak
diajukan ke Pengadilan Agama adalah perkara Cerai Gugat, Cerai talak, Itsbat
nikah, Gugatan Harta Bersama, Gugatan Nafkah, Mengenai pemeliharaan anak, Izin
Poligami, Dispensasi kawin, Pembatalan perkawinan dan masalah perwalian.
Adapun aturan
mengenai pengesahan nikah (Itsbat Nikah) dibuat atas dasar adanya perkawinan
yang dilangsungkan berdasarkan agama atau perkawinan yang tidak dicatat oleh
PPN yang berwenang. Banyak sekali ditemukan di lapangan bahwa sepasang suami
isteri sudah melaksanakan pernikahan secara hukum Islam dan sudah
menandatangani berkas pencatatan yang dibawa oleh Penghulu atau Amil, namun karena sesuatu dan lain hal Kutipan Akta
Nikahnya tidak keluar, ketika ditanyakan di KUA ternyata pernikahannya belum
didaftarkan atau belum dicatat. Disamping itu ada pula perkawinan yang sengaja
tidak dicatat karena perkawinan kedua, karena masalah biaya atau poligami liar
dan lain sebagainya. Sementara dalam Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan
: “ Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah “. Jadi jika
tidak ada kutipan akta nikah yang dipegang oleh suami isteri tersebut karena
perkawinannya tidak tercatat maka suami isteri tersebut dapat mengajukan
permohonan Itsbat Nikah kepada pengadilan Agama. Menurut PA, itsbat nikah tidak
hanya terhadap perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya UU Nomor 1
tahun 1974 tetapi perkawinan setelah itu juga bisa diitsbatkan dengan alasan sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) KHI, yaitu dalam rangka penyelesaian perceraian,
hilangnya akta nikah, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974.
Permohonan
itsbat nikah ini ada yang bersifat Voluntair ada juga yang bersifat Countentius. Jika yang mengajukan suami isteri yang masih
hidup keduanya ingin mengajukan isbat nikah maka sifatnya voluntair, produknya
penetapan upaya hukumnya adalah kasasi,
namun jika hanya salah satu saja yang mengajukan karena pasangannya
tidak mau atau karena sudah meninggal dunia maka ini bersifat Countentius
produknya berupa putusan upaya hukumnya adalah banding.
INKONSISTENSI
HUKUM
Salah satu
alasan Pengadilan Agama melaksanakan itsbat nikah terhadap perkawinan yang
dilangsungkan setelah berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974 adalah perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor
1 tahun 1974.
Inilah yang
dirasa sebagai ganjalan bagi pihak KUA, mengapa ketentuan perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor
1 tahun 1974 dijadikan sebagai alasan utama PA untuk melaksanakan itsbat nikah
terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya UU Nomor 1 tahun
1974. Sebab dari proses itsbat nikah seperti ini, sesungguhnya telah terjadi
inkonsistensi hukum, bahkan bisa mengarah kepada upaya memanipulasi dan pengebirian hukum.
Sebuah ilustrasi, sebagaimana
fatwa MUI tahun 1995 dan kenyataan di lapangan, bahwa banyak pasangan nikah
siri yang dikemudian hari ingin mencatatkan perkawinannya di KUA. Bahkan Menteri
Agama periode yang dulupun, setelah terjadi kontroversi nikah siri dan pembahasan Rancangan Undang-Undang
Hukum Terapan Peradilan Agama mencuat memberikan solusi untuk mencatatkan perkawinan siri ke KUA tanpa
ijab kabul baru. Padahal sudah jelas dan pasti,
bahwa KUA tidak dapat mencatat
perkawinan siri sebelum ada itsbat dari Pengadilan Agama. Artinya, pasangan
nikah siri yang akan mencatatkan perkawinannya di KUA terlebih dahulu harus
mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Kalau kemudian hanya
karena alasan pernikahan siri yang dilakukan oleh mereka ini tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974 kemudian itsbat
mereka dikabulkan, maka sesungguhnya apa yang dimaksud oleh PA dengan tidak
adanya halangan.
Dari
fakta yang ada, seseorang melakukan nikah siri disebabkan beberapa faktor,
diantaranya adalah kesulitan administrasi pada saat mendaftar di KUA. Seperti
seorang yang sudah beristri, kemudian ingin menikahi wanita lain, maka ketika
kesulitan mengajukan ijin poligami akan memilih nikah siri sebagai solusinya.
Juga pasangan di bawah umur, karena ada suatu sebab mengharuskan mereka untuk
segera dinikahkan, tetapi tidak mau repot mengajukan dispensasi ke Pengadilan
Agama, maka nikah siri dianggap jalan terbaik.
Dari kedua contoh kasus di
atas, kalau dikemudian hari pernikahan sirinya dimintakan itsbat nikah dan
pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, maka menurut penulis Pengadilan
Agama telah melakukan inkonsistensi. Sebab pada kenyataannya, dua peristiwa
yang dimintakan itsbat tersebut adalah hasil dari perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai halangan
perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974, dalam hal ini karena masih di
bawah umur dan suami masih terikat dengan perkawinan yang sah dengan wanita
lain. Demikian juga seandainya yang
dimaksud
tidak mempunyai halangan perkawinan adalah pencegahan perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal (13,
14, 15 dan 16) UU Nomor 1 tahun 1974, bukankah poligami dan di bawah umur
termasuk dalam cakupan pasal (16) tersebut.
Dengan demikian, seandainya hanya
atas dasar alasan tersebut PA mengabulkan itsbat terhadap
perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974, maka hukum yang seharusnya dijunjung tinggi
benar-benar dilecehkan dan dibuat tidak berdaya. Undang-Undang Perkawinan yang
di dalamnya jelas memuat aturan poligami dan ketentuan usia perkawinan dipaksa
harus tunduk kepada rekayasa hukum melalui itsbat nikah. Dan akhirnya, kami yang
di KUA yang mendapat amanat untuk melaksanakan undang-undang tersebut, ketika
harus melaksanakan putusan pengadilan mengenai itsbat nikah terkadang menjadi
ragu dan bertanya, bagaimana sesungguhnya aturan itsbat nikah yang
dimaksud oleh peraturan perundangan. Menurut pemahaman kami, ketentuan yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (3) khususnya poin (d) dan (e) adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga harus
dibaca perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 dan perkawinan tersebut dilakukan oleh
mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar