STOP GRATIFIKASI KUA

STOP GRATIFIKASI KUA

Senin, 08 Juni 2015

’’MENGGUGAT’’ ITSBAT NIKAH






Dalam acara workshop ”Penyusunan Produk Hukum” yang diselenggarakan Sub.Bag Hukum dan KUB Kanwil Kemenag D.I. Yogyakarta beberapa hari yang lalu, terjadi diskusi yang menurut penulis sangat serius bahkan menjurus ke suasana panas. Satu persoalan hukum yang menjadi tema sentral adalah masalah itsbat nikah.
Sebagaimana yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya pasal 7 ayat (3) jelas disebutkan, bahwa itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan (a) adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, (b) hilangnya akta nikah, (c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, (d)  perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 dan (e)  perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut. Tetapi dengan adanya ketentuan tersebut, khususnya pada dua poin terakhir  (d) dan (e), seolah-olah terjadi aturan yang saling berbenturan. Hal ini disebabkan karena Pengadilan Agama dengan alasan lembaga tersebut tidak boleh menolak satu perkara, juga atas dasar ketentuan pada poin (e) tersebut, PA justru menjadikannya sebagai dasar untuk melemahkan dan mengabaikan ketentuan yang terdapat pada point (d), artinya pernikahan yang dilakukan setelah tahun 1974 pun tetap dapat diajukan itsbat nikah. Inilah yang menurut pihak Kantor Urusan Agama (Kepala dan Penghulu) dianggap sebagai satu pengebirian atau bahkan pengkhianatan terhadap undang-undang perkawinan serta inkosistensi Pengadilan Agama.

WEWENANG PA DAN PROSES ITSBAT NIKAH  

Pengadilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan negara yang dijamin eksistensinya dan kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama, fungsi dan kedudukannya semakin kuat dan berkembang dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Kemandirian lembaga yudikatif ini semakin kokoh dan teruji setelah keluar dari lembaga eksekutif, Kementerian Agama RI, dengan beralih menjadi satu atap (one roof sistem) di bawah Mahkamah Agung sejak disahkannya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang terealisasi sejak tahun 2004 yakni seluruh lingkungan peradilan berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung RI.
Pengadilan Agama mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, shadaqah dan Ekonomi Syariah.  Sesuai penjelasan pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang tugas dan wewenang Pengadilan Agama tersebut, yaitu yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan antara lain :
1.      Izin beristeri  lebih dari seorang ( poligami ).
2.      Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun.
3.      Dispensasi kawin.
4.      Pencegahan perkawinan.
5.      Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
6.      Pembatalan Perkawinan.
7.      Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri.
8.      Perceraian karena talak ( CT ).
9.      Gugatan Perceraian ( CG ). 
10.  Penyelesaian Harta Bersama.
11.  Mengenai Penguasaan anak.
12.  Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila mana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
13.  Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14.  Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15.  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16.  Pencabutan kekuasaan wali
17.  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut.
18.  Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya.
19.  Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya.
20.   Penetapan asal usul anak dan Penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
21.  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuarn.
22.  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Dua puluh dua item perkara di bidang perkawinan tersebut di atas yang paling banyak diajukan ke Pengadilan Agama adalah perkara Cerai Gugat, Cerai talak, Itsbat nikah, Gugatan Harta Bersama, Gugatan Nafkah, Mengenai pemeliharaan anak, Izin Poligami, Dispensasi kawin, Pembatalan perkawinan dan masalah perwalian.
Adapun aturan mengenai pengesahan nikah (Itsbat Nikah) dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau perkawinan yang tidak dicatat oleh PPN yang berwenang. Banyak sekali ditemukan di lapangan bahwa sepasang suami isteri sudah melaksanakan pernikahan secara hukum Islam dan sudah menandatangani berkas pencatatan yang dibawa oleh Penghulu atau Amil, namun  karena sesuatu dan lain hal Kutipan Akta Nikahnya tidak keluar, ketika ditanyakan di KUA ternyata pernikahannya belum didaftarkan atau belum dicatat. Disamping itu ada pula perkawinan yang sengaja tidak dicatat karena perkawinan kedua, karena masalah biaya atau poligami liar dan lain sebagainya. Sementara dalam Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan : “ Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah “.  Jadi jika tidak ada kutipan akta nikah yang dipegang oleh suami isteri tersebut karena perkawinannya tidak tercatat maka suami isteri tersebut dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah kepada pengadilan Agama. Menurut PA, itsbat nikah tidak hanya terhadap perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974 tetapi perkawinan setelah itu juga bisa diitsbatkan dengan alasan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) KHI, yaitu dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan dan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974. 
Permohonan itsbat nikah ini ada yang bersifat Voluntair ada juga yang bersifat Countentius.  Jika yang mengajukan suami isteri yang masih hidup keduanya ingin mengajukan isbat nikah maka sifatnya voluntair, produknya penetapan upaya hukumnya adalah kasasi,  namun jika hanya salah satu saja yang mengajukan karena pasangannya tidak mau atau karena sudah meninggal dunia maka ini bersifat Countentius produknya berupa putusan upaya hukumnya adalah banding.

INKONSISTENSI HUKUM

Salah satu alasan Pengadilan Agama melaksanakan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974 adalah perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974.
Inilah yang dirasa sebagai ganjalan bagi pihak KUA, mengapa ketentuan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974 dijadikan sebagai alasan utama PA untuk melaksanakan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974. Sebab dari proses itsbat nikah seperti ini, sesungguhnya telah terjadi inkonsistensi hukum, bahkan bisa mengarah kepada upaya memanipulasi dan pengebirian hukum.
Sebuah ilustrasi, sebagaimana fatwa MUI tahun 1995 dan kenyataan di lapangan, bahwa banyak pasangan nikah siri yang dikemudian hari ingin mencatatkan perkawinannya di KUA. Bahkan Menteri Agama periode yang dulupun, setelah terjadi kontroversi nikah siri dan pembahasan Rancangan Undang-Undang  Hukum Terapan Peradilan Agama mencuat memberikan solusi untuk mencatatkan perkawinan siri ke KUA tanpa ijab kabul baru. Padahal sudah jelas dan pasti, bahwa KUA tidak dapat mencatat perkawinan siri sebelum ada itsbat dari Pengadilan Agama. Artinya, pasangan nikah siri yang akan mencatatkan perkawinannya di KUA terlebih dahulu harus mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Kalau kemudian hanya karena alasan pernikahan siri yang dilakukan oleh mereka ini tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974 kemudian itsbat mereka dikabulkan, maka sesungguhnya apa yang dimaksud oleh PA dengan tidak adanya halangan.
Dari fakta yang ada, seseorang melakukan nikah siri disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah kesulitan administrasi pada saat mendaftar di KUA. Seperti seorang yang sudah beristri, kemudian ingin menikahi wanita lain, maka ketika kesulitan mengajukan ijin poligami akan memilih nikah siri sebagai solusinya. Juga pasangan di bawah umur, karena ada suatu sebab mengharuskan mereka untuk segera dinikahkan, tetapi tidak mau repot mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama, maka nikah siri dianggap jalan terbaik.
Dari kedua contoh kasus di atas, kalau dikemudian hari pernikahan sirinya dimintakan itsbat nikah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, maka menurut penulis Pengadilan Agama telah melakukan inkonsistensi. Sebab pada kenyataannya, dua peristiwa yang dimintakan itsbat tersebut adalah hasil dari perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai halangan perkawinan menurut UU Nomor 1 tahun 1974, dalam hal ini karena masih di bawah umur dan suami masih terikat dengan perkawinan yang sah dengan wanita lain. Demikian juga seandainya yang dimaksud tidak mempunyai halangan perkawinan adalah pencegahan perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal (13, 14, 15 dan 16) UU Nomor 1 tahun 1974, bukankah poligami dan di bawah umur termasuk dalam cakupan pasal (16) tersebut.
Dengan demikian, seandainya hanya atas dasar alasan tersebut PA mengabulkan itsbat terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya UU Nomor 1 tahun 1974, maka hukum yang seharusnya dijunjung tinggi benar-benar dilecehkan dan dibuat tidak berdaya. Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya jelas memuat aturan poligami dan ketentuan usia perkawinan dipaksa harus tunduk kepada rekayasa hukum melalui itsbat nikah. Dan akhirnya, kami yang di KUA yang mendapat amanat untuk melaksanakan undang-undang tersebut, ketika harus melaksanakan putusan pengadilan mengenai itsbat nikah terkadang menjadi ragu dan bertanya, bagaimana sesungguhnya aturan itsbat nikah yang dimaksud oleh peraturan perundangan. Menurut pemahaman kami, ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (3) khususnya poin  (d) dan (e) adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sehingga harus dibaca perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 dan perkawinan tersebut dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar