STOP GRATIFIKASI KUA

STOP GRATIFIKASI KUA

Senin, 08 Juni 2015

NIKAH SIRRI (DIBAWAH TANGAN)




BAB I
PENDAHULUAN

ABSTRAKSI

Lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh sebagian masyarakat dinilai sebagai munculnya dualisme hukum perkawinan di Indonesia. Bagi umat Islam, perkawinan adalah satu ibadah yang segala tata aturannya harus mengikuti ketentuan syari’ah. Sementara sebagai warga Negara, mereka juga dituntut untuk taat dan tunduk kepada aturan Negara, termasuk dalam urusan perkawinan. Sehingga ketika dihadapkan kepada kesulitan untuk mengakomodir kedua-duanya, sering kali masyarakat hanya melaksanakan salah satu hukum dan meninggalkan yang lainnya. Masalah pencatatan perkawinan adalah satu dari sekian persoalan yang selalu dikaitkan dengan perbedaan ketentuan dalam kedua aturan hukum tersebut. Pencatatan yang dalam fikih bukan termasuk rukun nikah, menjadi latar belakang munculnya praktek-praktek nikah siri. Metode untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari Ibnu Rusyd kiranya dapat digunakan oleh pemerintah dan para ahli hukum untuk menggali dan menetapkan satu keputusan hukum, khususnya di bidang hukum perkawinan yang dapat mengikat dan memaksa seluruh golongan masyarakat.


A.    Latar Belakang Masalah
      Dalam kehidupan manusia, memelihara keturunan merupakan sesuatu yang sangat
Penting. Sebab dengan keturunan yang merupakan generasi penerus cita-cita, tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi akan dapat diteruskan. Sebagai cara untuk merealisasikan keinginan mempertahankan keturunan tersebut, diperkenankanlah lembaga perkawinan, yaitu lembaga bersekutunya seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan melahirkan anak-anak yang akan menjadi penerus orang tua mereka. Jadi dengan demikian, perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh keturunan yang sah, memelihara jenis generasi manusia, bahkan masing-masing pihak antara suami dan istri akan mendapatkan ketenangan batin yang dilandasi perasaan cinta kasih.[1]
      Demikian juga di Indonesia, rumusan dan tujuan perkawinan telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1, bahwa :
      Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita 
      sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
      bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]

      Jadi menurut UU No.1 Tahun 1974 di atas, arti perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Sedang tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
     Dengan demikian perkawinan tidak hanya suatu ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dalam waktu sesaat, tetapi perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dalam membentuk keluarga yang bahagia, sehingga ikatan lahir batin antara keduanya tetap terjaga. Bahkan lebih jauh, sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, dalam undang-undang perkawinan diatur segala hal yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan melindungi semua pihak yang terkait dengan hubungan suami istri, diantaranya adalah masalah pencatatan nikah.
     Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974, bahwa tiap-tiap perkawinan hendaknya dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan perundang-undangan di sini adalah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 4 tahun 1975, yang diperbarui dengan PMA Nomor 2 tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah serta PMA Nomor 477 tahun 2000, dimana dalam pasal-pasalnya banyak mengatur tata cara pendaftaran dan segala hal yang berkaitan dengan pencatatan nikah. Dari berbagai peraturan tersebut, semuanya memiliki tujuan yang sama, bahwa diadakannya pencatatan nikah adalah agar suatu pernikahan memiliki kekuatan serta akibat hukum yang pasti bagi pihak yang bersangkutan. Disamping itu juga memberikan jaminan berupa bukti otentik yang dapat dipertanggung jawabkan di depan hukum.
     Dengan demikian, sebenarnya segala peraturan ini mengandung maksud agar dalam setiap perkawinan ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu yang berkaitan dengan syarat serta rukun nikah dan yang berkaitan dengan administrasinya. Keduanya sangat mempengaruhi sah atau tidaknya suatu pernikahan, syarat dan rukun berpengaruh pada keadaan sah menurut hukum agama, sedang kelengkapan administrasi berpengaruh pada keadaan sah menurut hukum negara
     Sebagai upaya penyeragaman dibidang administrasi itulah, UU No. 1 Tahun 1974 kemudian membatalkan berlakunya beberapa peraturan yang pernah mengatur administrasi perkawinan, seperti Kitab UU Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks Ordonnantie Christen Indonesiers STB. 1933 No. 74) dan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken Stb.  1898 No. 158), sejauh hal-hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Meskipun demikian dalam penjelasan umum UU No. 1 tahun 1974 masih dinyatakan bahwa, sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan upaya menanmpung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat maka dalam Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketenuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.
      Berkaitan dengan hal tersebut, serta hubungannya dengan pencatatan perkawinnan maka dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 1 disebutkan bahwa bagi yang beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya, yang kemudian lembaganya dikenal dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan. Sedang dari segi materi, perkawinan bagi umat Islam tetap berpedoman kepada hukum agamanya (fikih munakahat), sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
        Dari sinilah kemudian muncul pandangan adanya dualisme hukum dalam peraturan perkawinan di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Sebab meskipun dalam hal-hal tertentu umat Islam tetap berpegang pada hukum agamanya, tetapi disisi lain dengan statusnya sebagai warga Negara Indonesia juga harus tunduk pada peraturan perundangan lainnya, yang tidak jarang terdapat pertentangan diantaranya. Termasuk dalam hal ini adalah masalah pencatatan perkawinan.  
       Sebagian masyarakat memandang bahwa pencatatan perkawinan hanya sekedar kewajiban administratif semata, sehingga kalau hukum agamanya tidak ada perintah atau larangan, maka tidak dianggap sebagai satu kesalahan jika melanggar aturan perundangan.  Sehingga mereka merasa cukup ketika satu perkawinan sudah terpenuhi segala syarat dan rukunnya serta sah menurut hukum agama. Di sisi lain, pemerintah dengan segala perangkat peraturan yang dimiliki tidak mampu melakukan  upaya paksa terhadap masyarakat untuk taat kepada aturan pencatatan perkawinan. Hal ini sekali lagi karena masyarakat Indonesia yang agamis tetap menganggap ketaatan kepada hukum agamanya lebih utama dibanding lainnya.
        Ibnu Rusyd dengan berbagai disiplin ilmu yang dimiliki, khususnya pemikirannya di bidang fikih serta cara-cara penetapan hukum, menurut penulis sangat tepat untuk dikaji hasil pemikirannya. Hal ini karena beliau juga seorang filosuf, yang sedikit banyak cara berpikir filosofisnya berpengaruh tehadap hasil pemikirannya yang lain. Dari kajian ini diharapkan diperoleh satu metodologi yang dapat dijadikan model dan dasar-dasar untuk mengambil dan menetapkan satu hukum, khususnya bagi para ahli hukum Islam di Indonesia sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan dan produk hukum di Indonesia.    

B.     Pokok Masalah
            Dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis akan mengangkat pokok masalah sebagai berikut :
a.    Sejauh manakah akibat hukum pernikahan siri terhadap pelakunya  ?
b.    Adakah pemikiran hukum Ibnu Rusyd yang dapat dijadikan metode untuk mendapatkan kesimpulan hukum ?

C.      Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian :
            Adapun tujuan dari karya tulis ini adalah untuk memperoleh jawaban dari pokok masalah tersebut di atas, yaitu:
1.      Untuk mengetahui sejauh mana akibat hukum pernikahan siri terhadap pelakunya.
2.      Untuk mencari jawaban adakah pemikiran hukum Ibnu Rusyd yang dapat dijadikan metode untuk mendapatkan kesimpulan hukum.
Kegunaan penelitian :                       
1.      Untuk memberikan gambaran. kepada masyarakat tentang akibat-akibat pernikahan siri..
2.      Diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum pada umurnya dan hukum Islam pada khususnya, terutama masalah hukum perkawinan di Indonesia.

D.    Kerangka Teoretik
Dalam pemikiran hukum, Islam mempunyai sistem berpikir yang dikenal dengan ijtibad, yaitu penggunaan pikiran untuk memperoleh ketentuan hukum Islam dalam hal-hal baik yang tidak disebutkan dalam nash al-Qur’an atau al-Sunnau, maupun yang disebutkan dalam hal ini menyangkut kepada pemanawannya ataupun penerapannya. Hal ini karena disebabkan oleh adaaya dorongan alQur’an dan al-Sunnah agar manusia menggunakan pikirannya dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup, lebih-lebih dalam persoalan yang fundamental. Misalnnya al-Qur’an mengajarkan ;
Ayat di atas dengan jelas memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajarannya hendaknya dipergunakan akal pikiran, karena hanya dengan cara demikianlah kebenaran mutlak al-Qur’an dapat diyakinkan. Akan tetapi penggunaan akal pikiran yang dimaksud di sini bukan berpikir sembarangan berpikir, atan berpikir sepintas lalu, melainkan yang mendalam dangan rnemakai peraturan dan disiplin.
Adapun metode berpikir yang umum berlaku ialah logika, yaitu cabang filsafat yang berperan memberikanukuran dalam menetapkan manakah argumen yang benar dan yang benar. Di samping itu ada metode lain yang disebut metode dialektik, yaitu metode untuk mendapatkan pengetahuan yang diandalkan dengan melakukan pembicaraan yang teratur.
Ketika mempergunakan hukum berpikir logika, dalam ijtihad. terbentuk tiga pola ; pengertian, putusan, dan peraturan. Pengertian yaitu gambaran cirri-ciri essensi sesuatu dalam pikaran yang kalau dirumuskan dengan kata-kata membentuk definisi, sedang gambaran sesuatu itu di wujudkan dalam bentuk kata. Putusan yaitu kegiatan akal atau pikiran dalam menyatakan sesuatu terhadap sesuatu, dan dalam bahasa putusan itu berbentuk kalimat. Sedang penuturan merupakan bentuk akhir pengertian dan putusan.
Fikih, yang merupakan produk dan kegiatan ijtihad tentu saja terpengaruh oleh metode berpikir dari masing- mujtahid. Sebab dalam ijtihad berpadu du unsur, yaitu antara ajaran Islam yang berfungsi sebagai rujukan logika dan atau dialektika sebagai metode berpikir.





















                                                                                          
BAB II
SEKILAS TENTANG IBNU RUSYD

            Sejauh ini kajian terhadap pemikiran seseorang kebanyakan hanya terfokus pada satu bidang kajian saja,tanpa ada usaha untuk melihat adanya keterkaitan dan saling mempengaruhi dengan bidang-bidang lain yang juga dimiliki oleh orang tersebut. Hal ini di samping jarangnya seseorang yang mempunyai keahlian di berbagai bidang lapangan keilmuan yang berbeda, juga adanya kesulitan dalam mencari dua lapangan ilmu yang berbeda yang pada dasarnya dapat saling mempengaruhi. Padahal dengan mengadakan pengkajian yang betolak dari bidang lain yang dimiliki seseoang, kita akan mengetahui apakah. keahlian seseorang di bidang tertentu dapat mempengaruhi pemikirannya di bidang lain.
            Hal ini terjadi pula dalam lapangan hukum Islam, kajian - kajian terhadap para peletak pondasi fikih Islam kebanyakan terbatas kepada konsep pemikirannya, yaitu materi hukum yang dihasilkannya, maupun metodologi yang dipakai dalam usaha menetapkan suatu materi hukum. Meskipun sudah ada yang mencoba dengan melihat dari sudut lain, sejauh ini kebanyakan hanya terbatas kepada faktor-faktor yang bukan bertolak dari lapangan keilmuan lain yang di miliki oleh obyek kajian. Misalnya hanya melihat dari sudut sosio kultural, waktu maupun tempat. Padahal kalau dilihat secara cermat, kajian-.kajian tersebut pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mengetahui seberapa jauh faktor-faktor luar dapat mempengaruhi cara dan kecenderungan berpikir seseorang.
            Khusus di bidang fikih,. dari berbagai kajian yang pernah dilakukan, dan dari fakta sejarah yang diungkapkan dapat diketahui bahwa perbedaan kebudayaan, lingkungan, kondisi sosial maupun faktor lain mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan pemikiran seseorang, yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan metode dalam melakukan ijtihad.[4] Untuk selanjutnya, perbedaan metode dalam melakukan ijtihad. menghasilkan formulasi dan fikih yang berbeda pula.
            Berdasarkan hal tersebut di atas, ternyata dapat diketahui bahwa pemikiran seseorang tidak bisa terlepas dari hal - hal luar yang secara tidak langsung dapat menentukan corak pemikiran. Dengan demikian kalau faktor-faktor lingkungan, kebudayaan, kondisi sosial dan sebagainya dapat mempengaruhi, apakah tidak ada kemungkinan bahwa keahlian seseorang di bidang ilmu tertentu juga dapat mempengaruhi cara berpikir orang tersebut ketika mengadakan kajian terhadap bidang ilmu lainnya. Dengan catatan bahwa kedua bidang ilmu yang berbeda tersebut dapat saling mempengaruhi.
            Berangkat dari kenyataan-kenyataan yang demikian itulah, pembahasan karya tulisi ini akan mengangkat seorang tokoh Muslim yang tidak hanya terkenal di dunia Islam saja, tetapi juga diakui sebagai tokoh besar di Eropa. Beliau adalah lbnu Rusyd.          
            Seperti telah diketahui, bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang yang pengetahuannya sangat luas diberbagai bidang ilmu, sehingga namanya selalu dikaitkan dengan gelar “greatest Moslem philosopher, astronomer, physician and Aristotelian commentator”.[5] Ini disebabkan karena beliau tidak hanya mempe1ajari satu bidang pengetahuan saja, tetapi hampir semua bidang beliau pelajari, seperti matematika, fisika, astranomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan.[6] Beliau juga dikenal sebagai pengagum tokoh filosof Yunani Aristoteles. Ia mempelajari, mendalami dan menafsirkan/mensyarahkan ajaran-ajaran filsafat Aristoteles.’ Oleh karena itu sangat mungkin sekali apabila pikiran dan ajaran-ajaranya banyak dipengaruhi oleh ajaran filsafat Aristoteles.
            Meskipun nama Ibnu Rusyd lebih dikenal sebagai seorang filosof, beliau juga ahli di dalam ilmu - ilmu agama seperti tafsir, hadits, dan fikih. Sebagai seorang yang ahli tentang ilmu hukum Islam, ia termasuk fakih dari golongan Malikiah yang sangat tinggi ilmunya, sehingga oleh pemerintah pada masa itu beliau diangkat menjadi seorang hakim, yang selanjutnya berdasar kecakapan yang luar biasa di dalam jabatan itu, beliau diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung.[7]
            Ibnu Rusyd hidup sesudah tokoh-tokoh filosof dan ahli pikir Islam yang terkenal, seperti al-Kindi, al-farabi, Ibnu Sina dan a1-Ghazali.[8] Maka sebagai seorang filosof Islam, dengan sendirinya ia sudah mempelajari dan memahami isi dan ide-ide yang terdapat dalam buku-buku karangannya. Hal ini, sedikit atau banyak tentu saja juga akan mempengaruhi pemikirannya. Sebagai orang yang ahli di berbagai bidang ilmu, khususnya filsafat dan fikih serta jabatannya sebagai hakim, Ibrnu Rusyd pernah menyatakan bahwa bila studi hukum tidak disertai studi filsafat, fikih akan membuat budi sempit dan memalsukan agama.[9]
            Itulah alasannya, mengapa tokoh yang diangkat dalam pembahasan karya tulis ini adalah Ibnu Rusyd, sebab dengan melihat hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa lbnu Rusyd tidak hanya mempunyai keahlian disatu bidang lapangan keilmuan saja, tetapi mempunyai keahlian lebih dari satu bidang lapangan keilmuan, khususnya filsafat dan fikih.
            Ibnu Rusyd (520—595 H) adalah salah seorang ulama’ besar yang sangat terkenal di dunia Islam dan Eropa.[10] Ia dikenal sebagai orang yang kecintaannya terhadap ilmu sukar dicari tandingannya, sebab selama hidupnya ia tidak pernah berhenti membaca kecuali dua malam, yaitu pada malam ayahnya rneninggal dunia dan malam perkawinannya.[11] Keahliannya diberbagai bidang ilmu, terutama di lapangan ilmu fikih dan filsafat, menjadi sebab Ibnu Rusyd memperoleh kedudukan yang tinggi dari Khalifah Abu Yusuf al-Mansur yang berkuasa sekitar tahun 1184—1198 M, sehingga pada masa itu setiap ada pendapat dan kata-kata, yang terkenal hanyalah pendapat dan perkataan Ibnu Rusyd.[12]
Berdasar periodesasi tasyri’, masa kehidupan Ibnu Rusyd termasuk dalam periode keempat atau lebih. Dikenal dengan masa taqlid dan jumud, yaitu masa  penolakan kemerdekaan berpikir. Pada masa ini ditandai dengan mundurnya kemampuan dan kegiatan berijtihad serta munculnya kecenderungan bertaklid.[13] Pada masa ini kegiatan dalam bidang hukum terbatas pada pengembangan dan analisis mendetail terhadap hasil yang sudah ada, atau hanya sekedar memberikan komentar atas hasil kerja para ulama terdahulu.
Kegiatan pemberian komentar, pengembangan dan analisis terhadap karya terdahulu ini, kemampuan dan daya kritis akal benar-benar berperan kembali, tergantung tingkat. kualitas dan kemampuannya. Atas dasar inilah, tingkatan fukaha diklasifkasikan menjadi beberapa tingkatan.[14] Ibnu Rusyd, sebagai fakih yang hidup pada periode ini termasuk digolongkan pada tingkatan Mujtahid fi al-Masail.[15]
A. Hanafi dalam bukunya Pengantar Theologi Islam secara global mengelompokkan pemikiran-pemikirn Ibnu Rusyd dalam tiga pokok persoalan, yaitu filsafat, hubungan antara agama dan filsafat, dan golongan-golongan theologi Islam.[16] Dalam dunia filsafat, sebetulnya Ibnu Rusyd tidak bermaksud untuk menciptakan sistem filsafat tersendiri, Ia hanya mengolah dan membela sistem yang sudah ada, terlebih kekagumannya terhadap Aristoteles yang begitu besar sehingga ia hanya bermaksud menjelaskan filsafat Aristoteles dan pikiran-pikirannya yang sukar dipahami.[17] Oleh karena itu, karya ibnu Rusyd dibidang Filsafat digolongkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu tafsir atas karya Aristoteles, karangan polemis dan karangan apologetis.[18]
Tetapi pada kenyataannya, Ibnu Rusyd kemudian membentuk aliran filsafat tersendiri yang berbeda dengan pendapat fiiosof-filosof sebelumnya. Hal ini dikarenakan oleh dua sebab, yaitu filsafat Aristoteles yang sampai ke padanya melalui Neo-Platonisme dan filosof-filosof Iskandariah, serta banyak pikiran-pikiran Aristoteles yang masih belum jelas dan berbelit-belit pula cara memahaminya.[19] Dengan demikian Ibnu Rusyd. termasuk dalam golongan filosof - filosof asli (al-Mubtadi’in).[20]
Menurut Ibnu Rusyd, akal manusia itu harus bebas dan berdiri di atas segala-galanya. Agama diturunkan bukan untuk membatasi akal melakukan penelitian, tetapi wahyu Tuhan itu diturunkan adalah untuk menyempurnakan akal. Karena pendiriannya inilah, Ibnu Rusyd dianggap sebagai seorang rasionalis pertama yang telah membuka jaman pikiran merdeka di Eropa.[21] Jadi meskipun Ibnu Rusyd mengakui kekuatan akal dan percaya akan kesanggupannya untuk mengetanhui, namun ia menyatakan bahwa dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak di luar kesanggupan akal untuk mengetahuinya. Oleh karema itu untuk hal-hal yang demikian wahyu diturunkaa untuk menyempunnaaan pengetahuan akal.[22]
Sedang konsepsi Ibnu Rusyd tentang hubungan antara agama dan filsafat terdapat dalam ketiga bukunya, yaitu:
1.      Tahfut al-Takafut, yaitu berisi tangkisan terhadap Tahafut al-Fa1asifah nya al-Gazali.
2.      Faslu al-Naqal fi ma Baina al-Hikmah wa al-Syari’ ah min al-Ittisal, yaitu berisi uraian penyelarasan filsafat dan agama.
3.      Al-Kasyfu ‘an Manhij a1-Adillah fi ‘Aqaid al—Millah, yaitu berisi uratan dalil-dalil mengenai kepercayaan-kepercayaan agama.[23]

Ibnu Rusyd mendasarkan pendapatnya dengan hal-hal sebagai berikut :
1.      Syari’ah (agama) mewajibkan adanya pandangan filsafat
2.      Syari’ah mempunyai pengertian zahir dan batin, sehingga terkadang diperlukan adanya ta’wil
3.      Meletakkan kaidah-kaidah ta’wil
4.      Terbatasnya kemampuan akal, dan hubungan antara akal dan wahyu.[24]

Di dalam kitabnya Baina al-Din wa al-Falsafah, setelah memaparkan pendirian dan argument-argumen Ibnu Rusyd tentang persesuaian antara filsafat dan agama, Muhammad Yusuf Musa menulis :
Seaungguhmya. filosof Andalusia (Ibnu Rusyd) ini meskipun memuja kekuatan akal dan percaya akan kesanggupannya untuk mengetahui, namun Ia menyatakan bahwa ada hal-hal yang akal tidak sanggup mengetahuinya, karena itu harus kembali kepada wahyu yang diturunkan untuk menyempurnakan pengetahuan akal. Maka semua yang tidak disanggupi akal, Tuhan memberikannya kepada manusia melalui wabyu.[25]
                                                                                                   
Secara rinci H. Zainal Abidin Ahmad membagi pemikiran filsafat. Ibnu Rusyd dalam beberapa prinsip pokok, yaitu :
1.      Penyelarasan Falsafah Dan Agana
2.      Falsafah Alam
3.      Akal Merdeka
4.      Falsafah Ketuhanan
5.      Falsafah Sosial Politik[26]

Dan semua pokok pikiran tersebut di atas masing-masing diterangkan tentang pendapat Ibnu Rusyd mengenainya, disertai pula dengan pendapat-pendapat dan beberapa tokoh yang mengomentarinya.
Tentang kedudukan akal dalam filsafat Ibnu Rusyd, Muhamaad ‘Atif al-’Iraqi dalam kitabnya al-Naz’ah al-’Aqliyyah fi Falsafah Ibnu Rusyd membahasnya dalam empat bab. Bab pertama mengkaji tentang kehidupan ilmiahnya, bab ke dua membahas tentang peranan akal dalam pengetahuan. Sedang bab ketiga berisi analisa tentang hubungan antara akal dan wahyu, bab keempat membahas peranan akal dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan manusia, seperti masalah baik buruk, qada qadar. Sebagai bab penutup, yaitu bab kelima membicarakan tentang peranan akal dalam masalah-masalah ketuhanan.[27]
Pemikiran Ibau Rusyd di bidang lain yang masih jarang disinggung oleh para pengkajinya adalah bidang hukum Islam (fikih). Paling jauh mereka hanya menyebut keahlian Ibnu Rusyd di bidañg fikih ini sebagai pelengkap saja yaitu ketika menyebutkan karya-karyanya yang di dalamnya termasuk juga ilmu fikih.[28] Padahal kepandaiannya di bidang fikih sangat tinggi, seperti yang diakui oleh Ibnul Abbar dalam bukunya Takmilah, bahwa keahliannya di dalam ilinu fikih jauh lebih tiaggi beberapa tingkat dibanding dengan ilmunya dalam ilmu falsafah. Salah satu karyanya di bidang hukum Islam yaitu kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, yang berisi himpunan pendapat lbnu Rusyd dilapangan hukum, dengan mengemukakan pendapat imam-.imam dan ulama-ulama fikih yang lain, beserta dalil-dalil yang menjadi alasannya.
Dengan kedua bidang yang dimilikinya, Ibnu Rusyd mencoba membandingkan antara metode-metode filsafat dengan metode usul fikih, yaitu prinsip-prinsip fikih yang berpijak pada empat sumber Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.[29] Ketika membicarakan ijma’, sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak mungkin terjadi ijma dalam sesuatu masalah pada sesuatu masa, kecuali apabila masa itu terbatas, dan semua ulama yang ada pada masa itu diketahui orang-orangnya dan bilangannya, dan pendapat masing-masing dan mereka sampai kepada kita dengan jalan tawatur. Dalam pada itu haruslah dapat diyakinkan oleh kita bahwa ulama—ulama yang terdapat pada masa itu sepakat pendapatnya, bahwa dalam syara’ tidak ada arti lahir atau arti batin, bahwa mengetahui sesuatu persoalan tidak asing lagi bagi seseorang dan bahwa jalan manusia untuk mengetahui syara’ adalah sa[30] Sedang dalam masalah qiyas, Ibnu Rusyd mengabil dasar nas a-Qur’an;
Hendaklah engkau sekalian mengambil ibarat wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”.[31]
Berdasar ayat di atas, Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa kita harus melakukan qiyas aqli (syllogism), atau qiyas aqli dan qiyas syar’i (qiyas dalam fikih) bersama-sama. Ia mengartikan i’tibar” dalam ayat tersebut tidak lain ialah pengambilan sesuatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari sesuatu yang sudah diketahui (maklum), dan inilah yang dinamakan “qiyas”.[32]
Sebelum menjelaskan tentang berpikir filosofis, terlebih dulu akan. dijelaskan tentang pengertian. filsafat. Kata filosofi (philosophy) berasal dari bahasa Yunani philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan).[33] Jadi kata filosofi atau filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Berbagai definisi telah diberikan untuk menjelaskan apa sebenarnya filsafat itu, tetapi pada intinya hampir sama, yaitu bahwa filsafat selalu dikaitkan dengan kegiatan perenungan atau pemikiran. Di antara defihisi-definisi filsafat itu antara lain:
-          Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
-          Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi.
-          Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
-          Filsafat adalah sebagai analisa logis dan batiasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
-          Filsafat adalah sekumpulan problem-problem yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.[34]
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan hasil perenungan kefilsafatan, yaitu percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri.[35]
Ibmu Rusyd sebagai salah seorang filosof Islam yang berusaha menyelaraskan agama dan filsafat, mengartikan filsafat sebagai berikut :
Filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan rnerenungkannya sebagai bukti akan adanya pencipta, yaitu dan segi bahwa segala wujud ini  adalah ciptaan sehingga merupakan petunjuk adanya pencipta itu setelah diketahui tentang segi penciptaan padanya, maka semakin sempurna pengetahuan itu, semakin sempurna pula pengetahuan tentang pencipta.[36]

Dengan demikian berpikir filosofis adalah berpikir tentang masalah apapun juga secara mendalam dengan memakai metode-metode filsafat, yaitu dengan pembuktian-pembutian yang dapat diterima oleh akal.[37]
Salah satu metode dasar untuk penyelidikan filsafat adalah metode dialektik, yaitu metode untuk mendapatkan pengetahuan yang diandalkan dengan melakukan pembicaraan yang teratur. Dimulai dengan diskusi tentang aspek-aspek yang biasa diterima entang sesuatu problema, yaitu dialog antara dua pendirian yang bertentangan. Metode dialek berusaha untuk mengembangkan suatu contoh argument yang di dalamnya terjalin implikasi bermacam-macam proses yang saling mempengaruhi. Argumen tersebut akan menunjukkan bahwa tiap—tiap proses tidak menyàjikan pembahasan yang sempurna teatang kebenaran. Dengan begitu timbullah pandangan dan alternatif yang baru.[38]
Dalam menerangkan konsep peradilan umpamanya, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa peradilan itu harus dilaksanakan berdasarkan empat perkara, yaitu keterangan saksi, sumpah, penolakan sumpah dan pengakuan.[39] Sebagal ciri filosofinya Ibnu Rusyd menganalisa keempat perkara tersebut secara mendalam dengan melihatnya dan berbagai segi. Seperti ketika menerangkan tentang keterangan saksi, Ibnu Rusyd tidak begitu saja memasukkan keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti dalam peradilan, tetapi lebih jauh ia me1iatnya dari segi sifat, jenis dan jumlah. Kemudian setelah melihatnya dan segi-segi tersebut di atas, masing-mansing hasil pandangannya dianalisa lagi dengan cara mendialogkan antara dua pendirian yang bertentangan. Contoh kongkrit yang masih berkaitan dengan keterangan adalah sebagai berikut : setelab melihatnya dan segi sifat, keterangan saksi meliputi beberapa hal, diantaranya adalah sifat adil, dan sifat adil ini kemudian didialogkan lagi dari berbagai pandangan dengan mengemukakan argumennya masing-masing, dan sebagai ciri berpikir filosofis lagi adalah pertanyaan tentang yang bukan fakta. Ibnu Rusyd tidak berpanjang lebar dalam mempersoalkan apakah saksi harus adil atau tidak, tetapi yang Ia persoalkan dalam kitabnya adalah apakah keadilan itu.[40] Pertanyaan apakah saksi harus adil atau tidak adalah pertanyaan tentang fakta, sedang pertanya apakah keadilan itu merupakan soal kefilsafatan.





BAB III
AKIBAT NIKAH SIRI DAN UPAYA PEMERINTAH DIBIDANG LEGISLASI
 
A.    Akibat Nikah Siri
    Di Indonesia, pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan (tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama), paling tidak disebabkan oleh empat faktor: (1) berbenturan dengan aturan yang berlaku untuk menghindari prosedur yang berbelit-belit (2) faktor psikologis, belum benar-benar siap untuk mandiri (3) faktor ekonomi (4) faktor tradisi.[41] Beberapa akibat pernikahan siri sebetulnya sudah banyak disampaikan oleh banyak pihak, sehingga dalam tulisan ini hanya disampaikan beberapa kasus yang  penulis temukan di lapangan dalam menjalankan tugas sebagai seorang penghulu. Diantaranya :
           Pertama, perbedaan persepsi tentang siapa yang berhak menjadi wali nikah antara petugas Kantor Urusan Agama (KUA) dan keluarga calon pengantin. Ini adalah kasus yang paling sering muncul di KUA.
  Ketika  calon pengantin mendaftarkan diri ke KUA, satu diantara sekian kewajiban petugas KUA adalah memeriksa dan menentukan siapa yang berhak menjadi wali nikah. Disamping dokumen dari kelurahan, untuk penentuan wali nikah juga didasarkan kepada akta kelahiran yang bersangkutan. Kalau dari bukti-bukti otentik ini petugas menemukan bahwa calon pengantin perempuan dilahirkan hanya dari seorang ibu, maka ditentukan wali nikahnya adalah wali hakim.
   Dalam kasus ini banyak keluarga calon pengantin yang dengan ikhlas menerima ketentuan tersebut, tetapi ada juga pihak khususnya ayah dari pengantin perempuan yang tidak menerimanya. Ia akan bersikukuh bahwa yang berhak menjadi wali nikah adalah dirinya dan tidak terima kalau wali nikahnya wali hakim. Alasannya, meskipun dalam akta kelahiran sang anak terlahir hanya dari seorang ibu, tetapi pada kenyataannya dialah ayah kandungnya yang sah, karena anak itu terlahir dari pernikahan orang tuanya yang sah meskipun hanya siri.
   Di sinilah letak persoalannya, ketika seseorang atas dasar hukum agama (fikih) yakin bahwa pernikahan sirinya adalah sah, maka tentu saja iapun berhak menjadi wali bagi anak-anak yang dilahirkan. Tetapi bagi petugas KUA, atas dasar tuntutan hukum agama dan negara akan berhati-hati menerima alasan semacam itu. Pengakuan sudah melakukan pernikahan siri sangat sulit dibuktikan, sehingga akan tetap berpegang kepada bukti otentik yaitu akta kelahiran.
   Kedua menimbulkan kesulitan administrasi kependudukan dalam hal status perkawinan seseorang. Sering terjadi petugas kelurahan atau kecamatan kesulitan mencantumkan status perkawinan seseorang yang akan mengurus dokumen resmi, terutama surat-surat untuk keperluan menikah di KUA.
   Seseorang yang sudah melakukan pernikahan siri, terlebih sudah mendapatkan keturunan, baik karena tuntutan administrasi maupun sosial kemasyarakatan, dalam kartu keluarganya (C1) senantiasa menuliskan status “menikah”. Meskipun idealnya hal itu tidak bisa dilakukan karena tidak adanya akta perkawinan, tetapi fakta di lapangan banyak pasangan nikah siri yang status perkawinannya baik dalam kartu keluarga maupun KTP tertulis sudah menikah.
   Ketika salah satu atau kedua pasangan nikah siri ini akan mengurus pernikahan resmi, baik dengan pasangannya itu sendiri atau orang lain, salah satu dokumen penting yang harus dilengkapi adalah tentang status perkawinan. Kesulitan yang dihadapi, kalau statusnya tertulis menikah, maka permohonan nikahnya oleh petugas KUA akan dikategorikan  pernikahan poligami, dan itu tidak mungkin dilaksanakan karena terbentur ijin pengadilan. Demikian juga kalau status perkawinannya tertulis duda atau janda, KUA pun tetap meminta bukti akta cerai atau kematiannya. Gagalnya nikah masal di Masjid Kemayoran Jakarta Pusat pada tanggal 26 Februari 2010 adalah sebagai buktinya. Maka jalan satu-satunya adalah mengembalikan status asalnya, yaitu jejaka atau perawan. Hanya saja, bersediakah pihak kelurahan atau kecamatan mencamtumkan status tersebut, sebab seluruh data yang ada semuanya tertulis menikah.
    Ketiga, terjadi ketidak konsistenan hukum yang dapat menyebabkan praktek poliandri terselubung. Satu hal yang harus dicatat, bahwa penyebab munculnya istilah nikah siri dan segala persoalannya adalah adanya dualisme hukum di bidang perkawinan. Sebagai umat Islam, segala aktifitas ibadah dab muamalah (sosial kemasyarakatan) termasuk di dalamnya masalah perkawinan dan perceraian sudah diatur sedemikian rupa dalam fikih. Demikian juga sebagai warga negara Indonesia, umat Islam harus tunduk dengan peraturan perundangan yang berlaku.
  Seseorang yang yang pernikahannya tidak dicatatkan di KUA (siri), manakala terjadi perceraianpun tidak melalui lembaga peradilan, tetapi mengikuti ketentuan sebagainana tertuang dalam kitab-kitab fikih. Artinya tanpa adanya proses persidangan dan bukti otentik telah terjadi perceraian. Seorang wanita yang sudah menikah siri, pada saat kehidupan keluarganya mulai tidak harmonis, tidak diberi nafkah dan bahkan ditinggal suaminya, banyak yang beranggapan bahwa kondisi seperti itu hubungan perkawinannya sudah putus, artinya statusnya bukan lagi bersuami dan berhak untuk menikah dengan siapapun.
   Kalau kemudian wanita tersebut menikah lagi dengan pria lain, sementara suami pertamanya belum menjatuhkan talak atau ia sendiri belum melakukan upaya hukum untuk lepas dari ikatan perkawinannya, maka ia sudah melanggar ketentuan hukum Islam. Meskipun menurut hukum positif tindakan seperti itu bisa saja dilakukan, tetapi dari kaca mata hukum Islam wanita tersebut sudah melanggar ketentuan syariat dan dianggap meakukan suatu perbuatan dosa. Sebab selama suami pertamanya belum menjatuhkan talak, dalam mondisi dan sampai kapanpun ia masih berstatus sebagai seorang istri. Dengan demikian perkawinannya yang kedua tidak hanya melanggar laranga Rasulullah, yaitu menerima khitbah lelaki lain tetapi juga sudah melakukan poliandri.
    Keempat manipulasi dan pengebirian hukum. Sebagaimana fatwa MUI tahun 1995 dan kenyataan di lapangan, bahwa banyak pasangan nikah siri yang dikemudian hari ingin mencatatkan perkawinannya di KUA. Bahkan Menteri Agamapun setelah kontroversi nikah siri mencuat memberikan solusi untuk mencatatkan perkawinan siri ke KUA tanpa ijab kabul baru. Tetapi satu hal yang harus diketahui, bahwa KUA tidak dapat mencatat perkawinan siri sebelum ada itsbat (penetapan) dari Pengadilan Agama. Artinya, pasangan nikah siri yang akan mencatatkan perkawinannya di KUA terlebih dahulu harus mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Dalam itsbat nikah inilah sesungguhnya terjadi rekayasa hukum yang dilegalkan.
  Dari fakta yang ada, seseorang melakukan nikah siri disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah kesulitan administrasi pada saat mendaftar di KUA. Seperti seorang yang sudah beristri, kemudian ingin menikahi wanita lain, maka ketika kesulitan mengajukan ijin poligami akan memilih nikah siri sebagai solusinya. Juga pasangan di bawah umur, karena ada suatu sebab mengharuskan mereka untuk segera dinikahkan, tetapi tidak mau repot mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama, maka nikah siri dianggap jalan terbaik.
   Dari kedua contoh kasus di atas, kalau dikemudian hari pernikahan sirinya dimintakan itsbat nikah dan pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, maka menurut penulis hukum benar-benar dilecehkan dan dibuat tidak berdaya. Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya jelas memuat aturan poligami dan ketentuan usia perkawinan dipaksa harus tunduk kepada rekayasa hukum melalui pernikahan siri.
  Itulah beberapa hal yang penulis temukan dalam menjalankan profesi sebagai seorang penghulu. Fakta di atas adalah riil dan bukan asumsi-asumsi pribadi, sehingga diharapkan masyarakat mengetahui dampak negatif pernikahan siri dan dari fakta-fakta tersebut dapat dijadikan pertimbangan sejauh mana pentingnya sebuah pencatatan nikah.
B.     Nikah Siri dan RUU-HTPA
       Maraknya praktik nikah siri yang terjadi di masyarakat membuat pemerintah benar-benar serius untuk memberantasnya. Hal itu dibuktikan dengan upaya pemerintah yang saat ini bersama DPR sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU-HTPA), yang dalam salah satu pasalnya mewajibkan pencatatan perkawinan, sebagaimana tertuang dalam pasal 4 yang berbunyi : “Setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Disamping itu juga dicantumkan tentang Ketentuan Pidana bagi siapa saja yang terlibat dalam praktik perkawinan siri, baik bagi pelaku, yang menikahkan maupun para saksi (bab XXI Pasal 140).[42]
      Berbeda dengan Undang-Undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan, perintah pencatatan perkawinan dalam RUU-HTPA sudah dengan tegas menggunakan kata wajib. Juga mengenai sangsi pidana, kalau dalam UU No. 22 Tahun 1946 dan PP No. 9 Tahun 1975 hanya memberikan hukuman kurungan 3 (tiga) bulan atau denda Rp. 50,- (lima puluh rupiah) bagi pelaku dan Rp. 100,- (seratus rupiah) bagi yang menikahkan, dalam RUU ini batas maksimal pidana denda dinaikkan menjadi Rp. 3.000.000,- dan hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.
      Apa yang dilakukan pemerintah bersama DPR ini sesungguhnya tidak lain untuk mempertegas dari aturan-aturan yang ada sebelumnya, dimana unsur pemaksa yang menjadi salah satu cirri sebuah undang-undang atau peraturan tidak begitu kelihatan. Maka dengan dicantumkan kata harus atau bahkan wajib serta adanya sangsi pidana diharapkan dapat menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya mencatatkan perkawinan.
     Tetapi memperhatikan langkah yang ditempuh pemerintah untuk memberantas praktik nikah siri yang hanya dengan mewajibkan pencatatan dalam RUU-HTPA ini menurut penulis tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Sebab belajar dari aturan-aturan sebelumnya, masyarakat hanya memandang pencatatan perkawinan hanya sekedar kewajiban administratif yang sangsinyapun bersifat administratif. Berbeda halnya kalau pencatatan ditetapkan sebagai unsur pokok (rukun) yang menentukan keabsahan perkawinan, masyarakat akan berpikir ulang kalau tidak mencatatkan perkawinannya.
C.    Latar Belakang RUU-HTPA
Ilmu hukum membedakan antara sumber hukum dalam arti materiil dan sumber
hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber yang menentukan isi atau substansi hukum, sedang dalam arti formal adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya, dalam hal ini berbentuk undang-undang, hukum adat, hukum kebiasaan, traktat, yurisprudensi dan doktrin. Berkaitan dengan hukum perkawinan, sumber hukum materill Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan berasal dari hukum agama (Islam) dan beberapa bagian diadaptasi dari ketentuan Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) yang meupakan warisan dari hukum kolonial Belanda.[43]
     Aturan perkawinan baik yang terdapat dalam UU No. I Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, selama ini oleh peradilan agama dianggap belum (kurang) memadai kalau dijadikan sebagai hukum materiil. Sedang Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya sudah memadai dan cukup efektif untuk dijadikan pedoman bagi para hakim di lingkungan peradilan agama. Tetapi sebagaimana diketahui bersama bahwa KHI menjadi hukum materiil hanya didasarkan (tercantum dalam instruksi presiden, padahal politik perundang-undangan nasional Indonesia menghendaki bahwa hukum materiil yang dijadikan dasar para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara berdasarkan pada hukum materiil yang diatur dengan undang-undang.
     Jadi upaya yang dilakukan pemerintah dan DPR dengan mencantumkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009 merupakan salah satu bentuk kebijakan hukum nasional yang menginginkan terwujudnya suatu hukum terapan peradilan agama yang diatur dengan undang-undang. Disamping itu langkah pemerintah ini juga mencerminkan adanya kemauan untuk menempatkan hukum agama sebagai salah satu sumber hukum nasional, dalam hal ini hokum materiil di bidang perkawinan.[44]
      Dengan demikian RUU-HTPA nantinya akan menjadi hukum terapan (applied law) bagi para hakim peradilan agama dalam memeriksa dan memutus sengketa yang menjadi kewenangan Peradilan Agama khususnya di bidang perkawinan. 
      Dimasukkannya persoalan nikah siri (meskipun tidak disebutkan secara explisit) dalam RUU-HTPA ini sesungguhnya untuk mempertegas tentang kewajiban mencatatkan perkawinan sebagaimana diatur dalam UU No. I Tahun 1974. Sebab masalah pencatatan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dianggap belum cukup menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pencatatan perkawinan. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menganggap pasal ini justru sebagai biang keladi munculnya perkawinan siri. Atau dengan kata lain, UU No. I Tahun 1974 masih memberikan peluang dualism ketaatan hukum, yaitu hukum agama dan Negara. Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” diartikan sebagai dasar keharusan untuk taat kepada hukum agama. Sedang pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, sebagai perintah untuk taat kepada hukum negara, atau bahkan hanya sekedar untuk tertib administrasi saja. Akan lain halnya kalau kedua ayat ini dijadikan satu saja. Artinya antara ketaatan menjalankan hukum agama dan mencatatkan perkawinan sama-sama sebagai satu kewajiban yang menentukan keabsahan suatu perkawinan.
         Pertanyaannya, mengapa para pembuat UU waktu itu tidak melakukannya ? Jawabannya dapat diketahui dari latar belakang lahirnya UU ini, baik dari sisi fiosofis, yuridis maupun sosiologis. Disamping itu, hal ini juga merupakan bukti yang menunjukkan bentuk-bentuk kearifan dan toleransi bangsa ini yang tidak hanya ditemui dalam kehidupan sosial saja tetapi juga dalam kehidupan tata negaranya. Mereka memahami kemajemukan bangsa Indonesia, sehingga merekapun sadar bahwa hokum perkawinan yang dituangkan dalam bentuk Undang-Undang ini bersifat lintas agama dan tentu saja aturan-aturannya hendaknya hanya berupa ketentuan-ketentuan umum di bidang perkawinan agar dapat ditaati dan dilaksanakan oleh semua umat beragama.
        Hal sama yang akan muncul kaitannya dengan RUU-HTPA tampaknya juga tidak jauh dari persoalan ketundukan kepada dua hukum yang berbeda, dalam hal ini berkaitan dengan masalah pencatatan perkawinan. Oleh karena itu kalau pemerintah berkeinginan memberantas praktik perkawinan siri secara sungguh-sungguh, maka harus ada keberanian untuk menjadikan pencatatan sebagai unsur pokok (rukun) pernikahan dalam RUU-HTPA tersebut. Sebab kalau hanya sekedar diwajibkan tetapi diletakkan bukan sebagai rukun nikah, sekali lagi nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang sudah ada. Tetapi sesungguhnya kunci persoalan yang sebenarnya bukan terletak kepada kemauan pemerintah semata, ada faktor lain yang bisa menghambat upaya memadukan dua unsur hukum yang berbeda tersebut, yaitu tidak adanya dukungan masyarakat dan politik perundang-undangan kita. Sebagian besar masyarakat terlanjur meyakini bahwa aturan agama (hukum fikih) sudah dianggap sempurna dan final, serta haram hukumnya bagi siapapun termasuk pemerintah untuk menambah atau mengurangi apalagi merubahnya. Sedang dari sisi politik perundang-undangan nasional menghendaki agar seluruh sistem hukum nasional tidak saling bertentangan.
       Kalau hukum berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (tool of social engineering), tentu saja RUU-HTPA yang nantinya akan menjadi satu peraturan perundangan harus berani memposisikan dirinya sebagai alat pemaksa kepada masyarakat. Sebab melihat masalah yang muncul di tengah masyarakat, khususnya persoalan perkawinan siri memang mengharuskan adanya suatu peraturan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu inilah saat yang tepat bagi pemerintah dan DPR untuk membuat suatu peraturan perundangan yang dapat menghilangkan pandangan dualism hukum, yaitu rumusan tentang pencatatan sebagai unsur pokok (rukun) pernikahan.
D.    Metode Pendekatan
        Hukum perkawinan merupakan bagian dari hukum keluarga (family law, ahwal al syakh shiyah) yang masuk dalam al wilayah ikhtilaf (perbedaan pendapat) antara aliran (mazhab) dalam hukum Islam. Oleh karena itu, sebelum RUU-HTPA nanti disahkan menjadi undnang-undang, pemerintah dalam hal ini tim perumus perlu menempuh beberapa metode pendekatan yang bisa menghasilkan satu pemikiran (rumusan) yang disepakati semua pihak serta keputusan yang memiliki landasan atau dasar hukum yang kuat.
       Salah satu metode yang penulis nilai paling tepat yang dapat digunakan untuk menggali dan mendapatkan kesimpulan hukum (istinbath al hukum) adalah menggunakan konsep middle road sebagaimana yang ditawarkan Ibnu Rusyd dalam kasus persaksian akad nikah. Ketika para ulama berbeda pendapat tentang hukum persaksian, Ibnu Rusyd berpendapat dengan mengambil jalan tengah, yaitu mempertanyakan apakah persaksian itu dianggap sebagai satu ketentuan  syariat atau hanya sekedar sebagai sadzdzudzdzariah (mencegah kemadlaratan dibelakang hari).[45]
      Kalau dalam hal persaksian akad nikah saja Ibnu Rusyd mempertimbangkan pendapatnya dengan kaidah  sadzdzudzdzariah, maka pencatatan perkawinan yang tujuan penetapan hukumnya (maqasid as-syariah) adalah dengan landasan sadzdzudzdzariah, maka sangat dimungkinkan kalau pencatatan dimasukkan sebagai unsur pokok (rukun) pernikahan.
     Yang kedua adalah dengan konsep Ibnu Rusyd yang lainnya, yaitu metode analog (qiyas). Menurutnya qiyas adalah pengambilan suatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari sesuatu yang sudah diketahui (maklum).[46] Dalam kasus ini menganalogkan pencatatan perkawinan kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282. Artinya pencatatan nikah dan akad utang piutang itu sama-sama diperintahkan. Bahkan dalam metodologi penetapan hukum Islam, analog (qiyas) semacam ini tergolong qiyas aula.
       Berdasarkan metode pendekatan di atas, seharusnya RUU-HTPA tidak hanya sekedar mewajibkan pencatatan perkawinan, tetapi lebih tegas lagi bahwa pencatatan termasuk unsur  pokok (rukun) pernikahan.


BAB IV
KESIMPULAN

         Apa yang diuraikan di atas tersebut, sebenarnya sudah menjawab beberapa persoalan yang dikaji dalam tulisan ini. Adapun jawaban atau kesimpulan terkait persoalan akibat  nikah siri dan metode dari Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut :
1.       Apapun faktor penyebabnya, pernikahan siri lebih banyak menimbulkan kerugian   
         dari pada keuntungannya.  Kerugiannya tidak hanya berkaitan dengan status   
         pernikahan siri di mata hukum, tetapi lebih jauh adalah akibat yang berhubungan
         dengan pihak ke tiga, baik yang berkaitan dengan keluarga maupun lainnya.
2.       Ibnu Rusyd adalah seorang yang pengetahuannya sangat luas diberbagai bidang ilmu, khususnya filsafat dan fikih. Khusus di bidang fikih, dengan kemampuannya berfikir filosofis Ibnu Rusyd sangat hati-hati dalam setiap menentukan kesimpulan hukum. Dari sekian  konsep yang ditawarkan, konsep middle road dan qiyasnya dapat ijadikan metode untuk  mendapatkan kesimpulan hukum.


       












DAFTAR PUSTAKA



Abu Zahrah, Muhammad. Muhadarat Fi ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh. Kairo : Dar al-Fikr 
        al-Arabi, tt.

Ash Shiddieqy, M.Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta : Bulan Bintang, 1987.

‘Atif al-Iraqi, Muhammad. Al-Naz’ah al-Aqliyyah fi Falsafah Ibnu Rusyd. Mesir : Dar 
        al-Ma’arif, 1968.
                                                              
Azhar Basyir, Ahmad. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta :
        Bagian Perpustakaan dan Penerbitan Fakultas Hukum UII, 1992.

Balker, JWM. Sejarah Filsafat Dalam Islam. Yogyakarta : Yayasan Kanisius, 1978.

Den Heijer, Johannes dan Syamsul Anwar. Islam, Negara Dan Hukum. Jakarta : INIS,
        1993.

Departemen Agama RI. Pedoman Pembantu PPN. Jakarta : Proyek Pembinaan Sarana
        Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1993/1994.

Gazalba, Sidi. Islam Dan Perubahan Sosio Budaya. Jakarta : Pustaka al-Husna, 1983.

Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1990.

_______  . Pengantar Theologi Islam. Jakarta : Pustaka al-Husna, 1987.

Ibnu Rusyd, Abu al-Walid. Faslu al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa l-Syari’ah min
         al-Ittisal. Mesir : Dar al-Maarif, 1972.

Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta : Tiara
        Wacana, 1987.

Khallaf, ‘Abd. Al-Wahhab. Khulasah Tarikh al-Tasyri’I al-Islami. Jakarta : al-Majlisu
        al’A’laal-Indunisia lidda’wah al-Islamiyah, 1968.

Langeveld, M.J. Menuju Ke Pemikiran Filsafat. Jakarta : Pustaka Sarjana, tt.

M. Syarif. Para Filosof Muslim. Bandung : Mizan, 1991.

Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1988.

Syarifuddin, Amir. Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam. Padang : Angkasa
        Raya, 1990.

Titus, Harold. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta : Bulan Bintang, 1984.

Yusuf Musa, Muhammad. Baina al-Din wa al-Falsafah fi Ra’yi Ibnu Rusyd wa
        Falsafah al-‘Asri al-Wasit. Mesir : Dar al-Ma’arif, 1968.

Zainal Abidin, Ahmad. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd Filosuf Islam Terbesar di Barat.
        Jakarta : Bulan Bintang, 1975.

Musawa, Jurnal Studi Gender dan Islam. Yogyakarta : PSW UIN. Su-Ka.2004.

Harian Jogja. Yogyakarta, 2010.

Makalah Seminar. Kontribusi Alumni Fak. Syari’ah terhadap RUU-HTPA.


[1] Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat Fi ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.), hlm. 43-44.
[2] Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu PPN, (Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1993/1994), hlm. 219-220.
[3].  Al-Nisa’ (4) : 82.
1.Muhammad Sa’id al-Asymawi,”Fikih Islam”, dalam Johannes den Heijer dan Syamsul Anwar (ed), Islam, Negara Dan Hukum, alih bahasa Syamsul Anwar, (Jakarta: INIS 1993), hlm. 122. Baca dan bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm. 78.
[5]. H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd Filosuf Islam Terbesar di Barat, Cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 43.
[6] . Ahmad Fuad El-Ehwani, Ph.D, “Ibnu Rusyd” dalam M. Syarif, MA. (ed), Para Filosof Muslim, peny. Ilyas Hasan, Cet.III (Bandung: Mizan, 1991), hlm.198
[7] . Muhammad ‘Atif al-Iraqi, Al Naz’ah al Aqliyyah fi Falsafah Ibnu Rusyd, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1968), hlm.25.
[8] . JWM. Bakker SY., Sejarah Filsafat Dalam Islam, Cet.I (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1978), hlm. 13-14.
[9]. Dikutip dalam, Ibid, hlm. 79.
[10]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., hlm. 15.
[11] . “Biografi Pengarang” dalam Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Cet.X (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1998), hlm. 477.
[12]. A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 165.
[13]. ‘Abdul Wahhab Khallaf, Khulasah Tarikh al-Tasyri’ al Islami, Cet. VIII (Jakarta: al-Majlisu al-A’la al-Indunisia Lidda’wah al-Islamiyah, 1968), hlm.95.
[14]. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Cet. V (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 84-86.
[15]. Ibid, hlm. 85.
[16]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi Islam, Cet. IV (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), hlm. 189.
[17]. Ibid, hlm. 191.
[18]. JWM. Bakker SY., Sejarah Filsafat., hlm. 74.
[19]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi., hlm. 191.
[20]. Ibid
[21]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., hlm. 163.
[22]. Muhammad Yusuf  Musa, Baina al-Din wa al-Falsafah fi Ra’yi Ibnu Rusyd wa Falasifah al-‘Asri al-Wasit, Cet. II (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1968), hlm. 104.
[23]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., Hlm. 156.
[24]. Muhammad Yusuf., Baina al-Din., hlm. 90.
[25]. Ibid, hlm. 104.
[26]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., hlm. 155-164.
[27]. Muhammad ‘Atif., al-Naz’ah., hlm. 17.
[28]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., hlm. 136.
[29]. MM. Syarif, Para Filosof., hlm. 206.
[30]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi., hlm. 198.
[31]. Al-Hasyr (59):2.
[32]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi., hlm. 194.
[33]. A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat., hlm. 3.
[34]. Harold H. Titus dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, alih bahasa Prof. Dr. MM. Rasyidi, Cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 11-14.
[35]. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Drs. Soejono Soemargono, Cet.II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), hlm. 6.
[36]. Abu al-Walid Ibnu Rusyd, Faslu al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittisal, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), hlm. 22.
[37]. Dr. MJ. Langeveld, Menuju Ke Pemikiran Filsafat, Cet. IV (Jakarta: Pustaka Sarjana, tt), hlm. 10.
[38]. Harold h., Persoalan., hlm. 17.
[39]. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid., hlm. 462.
[40]. Ibid.
41.Nurun Najwah,”Mengapa Relasi Suami-Istri Tak Berimbang ?” dalam Musawa Jurnal  Studi Gender dan Islam, Vol.3, No.2 September 2004 (Yogyakarta : PSW UIN Su-Ka), hlm. 179.
[42]. Ghufron Su’udi, “Pemberantasan Nikah Siri dalam RUU-HTPA” dimuat dalam Aspirasi, (Harian Jogja),  19 Februari 2010.
[43]. Ibid
[44]. Drs. H. Habiburrahman, M.Hum dalam Seminar Kontribusi Alumni Fak. Syari’ah terhadap RUU-HTPA.
[45]. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hlm. 17.
[46]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi., hlm. 194.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar