BAB I
PENDAHULUAN
ABSTRAKSI
Lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan oleh sebagian masyarakat dinilai sebagai munculnya dualisme hukum perkawinan di
Indonesia. Bagi umat Islam, perkawinan adalah satu ibadah yang segala tata aturannya
harus mengikuti ketentuan syari’ah. Sementara sebagai warga Negara, mereka juga
dituntut untuk taat dan tunduk kepada aturan Negara, termasuk dalam urusan
perkawinan. Sehingga ketika dihadapkan kepada kesulitan untuk mengakomodir
kedua-duanya, sering kali masyarakat hanya melaksanakan salah satu hukum dan
meninggalkan yang lainnya. Masalah pencatatan perkawinan adalah satu dari
sekian persoalan yang selalu dikaitkan dengan perbedaan ketentuan dalam kedua
aturan hukum tersebut. Pencatatan yang dalam fikih bukan termasuk rukun nikah,
menjadi latar belakang munculnya praktek-praktek nikah siri. Metode untuk
mendapatkan kesimpulan hukum dari Ibnu Rusyd kiranya dapat digunakan oleh
pemerintah dan para ahli hukum untuk menggali dan menetapkan satu keputusan
hukum, khususnya di bidang hukum perkawinan yang dapat mengikat dan memaksa
seluruh golongan masyarakat.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia, memelihara
keturunan merupakan sesuatu yang sangat
Penting. Sebab dengan keturunan
yang merupakan generasi penerus cita-cita, tugas manusia sebagai khalifah di
muka bumi akan dapat diteruskan. Sebagai cara untuk merealisasikan keinginan
mempertahankan keturunan tersebut, diperkenankanlah lembaga perkawinan, yaitu
lembaga bersekutunya seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan
melahirkan anak-anak yang akan menjadi penerus orang tua mereka. Jadi dengan
demikian, perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh keturunan
yang sah, memelihara jenis generasi manusia, bahkan masing-masing pihak antara
suami dan istri akan mendapatkan ketenangan batin yang dilandasi perasaan cinta
kasih.[1]
Demikian juga di Indonesia, rumusan dan
tujuan perkawinan telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal
1, bahwa :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.[2]
Jadi menurut UU No.1 Tahun 1974 di atas,
arti perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri. Sedang tujuan perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian perkawinan tidak hanya
suatu ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dalam waktu
sesaat, tetapi perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dalam membentuk
keluarga yang bahagia, sehingga ikatan lahir batin antara keduanya tetap terjaga.
Bahkan lebih jauh, sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut,
dalam undang-undang perkawinan diatur segala hal yang berkaitan dengan upaya
mempertahankan dan melindungi semua pihak yang terkait dengan hubungan suami
istri, diantaranya adalah masalah pencatatan nikah.
Sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, bahwa tiap-tiap perkawinan hendaknya dicatat
menurut perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan
perundang-undangan di sini adalah Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia
No. 4 tahun 1975, yang diperbarui dengan PMA Nomor 2 tahun 1990 tentang
Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah serta PMA Nomor 477 tahun 2000, dimana dalam
pasal-pasalnya banyak mengatur tata cara pendaftaran dan segala hal yang
berkaitan dengan pencatatan nikah. Dari berbagai peraturan tersebut, semuanya
memiliki tujuan yang sama, bahwa diadakannya pencatatan nikah adalah agar suatu
pernikahan memiliki kekuatan serta akibat hukum yang pasti bagi pihak yang
bersangkutan. Disamping itu juga memberikan jaminan berupa bukti otentik yang
dapat dipertanggung jawabkan di depan hukum.
Dengan demikian, sebenarnya segala
peraturan ini mengandung maksud agar dalam setiap perkawinan ada dua hal yang
harus dipenuhi, yaitu yang berkaitan dengan syarat serta rukun nikah dan yang
berkaitan dengan administrasinya. Keduanya sangat mempengaruhi sah atau
tidaknya suatu pernikahan, syarat dan rukun berpengaruh pada keadaan sah
menurut hukum agama, sedang kelengkapan administrasi berpengaruh pada keadaan
sah menurut hukum negara
Sebagai upaya penyeragaman dibidang
administrasi itulah, UU No. 1 Tahun 1974 kemudian membatalkan berlakunya
beberapa peraturan yang pernah mengatur administrasi perkawinan, seperti Kitab
UU Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Howelijks Ordonnantie Christen Indonesiers STB. 1933 No. 74) dan Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken Stb. 1898 No. 158), sejauh hal-hal tersebut telah
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Meskipun demikian dalam
penjelasan umum UU No. 1 tahun 1974 masih dinyatakan bahwa, sebagai upaya untuk
mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, dan upaya menanmpung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat
maka dalam Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur
dan ketenuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan.
Berkaitan dengan hal tersebut, serta
hubungannya dengan pencatatan perkawinnan maka dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal
1 disebutkan bahwa bagi yang beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh
pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang
Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat
oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya, yang kemudian
lembaganya dikenal dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan. Sedang dari segi
materi, perkawinan bagi umat Islam tetap berpedoman kepada hukum agamanya
(fikih munakahat), sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
Dari
sinilah kemudian muncul pandangan adanya dualisme hukum dalam peraturan perkawinan
di Indonesia, khususnya bagi umat Islam. Sebab meskipun dalam hal-hal tertentu
umat Islam tetap berpegang pada hukum agamanya, tetapi disisi lain dengan
statusnya sebagai warga Negara Indonesia juga harus tunduk pada peraturan
perundangan lainnya, yang tidak jarang terdapat pertentangan diantaranya.
Termasuk dalam hal ini adalah masalah pencatatan perkawinan.
Sebagian masyarakat memandang bahwa
pencatatan perkawinan hanya sekedar kewajiban administratif semata, sehingga
kalau hukum agamanya tidak ada perintah atau larangan, maka tidak dianggap
sebagai satu kesalahan jika melanggar aturan perundangan. Sehingga mereka merasa cukup ketika satu
perkawinan sudah terpenuhi segala syarat dan rukunnya serta sah menurut hukum
agama. Di sisi lain, pemerintah dengan segala perangkat peraturan yang dimiliki
tidak mampu melakukan upaya paksa
terhadap masyarakat untuk taat kepada aturan pencatatan perkawinan. Hal ini
sekali lagi karena masyarakat Indonesia yang agamis tetap menganggap ketaatan
kepada hukum agamanya lebih utama dibanding lainnya.
Ibnu Rusyd dengan berbagai
disiplin ilmu yang dimiliki, khususnya pemikirannya di bidang fikih serta
cara-cara penetapan hukum, menurut penulis sangat tepat untuk dikaji hasil
pemikirannya. Hal ini karena beliau juga seorang filosuf, yang sedikit banyak
cara berpikir filosofisnya berpengaruh tehadap hasil pemikirannya yang lain. Dari
kajian ini diharapkan diperoleh satu metodologi yang dapat dijadikan model dan
dasar-dasar untuk mengambil dan menetapkan satu hukum, khususnya bagi para ahli
hukum Islam di Indonesia sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif bagi
perkembangan dan produk hukum di Indonesia.
B. Pokok Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah di atas, penulis akan mengangkat pokok masalah
sebagai berikut :
a.
Sejauh manakah akibat
hukum pernikahan siri terhadap pelakunya
?
b.
Adakah pemikiran hukum
Ibnu Rusyd yang dapat dijadikan metode untuk mendapatkan kesimpulan hukum ?
C.
Tujuan
dan Kegunaan
Tujuan penelitian :
Adapun
tujuan dari karya tulis ini adalah untuk memperoleh jawaban dari pokok masalah
tersebut di atas, yaitu:
1.
Untuk mengetahui sejauh
mana akibat hukum pernikahan siri terhadap pelakunya.
2.
Untuk mencari jawaban adakah
pemikiran hukum Ibnu Rusyd yang dapat dijadikan metode untuk mendapatkan
kesimpulan hukum.
Kegunaan penelitian :
1.
Untuk memberikan
gambaran. kepada masyarakat tentang akibat-akibat pernikahan siri..
2.
Diharapkan dapat
memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum pada umurnya dan hukum
Islam pada khususnya, terutama masalah hukum perkawinan di Indonesia.
D. Kerangka Teoretik
Dalam pemikiran hukum, Islam
mempunyai sistem berpikir yang dikenal dengan ijtibad, yaitu penggunaan pikiran
untuk memperoleh
ketentuan hukum Islam dalam hal-hal baik yang tidak disebutkan dalam nash
al-Qur’an atau al-Sunnau, maupun yang disebutkan dalam hal ini menyangkut
kepada pemanawannya ataupun penerapannya. Hal ini karena disebabkan oleh adaaya
dorongan alQur’an dan al-Sunnah agar manusia menggunakan pikirannya dalam
menghadapi persoalan-persoalan hidup, lebih-lebih dalam persoalan yang
fundamental. Misalnnya al-Qur’an mengajarkan ;
Ayat di atas dengan jelas
memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajarannya hendaknya dipergunakan
akal pikiran, karena hanya dengan cara demikianlah kebenaran mutlak al-Qur’an
dapat diyakinkan. Akan tetapi penggunaan akal pikiran yang dimaksud di sini
bukan berpikir sembarangan berpikir, atan berpikir sepintas lalu, melainkan
yang mendalam dangan rnemakai peraturan dan disiplin.
Adapun metode berpikir yang umum
berlaku ialah logika, yaitu cabang filsafat yang berperan memberikanukuran
dalam menetapkan manakah argumen yang benar dan yang benar. Di samping itu ada
metode lain yang disebut metode dialektik, yaitu metode untuk mendapatkan pengetahuan
yang diandalkan dengan melakukan pembicaraan yang teratur.
Ketika mempergunakan hukum berpikir
logika, dalam ijtihad. terbentuk tiga pola ; pengertian, putusan, dan
peraturan. Pengertian yaitu gambaran cirri-ciri essensi sesuatu dalam pikaran
yang kalau dirumuskan dengan kata-kata membentuk definisi, sedang gambaran
sesuatu itu di wujudkan dalam bentuk kata. Putusan yaitu kegiatan akal atau
pikiran dalam menyatakan sesuatu terhadap sesuatu, dan dalam bahasa putusan itu
berbentuk kalimat. Sedang penuturan merupakan bentuk akhir pengertian dan
putusan.
Fikih, yang merupakan produk dan
kegiatan ijtihad tentu saja terpengaruh oleh metode berpikir dari masing-
mujtahid. Sebab dalam ijtihad berpadu du unsur, yaitu antara ajaran Islam yang
berfungsi sebagai rujukan logika dan atau dialektika sebagai metode berpikir.
BAB II
SEKILAS
TENTANG IBNU RUSYD
Sejauh
ini kajian terhadap pemikiran seseorang kebanyakan hanya terfokus pada satu
bidang kajian saja,tanpa ada usaha untuk melihat adanya keterkaitan dan saling
mempengaruhi dengan bidang-bidang lain yang juga dimiliki oleh orang tersebut.
Hal ini di samping jarangnya seseorang yang mempunyai keahlian di berbagai
bidang lapangan keilmuan yang berbeda, juga adanya kesulitan dalam mencari dua
lapangan ilmu yang berbeda yang pada dasarnya dapat saling mempengaruhi.
Padahal dengan mengadakan pengkajian yang betolak dari bidang lain yang
dimiliki seseoang, kita akan mengetahui apakah. keahlian seseorang di bidang
tertentu dapat mempengaruhi pemikirannya di bidang lain.
Hal
ini terjadi pula dalam lapangan hukum Islam, kajian - kajian terhadap para
peletak pondasi fikih Islam kebanyakan terbatas kepada konsep pemikirannya,
yaitu materi hukum yang dihasilkannya, maupun metodologi yang dipakai dalam
usaha menetapkan suatu materi hukum. Meskipun sudah ada yang mencoba dengan
melihat dari sudut lain, sejauh ini kebanyakan hanya terbatas kepada
faktor-faktor yang bukan bertolak dari lapangan keilmuan lain yang di miliki
oleh obyek kajian. Misalnya hanya melihat dari sudut sosio kultural, waktu
maupun tempat. Padahal kalau dilihat secara cermat, kajian-.kajian tersebut
pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mengetahui seberapa jauh
faktor-faktor luar dapat mempengaruhi cara dan kecenderungan berpikir
seseorang.
Khusus
di bidang fikih,. dari berbagai kajian yang pernah dilakukan, dan dari fakta
sejarah yang diungkapkan dapat diketahui bahwa perbedaan kebudayaan,
lingkungan, kondisi sosial maupun faktor lain mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan
pemikiran seseorang, yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan metode dalam
melakukan ijtihad.[4]
Untuk selanjutnya, perbedaan metode dalam melakukan ijtihad. menghasilkan
formulasi dan fikih yang berbeda pula.
Berdasarkan
hal tersebut di atas, ternyata dapat diketahui bahwa pemikiran seseorang tidak
bisa terlepas dari hal - hal luar yang secara tidak langsung dapat menentukan
corak pemikiran. Dengan demikian kalau faktor-faktor lingkungan, kebudayaan,
kondisi sosial dan sebagainya dapat mempengaruhi, apakah tidak ada kemungkinan
bahwa keahlian seseorang di bidang ilmu tertentu juga dapat mempengaruhi cara
berpikir orang tersebut ketika mengadakan kajian terhadap bidang ilmu lainnya.
Dengan catatan bahwa kedua bidang ilmu yang berbeda tersebut dapat saling
mempengaruhi.
Berangkat
dari kenyataan-kenyataan yang demikian itulah, pembahasan karya tulisi ini akan
mengangkat seorang tokoh Muslim yang tidak hanya terkenal di dunia Islam saja,
tetapi juga diakui sebagai tokoh besar di Eropa. Beliau adalah lbnu Rusyd.
Seperti
telah diketahui, bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang yang pengetahuannya sangat
luas diberbagai bidang ilmu, sehingga namanya selalu dikaitkan dengan gelar “greatest
Moslem philosopher, astronomer, physician and Aristotelian commentator”.[5]
Ini disebabkan karena beliau tidak hanya mempe1ajari satu bidang pengetahuan
saja, tetapi hampir semua bidang beliau pelajari, seperti matematika, fisika,
astranomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan.[6] Beliau
juga dikenal sebagai pengagum tokoh filosof Yunani Aristoteles. Ia mempelajari,
mendalami dan menafsirkan/mensyarahkan ajaran-ajaran filsafat Aristoteles.’
Oleh karena itu sangat mungkin sekali apabila pikiran dan ajaran-ajaranya
banyak dipengaruhi oleh ajaran filsafat Aristoteles.
Meskipun
nama Ibnu Rusyd lebih dikenal sebagai seorang filosof, beliau juga ahli di
dalam ilmu - ilmu agama seperti tafsir, hadits, dan fikih. Sebagai seorang yang
ahli tentang ilmu hukum Islam, ia termasuk fakih dari golongan Malikiah yang
sangat tinggi ilmunya, sehingga oleh pemerintah pada masa itu beliau diangkat
menjadi seorang hakim, yang selanjutnya berdasar kecakapan yang luar biasa di
dalam jabatan itu, beliau diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung.[7]
Ibnu
Rusyd hidup sesudah tokoh-tokoh filosof dan ahli pikir Islam yang terkenal,
seperti al-Kindi, al-farabi, Ibnu Sina dan a1-Ghazali.[8] Maka
sebagai seorang filosof Islam, dengan sendirinya ia sudah mempelajari dan
memahami isi dan ide-ide yang terdapat dalam buku-buku karangannya. Hal ini,
sedikit atau banyak tentu saja juga akan mempengaruhi pemikirannya. Sebagai
orang yang ahli di berbagai bidang ilmu, khususnya filsafat dan fikih serta
jabatannya sebagai hakim, Ibrnu Rusyd pernah menyatakan bahwa bila studi hukum
tidak disertai studi filsafat, fikih akan membuat budi sempit dan memalsukan
agama.[9]
Itulah
alasannya, mengapa tokoh yang diangkat dalam pembahasan karya tulis ini adalah
Ibnu Rusyd, sebab dengan melihat hal-hal tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa lbnu Rusyd tidak hanya mempunyai keahlian disatu bidang lapangan keilmuan
saja, tetapi mempunyai keahlian lebih dari satu bidang lapangan keilmuan,
khususnya filsafat dan fikih.
Ibnu
Rusyd (520—595 H) adalah salah seorang ulama’ besar yang sangat terkenal di
dunia Islam dan Eropa.[10] Ia
dikenal sebagai orang yang kecintaannya terhadap ilmu sukar dicari tandingannya,
sebab selama hidupnya ia tidak pernah berhenti membaca kecuali dua malam, yaitu
pada malam ayahnya rneninggal dunia dan malam perkawinannya.[11] Keahliannya
diberbagai bidang ilmu, terutama di lapangan ilmu fikih dan filsafat, menjadi
sebab Ibnu Rusyd memperoleh kedudukan yang tinggi dari Khalifah Abu Yusuf
al-Mansur yang berkuasa sekitar tahun 1184—1198 M, sehingga pada masa itu
setiap ada pendapat dan kata-kata, yang terkenal hanyalah pendapat dan perkataan
Ibnu Rusyd.[12]
Berdasar periodesasi tasyri’, masa
kehidupan Ibnu Rusyd termasuk dalam periode keempat atau lebih. Dikenal dengan
masa taqlid dan jumud, yaitu masa
penolakan kemerdekaan berpikir. Pada masa ini ditandai dengan mundurnya
kemampuan dan kegiatan berijtihad serta munculnya kecenderungan bertaklid.[13] Pada
masa ini kegiatan dalam bidang hukum terbatas pada pengembangan dan analisis
mendetail terhadap hasil yang sudah ada, atau hanya sekedar memberikan komentar
atas hasil kerja para ulama terdahulu.
Kegiatan pemberian komentar,
pengembangan dan analisis terhadap karya terdahulu ini, kemampuan dan daya
kritis akal benar-benar berperan kembali, tergantung tingkat. kualitas dan
kemampuannya. Atas dasar inilah, tingkatan fukaha diklasifkasikan menjadi
beberapa tingkatan.[14] Ibnu
Rusyd, sebagai fakih yang hidup pada periode ini termasuk digolongkan pada
tingkatan Mujtahid fi al-Masail.[15]
A. Hanafi dalam bukunya Pengantar
Theologi Islam secara global mengelompokkan pemikiran-pemikirn Ibnu Rusyd dalam
tiga pokok persoalan, yaitu filsafat, hubungan antara agama dan filsafat, dan
golongan-golongan theologi Islam.[16] Dalam
dunia filsafat, sebetulnya Ibnu Rusyd tidak bermaksud untuk menciptakan sistem
filsafat tersendiri, Ia hanya mengolah dan membela sistem yang sudah ada,
terlebih kekagumannya terhadap Aristoteles yang begitu besar sehingga ia hanya
bermaksud menjelaskan filsafat Aristoteles dan pikiran-pikirannya yang sukar
dipahami.[17]
Oleh karena itu, karya ibnu Rusyd dibidang Filsafat digolongkan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu tafsir atas karya Aristoteles, karangan polemis dan
karangan apologetis.[18]
Tetapi pada kenyataannya, Ibnu Rusyd
kemudian membentuk aliran filsafat tersendiri yang berbeda dengan pendapat
fiiosof-filosof sebelumnya. Hal ini dikarenakan oleh dua sebab, yaitu filsafat
Aristoteles yang sampai ke padanya melalui Neo-Platonisme dan filosof-filosof
Iskandariah, serta banyak pikiran-pikiran Aristoteles yang masih belum jelas
dan berbelit-belit pula cara memahaminya.[19] Dengan
demikian Ibnu Rusyd. termasuk dalam golongan filosof - filosof asli
(al-Mubtadi’in).[20]
Menurut Ibnu Rusyd, akal manusia itu
harus bebas dan berdiri di atas segala-galanya. Agama diturunkan bukan untuk
membatasi akal melakukan penelitian, tetapi wahyu Tuhan itu diturunkan adalah
untuk menyempurnakan akal. Karena pendiriannya inilah, Ibnu Rusyd dianggap
sebagai seorang rasionalis pertama yang telah membuka jaman pikiran merdeka di
Eropa.[21] Jadi
meskipun Ibnu Rusyd mengakui kekuatan akal dan percaya akan kesanggupannya
untuk mengetanhui, namun ia menyatakan bahwa dalam dunia ini ada hal-hal yang
terletak di luar kesanggupan akal untuk mengetahuinya. Oleh karema itu untuk
hal-hal yang demikian wahyu diturunkaa untuk menyempunnaaan pengetahuan akal.[22]
Sedang konsepsi Ibnu Rusyd tentang
hubungan antara agama dan filsafat terdapat dalam ketiga bukunya, yaitu:
1.
Tahfut al-Takafut,
yaitu berisi tangkisan terhadap Tahafut al-Fa1asifah nya al-Gazali.
2.
Faslu al-Naqal fi ma
Baina al-Hikmah wa al-Syari’ ah min al-Ittisal, yaitu berisi uraian penyelarasan
filsafat dan agama.
3.
Al-Kasyfu ‘an Manhij
a1-Adillah fi ‘Aqaid al—Millah, yaitu berisi uratan dalil-dalil mengenai
kepercayaan-kepercayaan agama.[23]
Ibnu Rusyd mendasarkan pendapatnya dengan hal-hal
sebagai berikut :
1.
Syari’ah (agama)
mewajibkan adanya pandangan filsafat
2.
Syari’ah mempunyai
pengertian zahir dan batin, sehingga terkadang diperlukan adanya ta’wil
3.
Meletakkan
kaidah-kaidah ta’wil
4.
Terbatasnya kemampuan
akal, dan hubungan antara akal dan wahyu.[24]
Di dalam kitabnya Baina al-Din wa
al-Falsafah, setelah memaparkan pendirian dan argument-argumen Ibnu Rusyd
tentang persesuaian antara filsafat dan agama, Muhammad Yusuf Musa menulis :
Seaungguhmya. filosof Andalusia (Ibnu Rusyd) ini
meskipun memuja kekuatan akal dan percaya akan kesanggupannya untuk mengetahui,
namun Ia menyatakan bahwa ada hal-hal yang akal tidak sanggup mengetahuinya,
karena itu harus kembali kepada wahyu yang diturunkan untuk menyempurnakan
pengetahuan akal. Maka semua yang tidak disanggupi akal, Tuhan memberikannya
kepada manusia melalui wabyu.[25]
Secara rinci H. Zainal Abidin Ahmad membagi pemikiran filsafat. Ibnu
Rusyd dalam beberapa prinsip pokok, yaitu :
1.
Penyelarasan Falsafah
Dan Agana
2.
Falsafah Alam
3.
Akal Merdeka
4.
Falsafah Ketuhanan
5.
Falsafah Sosial Politik[26]
Dan semua pokok pikiran tersebut di
atas masing-masing diterangkan tentang pendapat Ibnu Rusyd mengenainya,
disertai pula dengan pendapat-pendapat dan beberapa tokoh yang mengomentarinya.
Tentang kedudukan akal dalam filsafat
Ibnu Rusyd, Muhamaad ‘Atif al-’Iraqi dalam kitabnya al-Naz’ah al-’Aqliyyah fi
Falsafah Ibnu Rusyd membahasnya dalam empat bab. Bab pertama mengkaji tentang
kehidupan ilmiahnya, bab ke dua membahas tentang peranan akal dalam
pengetahuan. Sedang bab ketiga berisi analisa tentang hubungan antara akal dan
wahyu, bab keempat membahas peranan akal dalam masalah-masalah yang berhubungan
dengan manusia, seperti masalah baik buruk, qada qadar. Sebagai bab penutup,
yaitu bab kelima membicarakan tentang peranan akal dalam masalah-masalah
ketuhanan.[27]
Pemikiran Ibau Rusyd di bidang lain
yang masih jarang disinggung oleh para pengkajinya adalah bidang hukum Islam
(fikih). Paling jauh mereka hanya menyebut keahlian Ibnu Rusyd di bidañg fikih
ini sebagai pelengkap saja yaitu ketika menyebutkan karya-karyanya yang di
dalamnya termasuk juga ilmu fikih.[28] Padahal
kepandaiannya di bidang fikih sangat tinggi, seperti yang diakui oleh Ibnul
Abbar dalam bukunya Takmilah, bahwa keahliannya di dalam ilinu fikih jauh lebih
tiaggi beberapa tingkat dibanding dengan ilmunya dalam ilmu falsafah. Salah
satu karyanya di bidang hukum Islam yaitu kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtasid, yang berisi himpunan pendapat lbnu Rusyd dilapangan hukum, dengan
mengemukakan pendapat imam-.imam dan ulama-ulama fikih yang lain, beserta
dalil-dalil yang menjadi alasannya.
Dengan kedua bidang yang dimilikinya,
Ibnu Rusyd mencoba membandingkan antara metode-metode filsafat dengan metode
usul fikih, yaitu prinsip-prinsip fikih yang berpijak pada empat sumber
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.[29] Ketika membicarakan
ijma’, sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak
mungkin terjadi ijma dalam sesuatu masalah pada sesuatu masa, kecuali apabila
masa itu terbatas, dan semua ulama yang ada pada masa itu diketahui
orang-orangnya dan bilangannya, dan pendapat masing-masing dan mereka sampai
kepada kita dengan jalan tawatur. Dalam pada itu haruslah dapat diyakinkan oleh
kita bahwa ulama—ulama yang terdapat pada masa itu sepakat pendapatnya, bahwa
dalam syara’ tidak ada arti lahir atau arti batin, bahwa mengetahui sesuatu
persoalan tidak asing lagi bagi seseorang dan bahwa jalan manusia untuk
mengetahui syara’ adalah sa[30] Sedang
dalam masalah qiyas, Ibnu Rusyd mengabil dasar nas a-Qur’an;
“Hendaklah engkau sekalian mengambil ibarat wahai orang-orang
yang mempunyai pandangan”.[31]
Berdasar ayat di atas, Ibnu Rusyd
menyimpulkan bahwa kita harus melakukan qiyas aqli (syllogism), atau qiyas aqli
dan qiyas syar’i (qiyas dalam fikih) bersama-sama. Ia mengartikan i’tibar”
dalam ayat tersebut tidak lain ialah pengambilan sesuatu hukum yang belum
diketahui (majhul) dari sesuatu yang sudah diketahui (maklum), dan inilah yang
dinamakan “qiyas”.[32]
Sebelum menjelaskan tentang berpikir
filosofis, terlebih dulu akan. dijelaskan tentang pengertian. filsafat. Kata
filosofi (philosophy) berasal dari bahasa Yunani philos (suka, cinta) dan
sophia (kebijaksanaan).[33] Jadi
kata filosofi atau filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Berbagai
definisi telah diberikan untuk menjelaskan apa sebenarnya filsafat itu, tetapi
pada intinya hampir sama, yaitu bahwa filsafat selalu dikaitkan dengan kegiatan
perenungan atau pemikiran. Di antara defihisi-definisi filsafat itu antara
lain:
-
Filsafat adalah
sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima
secara tidak kritis.
-
Filsafat adalah suatu
proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita
junjung tinggi.
-
Filsafat adalah usaha
untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
-
Filsafat adalah sebagai
analisa logis dan batiasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
-
Filsafat adalah
sekumpulan problem-problem yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia
dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.[34]
Dari definisi-definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa filsafat merupakan hasil perenungan kefilsafatan, yaitu
percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai
untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita
sendiri.[35]
Ibmu Rusyd sebagai salah seorang
filosof Islam yang berusaha menyelaraskan agama dan filsafat, mengartikan
filsafat sebagai berikut :
Filsafat tidak lain adalah
mempelajari segala wujud dan rnerenungkannya sebagai bukti akan adanya
pencipta, yaitu dan segi bahwa segala wujud ini
adalah ciptaan sehingga merupakan petunjuk adanya pencipta itu setelah
diketahui tentang segi penciptaan padanya, maka semakin sempurna pengetahuan
itu, semakin sempurna pula pengetahuan tentang pencipta.[36]
Dengan demikian berpikir filosofis
adalah berpikir tentang masalah apapun juga secara mendalam dengan memakai
metode-metode filsafat, yaitu dengan pembuktian-pembutian yang dapat diterima
oleh akal.[37]
Salah satu metode dasar untuk
penyelidikan filsafat adalah metode dialektik, yaitu metode untuk mendapatkan
pengetahuan yang diandalkan dengan melakukan pembicaraan yang teratur. Dimulai
dengan diskusi tentang aspek-aspek yang biasa diterima entang sesuatu problema,
yaitu dialog antara dua pendirian yang bertentangan. Metode dialek berusaha
untuk mengembangkan suatu contoh argument yang di dalamnya terjalin implikasi
bermacam-macam proses yang saling mempengaruhi. Argumen tersebut akan
menunjukkan bahwa tiap—tiap proses tidak menyà jikan pembahasan yang sempurna
teatang kebenaran. Dengan begitu timbullah pandangan dan alternatif yang baru.[38]
Dalam menerangkan konsep peradilan
umpamanya, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa peradilan itu harus dilaksanakan
berdasarkan empat perkara, yaitu keterangan saksi, sumpah, penolakan sumpah dan
pengakuan.[39]
Sebagal ciri filosofinya Ibnu Rusyd menganalisa keempat perkara tersebut secara
mendalam dengan melihatnya dan berbagai segi. Seperti ketika menerangkan
tentang keterangan saksi, Ibnu Rusyd tidak begitu saja memasukkan keterangan
saksi sebagai salah satu alat bukti dalam peradilan, tetapi lebih jauh ia
me1iatnya dari segi sifat, jenis dan jumlah. Kemudian setelah melihatnya dan
segi-segi tersebut di atas, masing-mansing hasil pandangannya dianalisa lagi
dengan cara mendialogkan antara dua pendirian yang bertentangan. Contoh
kongkrit yang masih berkaitan dengan keterangan adalah sebagai berikut :
setelab melihatnya dan segi sifat, keterangan saksi meliputi beberapa hal,
diantaranya adalah sifat adil, dan sifat adil ini kemudian didialogkan lagi
dari berbagai pandangan dengan mengemukakan argumennya masing-masing, dan
sebagai ciri berpikir filosofis lagi adalah pertanyaan tentang yang bukan
fakta. Ibnu Rusyd tidak berpanjang lebar dalam mempersoalkan apakah saksi harus
adil atau tidak, tetapi yang Ia persoalkan dalam kitabnya adalah apakah
keadilan itu.[40]
Pertanyaan apakah saksi harus adil atau tidak adalah pertanyaan tentang fakta,
sedang pertanya apakah keadilan itu merupakan soal kefilsafatan.
BAB III
AKIBAT NIKAH SIRI DAN UPAYA
PEMERINTAH DIBIDANG LEGISLASI
A. Akibat Nikah Siri
Di Indonesia, pernikahan siri atau pernikahan di bawah tangan (tidak
dicatatkan di Kantor Urusan Agama), paling tidak disebabkan oleh empat faktor:
(1) berbenturan dengan aturan yang berlaku untuk menghindari prosedur yang
berbelit-belit (2) faktor psikologis, belum benar-benar siap untuk mandiri (3)
faktor ekonomi (4) faktor tradisi.[41]
Beberapa
akibat pernikahan siri sebetulnya sudah banyak disampaikan oleh banyak pihak, sehingga dalam tulisan ini hanya disampaikan beberapa kasus
yang penulis temukan di lapangan dalam menjalankan
tugas sebagai seorang penghulu. Diantaranya :
Pertama, perbedaan persepsi
tentang siapa yang berhak menjadi wali nikah antara petugas Kantor Urusan Agama
(KUA) dan keluarga calon pengantin. Ini adalah kasus yang paling sering muncul
di KUA.
Ketika
calon pengantin mendaftarkan diri ke KUA, satu diantara sekian kewajiban
petugas KUA adalah memeriksa dan menentukan siapa yang berhak menjadi wali
nikah. Disamping dokumen dari kelurahan, untuk penentuan wali nikah juga
didasarkan kepada akta kelahiran yang bersangkutan. Kalau dari bukti-bukti
otentik ini petugas menemukan bahwa calon pengantin perempuan dilahirkan hanya
dari seorang ibu, maka ditentukan wali nikahnya adalah wali hakim.
Dalam
kasus ini banyak keluarga calon pengantin yang dengan ikhlas menerima ketentuan
tersebut, tetapi ada juga pihak khususnya ayah dari pengantin perempuan yang
tidak menerimanya. Ia akan bersikukuh bahwa yang berhak menjadi wali nikah
adalah dirinya dan tidak terima kalau wali nikahnya wali hakim. Alasannya,
meskipun dalam akta kelahiran sang anak terlahir hanya dari seorang ibu, tetapi
pada kenyataannya dialah ayah kandungnya yang sah, karena anak itu terlahir
dari pernikahan orang tuanya yang sah meskipun hanya siri.
Di sinilah letak persoalannya, ketika
seseorang atas dasar hukum agama (fikih) yakin bahwa pernikahan sirinya adalah
sah, maka tentu saja iapun berhak menjadi wali bagi anak-anak yang dilahirkan.
Tetapi bagi petugas KUA, atas dasar tuntutan hukum agama dan negara akan
berhati-hati menerima alasan semacam itu. Pengakuan sudah melakukan pernikahan
siri sangat sulit dibuktikan, sehingga akan tetap berpegang kepada bukti
otentik yaitu akta kelahiran.
Kedua menimbulkan kesulitan administrasi kependudukan
dalam hal status perkawinan seseorang. Sering terjadi petugas kelurahan atau
kecamatan kesulitan mencantumkan status perkawinan seseorang yang akan mengurus
dokumen resmi, terutama surat-surat untuk keperluan menikah di KUA.
Seseorang yang sudah melakukan pernikahan
siri, terlebih sudah mendapatkan keturunan, baik karena tuntutan administrasi
maupun sosial kemasyarakatan, dalam kartu keluarganya (C1) senantiasa
menuliskan status “menikah”. Meskipun idealnya hal itu tidak bisa dilakukan
karena tidak adanya akta perkawinan, tetapi fakta di lapangan banyak pasangan
nikah siri yang status perkawinannya baik dalam kartu keluarga maupun KTP
tertulis sudah menikah.
Ketika
salah satu atau kedua pasangan nikah siri ini akan mengurus pernikahan resmi,
baik dengan pasangannya itu sendiri atau orang lain, salah satu dokumen penting
yang harus dilengkapi adalah tentang status perkawinan. Kesulitan yang
dihadapi, kalau statusnya tertulis menikah, maka permohonan nikahnya oleh
petugas KUA akan dikategorikan pernikahan
poligami, dan itu tidak mungkin dilaksanakan karena terbentur ijin pengadilan.
Demikian juga kalau status perkawinannya tertulis duda atau janda, KUA pun
tetap meminta bukti akta cerai atau kematiannya. Gagalnya nikah masal di Masjid
Kemayoran Jakarta Pusat pada tanggal 26 Februari 2010 adalah sebagai buktinya.
Maka jalan satu-satunya adalah mengembalikan status asalnya, yaitu jejaka atau
perawan. Hanya saja, bersediakah pihak kelurahan atau kecamatan mencamtumkan
status tersebut, sebab seluruh data yang ada semuanya tertulis menikah.
Ketiga, terjadi ketidak konsistenan hukum yang dapat
menyebabkan praktek poliandri terselubung. Satu hal yang harus dicatat, bahwa
penyebab munculnya istilah nikah siri dan segala persoalannya adalah adanya
dualisme hukum di bidang perkawinan. Sebagai umat Islam, segala aktifitas
ibadah dab muamalah (sosial kemasyarakatan) termasuk di dalamnya masalah
perkawinan dan perceraian sudah diatur sedemikian rupa dalam fikih. Demikian
juga sebagai warga negara Indonesia, umat Islam harus tunduk dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Seseorang yang yang pernikahannya tidak
dicatatkan di KUA (siri), manakala terjadi perceraianpun tidak melalui lembaga
peradilan, tetapi mengikuti ketentuan sebagainana tertuang dalam kitab-kitab
fikih. Artinya tanpa adanya proses persidangan dan bukti otentik telah terjadi
perceraian. Seorang wanita yang sudah menikah siri, pada saat kehidupan
keluarganya mulai tidak harmonis, tidak diberi nafkah dan bahkan ditinggal
suaminya, banyak yang beranggapan bahwa kondisi seperti itu hubungan
perkawinannya sudah putus, artinya statusnya bukan lagi bersuami dan berhak
untuk menikah dengan siapapun.
Kalau kemudian wanita tersebut menikah lagi
dengan pria lain, sementara suami pertamanya belum menjatuhkan talak atau ia
sendiri belum melakukan upaya hukum untuk lepas dari ikatan perkawinannya, maka
ia sudah melanggar ketentuan hukum Islam. Meskipun menurut hukum positif
tindakan seperti itu bisa saja dilakukan, tetapi dari kaca mata hukum Islam
wanita tersebut sudah melanggar ketentuan syariat dan dianggap meakukan suatu
perbuatan dosa. Sebab selama suami pertamanya belum menjatuhkan talak, dalam
mondisi dan sampai kapanpun ia masih berstatus sebagai seorang istri. Dengan
demikian perkawinannya yang kedua tidak hanya melanggar laranga Rasulullah,
yaitu menerima khitbah lelaki lain tetapi juga sudah melakukan
poliandri.
Keempat manipulasi dan
pengebirian hukum. Sebagaimana fatwa MUI tahun 1995 dan kenyataan di lapangan,
bahwa banyak pasangan nikah siri yang dikemudian hari ingin mencatatkan perkawinannya
di KUA. Bahkan Menteri Agamapun
setelah kontroversi nikah siri mencuat memberikan solusi untuk mencatatkan
perkawinan siri ke KUA tanpa ijab kabul baru. Tetapi satu hal yang harus
diketahui, bahwa KUA tidak dapat mencatat perkawinan siri sebelum ada itsbat
(penetapan) dari Pengadilan Agama. Artinya, pasangan nikah siri yang akan
mencatatkan perkawinannya di KUA terlebih dahulu harus mengajukan permohonan
itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Dalam itsbat nikah inilah sesungguhnya
terjadi rekayasa hukum yang dilegalkan.
Dari fakta yang ada, seseorang melakukan
nikah siri disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah kesulitan
administrasi pada saat mendaftar di KUA. Seperti seorang yang sudah beristri,
kemudian ingin menikahi wanita lain, maka ketika kesulitan mengajukan ijin
poligami akan memilih nikah siri sebagai solusinya. Juga pasangan di bawah
umur, karena ada suatu sebab mengharuskan mereka untuk segera dinikahkan,
tetapi tidak mau repot mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama, maka nikah
siri dianggap jalan terbaik.
Dari kedua contoh kasus di atas, kalau
dikemudian hari pernikahan sirinya dimintakan itsbat nikah dan pengadilan
mengabulkan permohonan tersebut, maka menurut penulis hukum benar-benar
dilecehkan dan dibuat tidak berdaya. Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya
jelas memuat aturan poligami dan ketentuan usia perkawinan dipaksa harus tunduk
kepada rekayasa hukum melalui pernikahan siri.
Itulah
beberapa hal yang penulis temukan dalam menjalankan profesi sebagai seorang penghulu.
Fakta di atas adalah riil dan bukan asumsi-asumsi pribadi, sehingga diharapkan
masyarakat mengetahui dampak negatif pernikahan siri dan dari fakta-fakta
tersebut dapat dijadikan pertimbangan sejauh mana pentingnya sebuah pencatatan
nikah.
B. Nikah Siri dan RUU-HTPA
Maraknya praktik nikah siri yang terjadi
di masyarakat membuat pemerintah benar-benar serius untuk memberantasnya. Hal
itu dibuktikan dengan upaya pemerintah yang saat ini bersama DPR sedang
menggodok Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU-HTPA),
yang dalam salah satu pasalnya mewajibkan pencatatan perkawinan, sebagaimana
tertuang dalam pasal 4 yang berbunyi : “Setiap perkawinan wajib dicatat oleh
Pejabat Pencatat Nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Disamping itu juga dicantumkan tentang Ketentuan Pidana bagi siapa saja yang
terlibat dalam praktik perkawinan siri, baik bagi pelaku, yang menikahkan
maupun para saksi (bab XXI Pasal 140).[42]
Berbeda dengan Undang-Undang No. I Tahun
1974 tentang perkawinan, perintah pencatatan perkawinan dalam RUU-HTPA sudah
dengan tegas menggunakan kata wajib.
Juga mengenai sangsi pidana, kalau dalam UU No. 22 Tahun 1946 dan PP No. 9
Tahun 1975 hanya memberikan hukuman kurungan 3 (tiga) bulan atau denda Rp. 50,-
(lima puluh rupiah) bagi pelaku dan Rp. 100,- (seratus rupiah) bagi yang
menikahkan, dalam RUU ini batas maksimal pidana denda dinaikkan menjadi Rp.
3.000.000,- dan hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.
Apa yang dilakukan pemerintah bersama DPR
ini sesungguhnya tidak lain untuk mempertegas dari aturan-aturan yang ada
sebelumnya, dimana unsur pemaksa yang menjadi salah satu cirri sebuah
undang-undang atau peraturan tidak begitu kelihatan. Maka dengan dicantumkan
kata harus atau bahkan wajib serta adanya sangsi pidana
diharapkan dapat menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya mencatatkan
perkawinan.
Tetapi memperhatikan langkah yang ditempuh
pemerintah untuk memberantas praktik nikah siri yang hanya dengan mewajibkan
pencatatan dalam RUU-HTPA ini menurut penulis tidak akan mendapatkan hasil yang
maksimal. Sebab belajar dari aturan-aturan sebelumnya, masyarakat hanya
memandang pencatatan perkawinan hanya sekedar kewajiban administratif yang
sangsinyapun bersifat administratif. Berbeda halnya kalau pencatatan ditetapkan
sebagai unsur pokok (rukun) yang menentukan keabsahan perkawinan, masyarakat
akan berpikir ulang kalau tidak mencatatkan perkawinannya.
C. Latar Belakang RUU-HTPA
Ilmu hukum membedakan
antara sumber hukum dalam arti materiil dan sumber
hukum dalam arti formal. Sumber
hukum dalam arti materiil adalah sumber yang menentukan isi atau substansi
hukum, sedang dalam arti formal adalah sumber hukum yang dikenal dari
bentuknya, dalam hal ini berbentuk undang-undang, hukum adat, hukum kebiasaan,
traktat, yurisprudensi dan doktrin. Berkaitan dengan hukum perkawinan, sumber
hukum materill Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan berasal dari
hukum agama (Islam) dan beberapa bagian diadaptasi dari ketentuan Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) yang meupakan warisan dari hukum
kolonial Belanda.[43]
Aturan perkawinan baik yang terdapat dalam
UU No. I Tahun 1974 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, selama ini
oleh peradilan agama dianggap belum (kurang) memadai kalau dijadikan sebagai
hukum materiil. Sedang Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya sudah memadai dan
cukup efektif untuk dijadikan pedoman bagi para hakim di lingkungan peradilan
agama. Tetapi sebagaimana diketahui bersama bahwa KHI menjadi hukum materiil hanya
didasarkan (tercantum dalam instruksi presiden, padahal politik
perundang-undangan nasional Indonesia menghendaki bahwa hukum materiil yang
dijadikan dasar para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara berdasarkan pada
hukum materiil yang diatur dengan undang-undang.
Jadi upaya yang dilakukan pemerintah dan
DPR dengan mencantumkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Peradilan
Agama Bidang Perkawinan dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009 merupakan
salah satu bentuk kebijakan hukum nasional yang menginginkan terwujudnya suatu
hukum terapan peradilan agama yang diatur dengan undang-undang. Disamping itu
langkah pemerintah ini juga mencerminkan adanya kemauan untuk menempatkan hukum
agama sebagai salah satu sumber hukum nasional, dalam hal ini hokum materiil di
bidang perkawinan.[44]
Dengan demikian RUU-HTPA nantinya akan
menjadi hukum terapan (applied law) bagi para hakim peradilan agama
dalam memeriksa dan memutus sengketa yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
khususnya di bidang perkawinan.
Dimasukkannya persoalan nikah siri
(meskipun tidak disebutkan secara explisit) dalam RUU-HTPA ini sesungguhnya
untuk mempertegas tentang kewajiban mencatatkan perkawinan sebagaimana diatur
dalam UU No. I Tahun 1974. Sebab masalah pencatatan sebagaimana diatur dalam
pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dianggap belum cukup menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya pencatatan perkawinan. Bahkan ada sebagian masyarakat yang
menganggap pasal ini justru sebagai biang keladi munculnya perkawinan siri. Atau
dengan kata lain, UU No. I Tahun 1974 masih memberikan peluang dualism ketaatan
hukum, yaitu hukum agama dan Negara. Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu” diartikan sebagai dasar keharusan untuk taat kepada
hukum agama. Sedang pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, sebagai
perintah untuk taat kepada hukum negara, atau bahkan hanya sekedar untuk tertib
administrasi saja. Akan lain halnya kalau kedua ayat ini dijadikan satu saja.
Artinya antara ketaatan menjalankan hukum agama dan mencatatkan perkawinan
sama-sama sebagai satu kewajiban yang menentukan keabsahan suatu perkawinan.
Pertanyaannya, mengapa para pembuat UU waktu
itu tidak melakukannya ? Jawabannya dapat diketahui dari latar belakang
lahirnya UU ini, baik dari sisi fiosofis, yuridis maupun sosiologis. Disamping
itu, hal ini juga merupakan bukti yang menunjukkan bentuk-bentuk kearifan dan
toleransi bangsa ini yang tidak hanya ditemui dalam kehidupan sosial saja
tetapi juga dalam kehidupan tata negaranya. Mereka memahami kemajemukan bangsa
Indonesia, sehingga merekapun sadar bahwa hokum perkawinan yang dituangkan
dalam bentuk Undang-Undang ini bersifat lintas agama dan tentu saja
aturan-aturannya hendaknya hanya berupa ketentuan-ketentuan umum di bidang
perkawinan agar dapat ditaati dan dilaksanakan oleh semua umat beragama.
Hal sama yang akan muncul kaitannya
dengan RUU-HTPA tampaknya juga tidak jauh dari persoalan ketundukan kepada dua
hukum yang berbeda, dalam hal ini berkaitan dengan masalah pencatatan
perkawinan. Oleh karena itu kalau pemerintah berkeinginan memberantas praktik
perkawinan siri secara sungguh-sungguh, maka harus ada keberanian untuk
menjadikan pencatatan sebagai unsur pokok (rukun) pernikahan dalam RUU-HTPA
tersebut. Sebab kalau hanya sekedar diwajibkan tetapi diletakkan bukan sebagai
rukun nikah, sekali lagi nasibnya tidak akan jauh berbeda dengan Undang-Undang
Perkawinan yang sudah ada. Tetapi sesungguhnya kunci persoalan yang sebenarnya
bukan terletak kepada kemauan pemerintah semata, ada faktor lain yang bisa
menghambat upaya memadukan dua unsur hukum yang berbeda tersebut, yaitu tidak
adanya dukungan masyarakat dan politik perundang-undangan kita. Sebagian besar
masyarakat terlanjur meyakini bahwa aturan agama (hukum fikih) sudah dianggap
sempurna dan final, serta haram hukumnya bagi siapapun termasuk pemerintah
untuk menambah atau mengurangi apalagi merubahnya. Sedang dari sisi politik
perundang-undangan nasional menghendaki agar seluruh sistem hukum nasional
tidak saling bertentangan.
Kalau hukum berfungsi sebagai alat
rekayasa sosial (tool of social engineering), tentu saja RUU-HTPA yang
nantinya akan menjadi satu peraturan perundangan harus berani memposisikan
dirinya sebagai alat pemaksa kepada masyarakat. Sebab melihat masalah yang
muncul di tengah masyarakat, khususnya persoalan perkawinan siri memang
mengharuskan adanya suatu peraturan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu
inilah saat yang tepat bagi pemerintah dan DPR untuk membuat suatu peraturan
perundangan yang dapat menghilangkan pandangan dualism hukum, yaitu rumusan
tentang pencatatan sebagai unsur pokok (rukun) pernikahan.
D. Metode Pendekatan
Hukum perkawinan
merupakan bagian dari hukum keluarga (family law, ahwal al syakh
shiyah) yang masuk dalam al wilayah ikhtilaf (perbedaan pendapat)
antara aliran (mazhab) dalam hukum Islam. Oleh karena itu, sebelum
RUU-HTPA nanti disahkan menjadi undnang-undang, pemerintah dalam hal ini tim
perumus perlu menempuh beberapa metode pendekatan yang bisa menghasilkan satu
pemikiran (rumusan) yang disepakati semua pihak serta keputusan yang memiliki
landasan atau dasar hukum yang kuat.
Salah satu metode yang penulis nilai
paling tepat yang dapat digunakan untuk menggali dan mendapatkan kesimpulan
hukum (istinbath al hukum) adalah menggunakan konsep middle road
sebagaimana yang ditawarkan Ibnu Rusyd dalam kasus persaksian akad nikah.
Ketika para ulama berbeda pendapat tentang hukum persaksian, Ibnu Rusyd
berpendapat dengan mengambil jalan tengah, yaitu mempertanyakan apakah
persaksian itu dianggap sebagai satu ketentuan
syariat atau hanya sekedar sebagai sadzdzudzdzariah (mencegah kemadlaratan
dibelakang hari).[45]
Kalau dalam hal
persaksian akad nikah saja Ibnu Rusyd mempertimbangkan pendapatnya dengan
kaidah sadzdzudzdzariah, maka
pencatatan perkawinan yang tujuan penetapan hukumnya (maqasid as-syariah)
adalah dengan landasan sadzdzudzdzariah, maka sangat dimungkinkan kalau
pencatatan dimasukkan sebagai unsur pokok (rukun) pernikahan.
Yang kedua adalah dengan
konsep Ibnu Rusyd yang lainnya, yaitu metode analog (qiyas). Menurutnya
qiyas adalah pengambilan suatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari sesuatu
yang sudah diketahui (maklum).[46] Dalam
kasus ini menganalogkan pencatatan perkawinan kepada Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 282. Artinya pencatatan nikah dan akad utang piutang itu sama-sama
diperintahkan. Bahkan dalam metodologi penetapan hukum Islam, analog (qiyas)
semacam ini tergolong qiyas aula.
Berdasarkan metode
pendekatan di atas, seharusnya RUU-HTPA tidak hanya sekedar mewajibkan
pencatatan perkawinan, tetapi lebih tegas lagi bahwa pencatatan termasuk
unsur pokok (rukun) pernikahan.
BAB IV
KESIMPULAN
Apa yang diuraikan di atas tersebut,
sebenarnya sudah menjawab beberapa persoalan yang dikaji dalam tulisan ini.
Adapun jawaban atau kesimpulan terkait persoalan akibat nikah siri dan metode dari Ibnu Rusyd adalah
sebagai berikut :
1.
Apapun faktor penyebabnya, pernikahan siri
lebih banyak menimbulkan kerugian
dari pada
keuntungannya. Kerugiannya tidak hanya
berkaitan dengan status
pernikahan siri di mata hukum, tetapi lebih
jauh adalah akibat yang berhubungan
dengan pihak ke tiga,
baik yang berkaitan dengan keluarga maupun lainnya.
2.
Ibnu Rusyd adalah seorang yang pengetahuannya
sangat luas diberbagai bidang ilmu, khususnya filsafat dan fikih. Khusus di
bidang fikih, dengan kemampuannya berfikir filosofis Ibnu Rusyd sangat
hati-hati dalam setiap menentukan kesimpulan hukum. Dari sekian konsep yang ditawarkan, konsep middle road dan
qiyasnya dapat ijadikan metode untuk
mendapatkan kesimpulan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Muhadarat Fi ‘Aqd
al-Zawaj wa Asaruh. Kairo : Dar al-Fikr
al-Arabi, tt.
Ash Shiddieqy, M.Hasbi. Pengantar Ilmu
Fiqih. Jakarta : Bulan Bintang, 1987.
‘Atif al-Iraqi, Muhammad. Al-Naz’ah
al-Aqliyyah fi Falsafah Ibnu Rusyd. Mesir : Dar
al-Ma’arif, 1968.
Azhar Basyir, Ahmad. Pokok-Pokok
Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta :
Bagian Perpustakaan dan Penerbitan Fakultas Hukum UII, 1992.
Balker, JWM. Sejarah Filsafat Dalam
Islam. Yogyakarta : Yayasan Kanisius, 1978.
Den Heijer, Johannes dan Syamsul Anwar. Islam,
Negara Dan Hukum. Jakarta : INIS,
1993.
Departemen Agama RI. Pedoman Pembantu
PPN. Jakarta : Proyek Pembinaan Sarana
Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1993/1994.
Gazalba, Sidi. Islam Dan Perubahan Sosio
Budaya. Jakarta : Pustaka al-Husna, 1983.
Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam.
Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
_______
. Pengantar Theologi Islam. Jakarta : Pustaka al-Husna, 1987.
Ibnu Rusyd, Abu al-Walid. Faslu al-Maqal
fi ma Baina al-Hikmah wa l-Syari’ah min
al-Ittisal. Mesir : Dar al-Maarif, 1972.
Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat,
terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1987.
Khallaf, ‘Abd. Al-Wahhab. Khulasah Tarikh
al-Tasyri’I al-Islami. Jakarta : al-Majlisu
al’A’laal-Indunisia lidda’wah al-Islamiyah, 1968.
Langeveld, M.J. Menuju Ke Pemikiran
Filsafat. Jakarta : Pustaka Sarjana, tt.
M. Syarif. Para Filosof Muslim.
Bandung : Mizan, 1991.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid.
Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1988.
Syarifuddin, Amir. Pembaharuan Pemikiran
Dalam Hukum Islam. Padang : Angkasa
Raya, 1990.
Titus, Harold. Persoalan-Persoalan
Filsafat. Jakarta : Bulan Bintang, 1984.
Yusuf Musa, Muhammad. Baina al-Din wa
al-Falsafah fi Ra’yi Ibnu Rusyd wa
Falsafah al-‘Asri al-Wasit. Mesir : Dar
al-Ma’arif, 1968.
Zainal Abidin, Ahmad. Riwayat Hidup Ibnu
Rusyd Filosuf Islam Terbesar di Barat.
Jakarta : Bulan Bintang, 1975.
Musawa, Jurnal Studi Gender dan Islam. Yogyakarta : PSW UIN. Su-Ka.2004.
Harian Jogja.
Yogyakarta, 2010.
Makalah Seminar. Kontribusi Alumni Fak.
Syari’ah terhadap RUU-HTPA.
[1] Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat Fi ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh,
(Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.), hlm. 43-44.
[2] Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu PPN, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, 1993/1994), hlm. 219-220.
[3]. Al-Nisa’ (4) : 82.
1.Muhammad Sa’id al-Asymawi,”Fikih Islam”, dalam Johannes den Heijer
dan Syamsul Anwar (ed), Islam, Negara Dan Hukum, alih bahasa Syamsul
Anwar, (Jakarta: INIS 1993), hlm. 122. Baca dan bandingkan dengan Amir
Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa
Raya, 1990), hlm. 78.
[5]. H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd Filosuf Islam
Terbesar di Barat, Cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 43.
[6] . Ahmad Fuad El-Ehwani, Ph.D, “Ibnu Rusyd” dalam M. Syarif, MA.
(ed), Para Filosof Muslim, peny. Ilyas Hasan, Cet.III (Bandung: Mizan,
1991), hlm.198
[7] . Muhammad ‘Atif al-Iraqi, Al Naz’ah al Aqliyyah fi Falsafah
Ibnu Rusyd, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1968), hlm.25.
[8] . JWM. Bakker SY., Sejarah Filsafat Dalam Islam,
Cet.I (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1978), hlm. 13-14.
[9]. Dikutip dalam, Ibid, hlm. 79.
[10]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., hlm. 15.
[11] . “Biografi Pengarang” dalam Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtasid, Cet.X (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1998), hlm.
477.
[12]. A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), hlm. 165.
[13]. ‘Abdul Wahhab Khallaf, Khulasah Tarikh al-Tasyri’ al Islami,
Cet. VIII (Jakarta: al-Majlisu al-A’la al-Indunisia Lidda’wah al-Islamiyah,
1968), hlm.95.
[14]. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Cet. V
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 84-86.
[15]. Ibid, hlm. 85.
[16]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi Islam, Cet. IV (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1987), hlm. 189.
[17]. Ibid, hlm. 191.
[18]. JWM. Bakker SY., Sejarah Filsafat., hlm. 74.
[19]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi., hlm. 191.
[20]. Ibid
[21]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., hlm. 163.
[22]. Muhammad Yusuf Musa,
Baina al-Din wa al-Falsafah fi Ra’yi Ibnu Rusyd wa Falasifah al-‘Asri al-Wasit,
Cet. II (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1968), hlm. 104.
[23]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., Hlm. 156.
[24]. Muhammad Yusuf., Baina al-Din., hlm. 90.
[25]. Ibid, hlm. 104.
[26]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., hlm. 155-164.
[27]. Muhammad ‘Atif., al-Naz’ah., hlm. 17.
[28]. H. Zainal Abidin., Riwayat Hidup., hlm. 136.
[29]. MM. Syarif, Para Filosof., hlm. 206.
[30]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi., hlm. 198.
[31]. Al-Hasyr (59):2.
[33]. A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat., hlm. 3.
[34]. Harold H. Titus dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, alih
bahasa Prof. Dr. MM. Rasyidi, Cet. I (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.
11-14.
[35]. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Drs.
Soejono Soemargono, Cet.II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), hlm. 6.
[36]. Abu al-Walid Ibnu Rusyd, Faslu al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah
wa al-Syari’ah min al-Ittisal, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), hlm. 22.
[37]. Dr. MJ. Langeveld, Menuju Ke Pemikiran Filsafat, Cet. IV
(Jakarta: Pustaka Sarjana, tt), hlm. 10.
[38]. Harold h., Persoalan., hlm. 17.
[39]. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid., hlm. 462.
[40]. Ibid.
[42]. Ghufron Su’udi, “Pemberantasan Nikah Siri dalam RUU-HTPA” dimuat
dalam Aspirasi, (Harian Jogja),
19 Februari 2010.
[43]. Ibid
[44]. Drs. H. Habiburrahman, M.Hum dalam Seminar Kontribusi Alumni
Fak. Syari’ah terhadap RUU-HTPA.
[45]. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hlm. 17.
[46]. A. Hanafi, MA., Pengantar Theologi., hlm. 194.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar