STOP GRATIFIKASI KUA

STOP GRATIFIKASI KUA

Senin, 08 Juni 2015

AYAH BIOLOGIS DAN FUNGSI PENCATATAN PERKAWINAN






Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 43 ayat  (1) UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh Machica Mochtar, istri sirri mantan Mensesneg Murdiono (Alm). Dalam keputusannya MK menyatakan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan, tetap mempunyai hubungan keperdatan dengan ayah biologisnya. Dengan demikian, sejak adanya putusan MK ini ketentuan tentang anak di luar nikah yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU No.1/1974 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ada pertanyaan mendasar yang perlu mendapatkan penjelasan dalam putusan ini, yaitu berkaitan dengan bentuk implementasinya. Apakah setelah diadakan penelitian secara ilmiah dan ternyata terbukti bahwa seorang anak memiliki hubungan biologis dengan seseorang, apakah identitas ayah biologisnya tersebut akan dicantumkan dalam akta kelahiran anak atau bentuk lain yang sejenis. Hal ini perlu pemikiran lebih lanjut karena jika nama ayah biologis dicantumkan bersama-sama dengan ibu kandung dalam akta kelahiran anak akan menimbulkan akibat hukum yang serius khususnya terhadap hukum keluarga Islam.
WALI NIKAH
Dalam pasal 43 ayat (1) UU No.1/1974 disebutkan,” anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Sedang dalam pasal 42 disebutkan, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Sebagai pewujudan kedua pasal tersebut dan untuk mengetahui asal usul seorang anak, maka dicantumkanlah hubungan keperdataan itu dalam akta kelahiran, sebagaimana diatur dalam pasal 55 ayat (1) UU No.1/1974.  Kalau seseorang dilahirkan dalam pernikahan yang sah (anak sah), dalam akta tersebut akan tertulis ayah dan ibunya. Sebaliknya, jika dilahirkan di luar pernikahan maka hanya dicantumkan nama ibu. Akta kelahiran inilah yang kemudian dijadikan satu-satunya bukti otentik untuk mengetahui status seorang anak termasuk siapakah ayah dan ibunya.
 Kaitannya dengan masalah pernikahan, diantara sekian unsur utama (rukun) nikah yang harus dipenuhi adalah wali nikah. Dalam hukum Islam wali nikah dari seorang perempuan adalah ayah kandung dan keluarga laki-laki dari garis ayah. Maka yang selama ini menjadi dasar petugas Kantor Urusan Agama (KUA) dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi wali nikah senantiasa berpedoman kepada akta kelahiran, di samping surat-surat pendukung lainnya.
Jika kemudian ayah biologis sebagaimana yang diputuskan MK tersebut dicantumkan dalam akta kelahiran, maka akan terjadi kerancuan hukum yang berakibat fatal. Seseorang yang sebenarnya tidak berhak menjadi wali nikah menurut hukum Islam, hanya karena sekedar mempunyai hubungan biologis dan keperdataan tetapi memiliki bukti-bukti otentik (administratif) akhirnya bisa menjadi wali nikah. Sangat beruntung seandainya pihak-pihak yang bersangkutan memahami hukum Islam, artinya meskipun secara administrasi tidak terjadi kesalahan maupun pelanggaran, tetapi karena keinginan agar pernikahannya tidak hanya sah menurut hukum negara tetapi juga agama, siapapun pasti tidak akan menjadikan ayah biologis sebagai wali nikah.  Lalu bagaimana dengan mereka yang hanya berpegang kepada administrasi perundang-undangan, yang menganggap pernikahan tidak lebih dari sekedar akad perikatan biasa, sangat dimungkinkan masalah perwalian luput dari perhatian mereka. Maka kalau itu yang terjadi, di Indonesia akan banyak pernikahan yang tidak sah karena tidak dilakukan menurut hukum agama sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 yang berbunyi, ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannnya itu”.
HUKUM WARIS ISLAM
Sama kasusnya dengan masalah wali nikah, dicantumkannya ayah biologis dalam akta kelahiran juga berdampak dalam hukum waris Islam. Sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam hukum waris bahwa diantara sebab terjadinya seseorang saling mewarisi adalah adanya hubungan nasab dan pernikahan. Hal pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin mendapatkan hak waris dari orang lain adalah harus bisa menunjukkan bukti-bukti otentik tentang statusnya terlebih dahulu, apakah sebagai suami/istri, anak atau memiliki hubungan keluarga lain dengan yang meninggal. Kalau berkedudukan sebagai suami atau istri bukti otentiknya berupa akta nikah, sedang anak harus melalui akta kelahirannya.
Uji materi yang diajukan Machica Mochtar, (kalau penulis tidak salah) diantaranya didasarkan atas tuntutan nafkah anak yang selama ini tidak pernah dikabulkan oleh Murdiono (Alm). Dari kaca mata hukum penolakan ini dapat dibenarkan, karena tidak alasan (dasar) yang kuat untuk memaksa Murdiono (Alm) memberikan nafkah anak tersebut. Sekali lagi ini secara hukum, bukan secara moral. Maka agar timbul adanya hak dan kewajiban harus dilakukan pembuktian terlebih dahulu bahwa antar pihak memang mempunyai hubungan keperdataan. Dan inilah yang diputuskan MK terhadap kasus Machica Mochtar-Murdiono (Alm). Dengan keputusan ini, Murdiono sebagai bapak mempunyai kewajiban memberikan nafkah, dan M. Iqbal Ramadhan (anak Machica Murdiono)  sebagai anak berhak memperoleh nafkah. Bahkan tidak menutup kemungkinan nantinya, atas dasar bukti akta lahir yang dimiliki, M. Iqbal Ramadhan akan menuntut hak warisnya terhadap keluarga Murdiono (Alm).
Kalau dikaitkan dengan sebab adanya saling mewarisi di atas, hubungan semacam ini tidak termasuk dalam kedua hal tersebut. Terlebih dalam memutuskan seorang anak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, MK cukup mensyaratkan pembuktian dengan saksi atau didasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi (tes DNA). Artinya siapapun yang dapat membuktikan dirinya mempunyai hubungan biologis dengan orang lain, maka secara otomatis akan mendapatkan hak keperdataan dengan orang tersebut tanpa melihat prosedur bagaimana hubungan orang tua anak dulu itu terjadi. Atas dasar itu pula akan masuk dalam kelompok ini adalah anak hasil perzinahan atau kumpul kebo, pemerkosaan dan hubungan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum agama dan negara. Sementara ketentuan hukum waris sangat jelas, syarat untuk bisa saling mewarisi adalah adanya hubungan yang disebabkan oleh pernikahan yang sah. Dengan demikian meskipun secara biologis dua orang atau lebih terbukti mempunyai hubungan biologis, secara Islam tetap dinilai tidak memiliki hubungan nasab sehingga tidak bisa saling mewarisi.
Kalau dalam berbagai tayangan infotainment Machica atau sebagian masyarakat beralasan bahwa anak yang lahir adalah hasil suatu pernikahan meskipun tidak dicatatkan secara resmi (sirri), maka tidak serta merta dapat dijadikan dasar untuk menentukan adanya hubungan nasab, meskipun ini pula yang mungkin dimaksud MK dengan syarat harus dibuktikan dengan saksi. Sebab jika memang seperti itu yang dikehendaki, ada prosedur lain yang harus ditempuh sebagaimana yang diatur dalam hukum perkawinan di Indonesia, yaitu melalui isbat nikah. Hasil dari isbat nikah inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk mendapatkan status anak dalam akta kelahirannya.
Di samping persoalan wali nikah dan hukum waris, keputusan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan tetap mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dapat dinilai sebagai upaya pengebirian Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Masyarakat diajarkan untuk tidak taat lagi kepada aturan perundangan, dalam hal ini kewajiban mencatatkan perkawinan. Pencatatan dan semua prosedur administrasi perkawinan yang diatur dalam undang-undang pada hakekatnya adalah untuk melindungi dan mendapatkan kepastian hukum bagi semua pihak, bukan salah satu pihak. Kalau masyarakat sudah diberi jalan pintas untuk mendapatkan kepastian hukum (meskipun hanya menguntungkan satu pihak saja), tentu cara ini yang akan dipilih dan mengabaikan prosedur serta segala tetek bengeknya yang dirasa merepotkan. Dengan kata lain, untuk apa repot-repot menikah secara resmi, tanpa menikahpun sang anak akan mendapatkan hak yang sama seperti anak pada umumnya.
Sebagai penutup, janganlah alasan perlindungan hukum terhadap anak dijadikan alat untuk merampas perlindungan hukum bagi pihak lainnya. Mahkamah Konstitusi seharusnya juga mempertimbangkan dan ikut merasakan kesedihan mendalam yang dialami istri resmi mantan Mensesneg Murdiono (Alm) sekeluarga dan mereka yang senasib dengannya, betapa begitu menyakitkan setelah dikhianati oleh suami dan ayahnya tetapi malah dituntut untuk melepas sebagian hak-haknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar