Istilah mbangun nikah dapat diartikan sebagai sebuah rangkaian acara akad
nikah antara seorang laki-laki dan perempuan yang sudah terikat dengan tali
pernikahan yang sah. Hal ini dilakukan karena ada sebab atau alasan tertentu.
Meskipun tidak ada landasan hukum baik syar’i maupun perundang-undangan,
praktek mbangun nikah hampir dapat ditemui di seluruh wilayah Indonesia. Untuk
daerah-daerah tertentu, apakah sekedar untuk mendekatkan istilah itu ke hukum
Islam (fiqih) atau agar kelihatan benar-benar sebagai suatu yang disyari’atkan,
istilah mbangun nikah disebut dengan “tajdiidun nikah.”
Diantara sekian
alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan mbangun nikah adalah :
a.
Suami istri yang melaksanakan
akad nikah semasa keduanya belum beragama Islam dan dikemudian hari memeluk
agama Islam.
b. Suami istri atau pihak ketiga yang merasa
suatu pernikahan itu dilaksanakan kurang sempurna.
c. Suami istri yang menikah dalam kondisi
istri sudah hamil.
d. Suami istri yang melakukan percekcokan
atau perselisihan dan khawatir suami sudah dengan sengaja atau tidak
mengucapkan kata talak atau sepadannya.
e. Terjadi perpisahan yang cukup lama tanpa
ada komunikasi.
f. Kehidupan rumah tangga yang senantiasa
menghadapi kegagalan disegala bidang.
Dari alasan-alasan diatas, beberapa diantaranya memang didasari atas
kekhawatiran (hati-hati) bahkan ketakutan kalau sekiranya hubungan suami istri
itu menjadi tidak halal atau terjadi perzinahan. Dan diantaranya hanya sekedar
berdasarkan keyakinan masyarakat tertentu, mitos atau bisikan-bisikan yang
muncul akibat tidak ada jalan keluar lain dalam menghadapi problem keluarga. Untuk yang kedua ini tidak perlu kita
tanggapi dengan serius, disamping karena tidak rasional, saran-saran yang bersifat
mistis jelas bertentangan dengan ajaran dan norma agama Islam.
Meskipun dalam tulisan ini penulis akan menitik beratkan antara mbangun
nikah dan efektifitas hukum di Pengadilan Agama, dalam hal ini alasan yang
melatarbelakangi mbangun nikah karena kekhawatiran sudah terjadi ”perceraian”
(alasan poin d), tetapi akan diuraikan juga jawaban atas alasan-alasan yang
lain. Sebab selain yang didasarkan mitos, alasan-alasan itu muncul akibat
kegalauan (penasaran) atas terjadinya dua perbuatan hukum, dimana perbuatan
hukum kedua akan berimplikasi terhadap perbuatan hukum yang pertama. Disamping
itu, dengan jawaban-jawaban ini diharapkan dapat menghilangkan atau paling
tidak mengurangi praktek mbangun nikah. Sebab bagaimanapun juga mbangun nikah
mempunyai dampak negatif baik secara hukum maupun sosial.
Secara hukum, dampak negatif mbangun nikah diantaranya menimbulkan
ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan dalam rumah tangga, pelecehan
terhadap institusi (lembaga) peradilan dan bisa mengarah kepada illegal
divorce, yaitu perceraian di bawah tangan atau diluar pengadilan.
Sedang dampak sosialnya diantaranya akan menimbulkan persepsi di masyarakat
tentang keabsahan pernikahan bawah tangan, akan dimanfaatkan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab dan merusak keharmonisan rumah tangga. Sebab bisa
terjadi seorang istri yang merasa sudah terjadi talak akan menolak melayani
kebutuhan biologis suaminya, atau demikian juga sebaliknya, padahal pasangannya
marasa yakin belum terjadi talak. Bahkan lebih rumit lagi kalau perceraian itu dinilai sampai tahapan talak
tiga. Artinya, untuk rujuk kembali dibutuhkan adanya muhallil, yaitu sang istri
harus menikah dulu dengan pria lain. Dalam kasus ini bisa saja suami melaporkan
istrinya ke pihak berwajib atas tuduhan perzinahan.
SOLUSI
HUKUM
Sesuai dengan beberapa alasan yang melatarbelakangi peristiwa mbangun
nikah, yang pertama adalah persoalan sah atau tidaknya pernikahan seseorang
yang tidak beragama Islam. Setelah mendapatkan beban (taklif) syari’at Islam,
apakah hubungan suami istri tersebut termasuk perzinahan ataukah tidak.
Untuk menjawab persoalan ini, cukup kiranya dengan melihat beberapa
peristiwa serupa yang dialami oleh para sahabat Rasulullah. Banyak sahabat
Rasulullah yang sebelum masuk Islam sudah menikah dan beristri, tetapi setelah
menjadi seorang muslim, Rasulullah tidak menyuruh mereka melakukan akad nikah
baru. Ini artinya pernikahan yang dilaksanakan pada waktu atau sebelum Islam
tetap sah. Sekiranya itu tidak sah dan bertentangan dengan syari’at Islam,
Rasulullah pasti menyuruh melakukan akad nikah baru, sebagaimana beliau
memerintahkan para sahabat yang baru masuk Islam dan beristri lebih dari empat
untuk menceraikan mereka dan hanya memilih empat dari para sitrinya tersebut,
seperti sahabat Ghailan dan Naufal bin Muawiyah.
Demikian juga dari sisi hukum perkawinan di Indonesia. Kalau pernikahan
mereka sebelum memeluk Islam dianggap tidak sah akan menimbulkan konsekuensi
baik secara yuridis maupun administrasi. Secara yuridis berimplikasi kepada
anak, terutama berkaitan dengan definisi anak sah sebagaimana yang ditentukan
oleh preundang-undangan. Sedang dari sisi administrasi akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan baru, misalnya kalau pernikahannya dianggap tidak sah,
bagaimana dengan akta nikahnya. Seandainya dinikahkan ulang, secara
administrasi juga dibutuhkan bukti kalau pernikahannya sudah dilaksanakan
dengan sah. Nah, dengan cara dan seperti apa urusan-urusan administrasi itu
diselesaikan, khususnya data status yang bersangkutan.
Yang kedua adalah mbangun nikah dengan alasan dengan alasan kekhawatiran
suatu pernihakan (akad nikah) dilaksanakan kurang sempurna bahkan tidak sah.
Untuk hal seperti ini, sebenarnya sudah ada ketentuannya yaitu dengan jalan isbat
nikah. Ketika suami, istri, wali nikah atau pihak yang berkepentingan dalam
suatu perkawinan merasa ada keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan, maka mereka dapat mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama
sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (3) poin c.
Ketiga adalah mbangun nikah dengan alasan ketika akad nikah, istri sudah
dalam kondisi hamil. Dalam kasus ini, sebenarnya secara fiqhiyah banyak ulama madzhab
yang empat dan beberapa imam madzab membolehkan akad nikahnya. Dalam Kompilasi
Hukum Islam disebutkan bahwa, seorang wanita hamil diluar nikah dapat
dikawinkan dengan pria yang menghamilinya (Pasal 53 ayat (1)). Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir (ayat 3).
Keempat adalah mbangun nikah dengan alasan terjadi perpisahan yang cukup
lama antara suami dan istri. Alasan ini muncul di sebagian masyarakat karena
berkaitan dengan bunyi atau bacaan sighot taklik talak yang selama ini
senantiasa dibaca setelah akad nikah. Dalam sighot taklik talak, terutama dalam
poin (1) memang disebutkan apabila suami meninggalkan istrinya dua tahun
berturut-turut. Tetapi sesungguhnya tidak serta merta akan jatuh talak meskipun
apa yang digantungkan (dijanjikan) suami itu sudah terjadi. Sebab dalam diktum
penutup sighot taklik jelas disebutkan apabila istri tidak ridlo dan mengadukan
halnya kepada PA. Ini artinya
talak baru akan jatuh apabila istri tidak ridlo dan mengadukan (mengajukan
gugatannya) ke PA. Itupun masih ada ketentuan, ”... dan pengaduannya dibenarkan
serta diterima oleh pengadilan tersebut”, dalam arti gugatan istri dikabulkan.
Jadi tidak hanya alasan suami meninggalkan istri saja, janji-janji yang lainnya
pun kalau istri ridlo dan tidak mengadukan ke PA maka tidak atau belum jatuh
talak. Atau istri tidak ridlo tetapi mengadukan ke PA, atau istri tidak ridlo
dan mengadukan, tetapi PA tidak menerima (tidak mengabulkan) gugatannya, maka
tidak jatuh talak.
KEKUASAAN
DAN SUMBER HUKUM PA
Sebelum menjelaskan kaitan mbangun nikah dan efektifitas hukum, terlebih
dahulu akan diuraikan mengenai kekuasaan dan sumber hukum Peradilan Agama. Yang
dimaksud dengan kekuasaan (yuridiksi) adalah kekuasaan absolute, yakni
kekuasaan yang berkaitan dengan jenis perkara atau bidang hukum yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama. Sedang sumber hukum adalah dalil-dalil atau rujukan
yang digunakan sebagai landasan putusan atau ketetapannya.
Bidang hukum yang menjadi kekuasaan Pengadilan Agama sebagaimana diatur
dalam Bab III pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, yaitu berupa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara antara orang yang berragama Islam di bidang : a. Perkawinan, b.
Kewarisan, wasiat dan hibah yang didasarkan hukum Islam dan, c. Wakaf dan
shadaqoh. Adapun sumber hukumnya, sejak didirikan (1882) sampai sekarang
mengalami perkembangan dalam tiga periode, yaitu periode awal sampai tahun
1945, periode 1945 sampai dengan tahun 1985 dan periode 1985 sampai sekarang.
Pada periode awal sebagai sumber hukumnya adalah undang-undang atau
ketentuan agama, dalam hal ini pendapat imam mazhab yang terdapat dalam
berbagai kitab fiqih. Pada masa periode kedua telah diterbitkan Edaran Biro
Peradilan Agama Nomor B / 1735 tanggal 18 Februari 1958 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura. Di dalam huruf b
surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam
memeriksa dan memutuskan perkara para hakim Pengadilan Agama / Mahkamah
Syari’ah dianjurkan mempergunakan beberapa kitab fiqih yang berjumlah 13 buah
sebagai pedoman. Dengan menunjuk 13 buah kitab fiqih ini, sumber hukum
peradilan agama semakin nyata dan sudah mengarah kepada kesatuan hukum.
Sumber hukum Peradilan Agama mencapai kesatuan hukum materiil terwujud pada
periode ketiga, yakni setelah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dinyatakan
berlaku efektif, sebab khusus di bidang perkawinan, UU ini merupakan wujud
kesatuan hukum yang berlaku di kalangan bangsa Indonesia dalam bidang
perkawinan. Dan sebagai puncaknya adalah dengan diterbitkan Instruksi Presiden
Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang penyebar luasan Kompilasi Hukum
Islam.
Setelah melihat kekuasaan dan sumber hukum Peradilan Agama di atas,
sesungguhnya tidak ada alasan bagi masyarakat Indonesia khususnya umat Islam
untuk tidak mengakui dan mendukungnya. Di lembaga inilah akan didapatkan
kepastian hukum dan keadilan, serta menjadi sarana untuk lebih mudah mewujudkan
kemaslahatan dan menghindarkan masyarakat dari berbagai bentuk kemadlaratan.
Praktek mbangun nikah, sesungguhnya merupakan salah satu bentuk
pengingkaran atau tidaknya adanya pengakuan terhadap kekuasaan dan produk
lembaga peradilan (PA), khususnya yang dilakukan atas dasar kekhawatiran telah
terjadi talak baik akibat ucapan suami maupun pelanggaran suami terhadap taklik
talak. Penulis sebut pengingkaran karena jelas, dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal
39 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Ini berarti belum terjadi perceraian
sebelum ada putusan dari pengadilan.
Kalau masyarakat berdasar keyakinan kemudian mengklaim bahwa sudah terjadi
perceraian antara suami istri tanpa putusan pengadilan, hal itu tidak saja
sebagai bentuk pengingkaran terhadap lembaga peradilan tetapi juga menjadi
penyebab munculnya ketidakpastian dan ketidakadilan bagi para perempuan. Dan
pada akhirnya akan menimbulkan kesulitan-kesulitan hukum.
Dilihat dari latar belakangnya, pemahaman seperti itu sangat erat kaitannya
dengan pemaknaan terhadap hukum Islam (teks-teks fiqih). Mereka cenderung mencampuradukkan
pemaknaan hukum fiqih sebagai hukum syari’ah. Sehingga hukum fiqih yang
seharusnya dipahami sebagai hukum temporal yang dibatasi ruang dan waktu serta
kondisi tertentu, menjadi dibakukan sebagai hukum abadi dan tidak terbatas bagi
apapun dan siapapun. Lebih tragis lagi, karena mengartikan hukum fiqh sebagai syari’at,
maka hukum itu tidak boleh terkena intervensi oleh argumen akal manusia,
termasuk dalam hal ini intervensi pemerintah dalam wujud peraturan-peraturan
atau perundang-undangan.
Lebih kongkritnya, dalam hal perceraian atau talak, doktrin yang ditemui
dalam literatur fiqh adalah kesepakatan para jumhur ulama yang berpendapat
bahwa talak bisa diucapkan dimana saja, kapan saja, dalam keadaan serius atau
bercanda, ada saksi atau tidak ada saksi. Bagi mereka talak yang dijatuhkan di
sembarang tempat dan sembarang keadan itu adalah sah berdasarkan sebuah hadis
yang artinya : ”Tiga hal yang seriusnya berakibat serius, dan bercandanya
berakibat serius, yaitu nikah, talak dan rujuk”.
Dari sinilah mbangun nikah itu berawal, entah karena sengaja atau tidak,
dalam kondisi marah atau sekedar bercanda, kalau suami sudah mengucapkan kata
talak atau sepadannya kepada istrinya, maka talak itu sudah benar-benar
dianggap jatuh, sehingga untuk mengembalikan suami istri agar tetap sah maka
dilakukan mbangun nikah.
Terlepas dari hukum perkawinan di Indonesia, pemikiran seperti tersebut di
atas sesungguhnya perlu dikritisi. Bagaimana tidak, kalau suatu perkawinan yang
awalnya (akad nikah) dilaksanakan dengan serius, penuh kekhidmatan dan
kesakralan, bahkan mempersyaratkan adanya wali, adanya dua orang saksi yang
adil, bahkan tidak jarang dihadiri oleh sanak saudara dan handai taulan, tetapi
ketika berakhir (cerai) bisa dengan begitu saja terjadi, bahkan dalam keadaan
bercandapun tetap dianggap sah, juga tanpa adanya saksi atau wali.
Di sisi lain, beberapa tokoh fiqh sendiri justru memiliki pendapat yang berbeda.
Seperti pendapat ulama Syia’ah, perceraian tidak sah bila tidak diucapkan
didepan sidang pengadilan dan mempersaratkan adanya saksi sebagai sarat sahnya
talak. Di kalangan sahabat yang berpendapat mempersaksikan talak hukumnya wajib
dan merupakan syarat sahnya adalah Ali bin Abi Thalib. Sedang dari kalangan
tabi’in adalah Muhammad Al-Baqir, Ja’far Sidiq dan anak-anak mereka dari
keluarga Rasulullah.
Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini
menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum pada Peradilan Agama
sesungguhnya merupakan upaya yang efektif sebagai bentuk campur tangan
pemerintah dalam menjaga kemaslahatan keluarga pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya, juga sebagai upaya mencegah timbulnya madlarat serta demi terciptanya
kepastian hukum. Kalau hukum di Pengadilan Agama benar-benar berlaku efektif,
maka tidak akan terjadi dualisme hukum di masyarakat. Kegamangan, kegalauan dan
kekhawatiran, serta praktek-praktek yang tidak memiliki dasar hukum seperti
mbangun nikah ini tidak perlu terjadi. Akhirnya, tinggal bagaimana upaya
pemerintah dalam mencerahkan sekaligus memberikan pemahaman kepada masyarakat
akan perlunya kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak. Masyarakat harus
sadar, bahwa dengan adanya nilai kepastian hukum dan keadilan tersebut, maka
hukum akan lebih mudah mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan masyarakat
dari berbagai bentuk kesulitan dan kemadlaratan. Itulah yang menjadi tugas kita
semua sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar