1.
Bacaan
QS. Al Mu’minun ayat 1 – 7
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam
shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya…Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya” (QS. Al
Mu’minun, 1-5, 8-9).
Abstraksi
: Islam sebagai agama universal dan komprehensif belum dipahami secara integral
dan utuh oleh sebagaian besar umat, pemahaman mereka masih parsial dan belum
bisa mencerminkan pribadi muslim yang kaffah. Tarik menarik ajaran agama antara
symbol (eksoterik) dan subtansi ( esoteris) telah melahirkan sikap dan prilaku
keagamaan yang mengarah pada dua tipe, antara kesalehan ritual dan kesalehan
sosial. Makalah ini berusaha mengkritisi kedua tipologi keagamaan tersebut
sebagai realitas yang berkembang di masyarakat untuk mendapatkan gambaran
realitas umat untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta memahami lebih jauh
bagaimana sebenarnya pesan moral ajaran agama.
Kata kunci : Kesalehan
ritual, kesalehan sosial, prilaku keagamaan, moral agama.
PENDAHULUAN
Mengawali pembahasan ini akan
dikemukakan sebuah narasi yang ditulis oleh Mohamad Sobary (1993:43) tentang tiga orang saleh yang berbeda sikap
dan pandangan agamis serta jenis kesalehan mereka. Orang saleh pertama, disebut
saleh semata karena namanya, orang menyukainya karena aktif siskamling meskipun
bukan pada malam-malam gilirannya. Kesalehan tak terlihat dalam perilaku
keagamaannya, karena predikat agama (Islam) yang ia peroleh hanya Islam KTP, ia
aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial termasuk tahlilan tetapi tidak pernah
melakukam shalat lima waktu.
Saleh kedua, bernama Haji Saleh Andi
Farid, disamping karena namanya dipanggil saleh juga karena perilaku
keagamaannya, jenggotnya panjang, peci putihnya tidak pernah lepas begitu juga
sarungnya, tutur katanya lembut dan suka memberi senyum kepada orang lain,
alasannya “senyum itu sedekah”. Pak Haji Saleh ini betah berjam-jam di mesjid
untuk berzikir, shalatnya sambung menyambung tanpa terputus kegiatan lain.
Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga
isya’ tiba. Jauh malam ketika semua orang masih lelap dalam mimpi masing-masing,
ia sudah mulai shalat malam, kemudian zikir panjang sampai subuh tiba. Selesai
subuh, ia zikir lagi mengulang-ulang asmaul husna dan beberapa ayat pilihan
sampai terbit matahari. Pendeknya ia adalah penghuni masjid. Tidurnya cuma
sedikit, sehabis isya’ ia tidur hanya sekitar dua jam, kemudian selesai shalat
dhuha ia tidur lagi satu jam, selebihnya zikir, zikir dan zikir. Karena perilakunya
yang demikian itu, para tetangga dan masyarakat menaruh hormat kepadanya,
banyak pula yang menjadikan beliau sebagai idola. Namun ia punya kekurangan, pertama, kalau dalam sholat jama’ah ia
tidak ditunjuk jadi imam, ia akan tersinggung; kedua, kalau orang tidak sering “sowan” ke rumahnya, ia tidak suka
karena menurutnya orang tersebut telah mengingkari eksistensi beliau sebagai
orang yang ada di “depan”. Nasehatnya selalu berbau “ancaman”, misalnya: “untuk
mendapatkan sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan waktu kita, tapi
mengapa kemudian kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari untuk hidup
kita yang kekal abadi di surga?, orang
memang sibuk mengejar dunia, cari neraka saja mereka, bahwa orang harus shalat
sebelum dishalatkan”.
Orang saleh ketiga memiliki prilaku
keagamaan yang berbeda dengan saleh-saleh sebelumnya. Nama saleh didapatkan
setelah ia haji, nama aslinya Sabir, seorang pedagang kecil, petani kecil, dan
imam di sebuah masjid kecil. Meskipun ibadahnya tak seperti haji Saleh (yang
kedua), dapat kita jumpai kehangatan iman dalam dirinya. Kalau kita menanyakan
mengapa shalatnya sebentar, dan do’anya begitu pendek, hanya lebih banyak istighfar, ia akan menjawab bahwa ia
tidak ingin minta aneh-aneh, ia malu kepada Allah. Katanya ; “memang Allah
menyuruh kita meminta, tetapi meminta atau tidak kondisi kita sudah dengan
sendirinya memalukan, kita ini hanya sekeping jiwa yang telanjang, dari hari ke
hari meminta berkah-Nya, tanpa pernah mau memberi. Allah memang Maha Pemberi,
termasuk memberi kita rasa malu, kalau rizki-Nya kita makan kenapa rasa
malu-Nya tidak kita gunakan?” Iapun melanjutkan : “perhatikan di masjid-masjid,
jama’ah yang meminta kepada Allah kekayaan, tambahan rizki, naik gaji, naik
pangkat. Mereka pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita. Allah
kita puji-puji karena kita ingin meminta sesuatu. Kalau seperti ini, bukan
ibadah namanya, tapi dagang, atau mungkin bahkan pemerasan yang tidak tahu
malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan berkahnya, bukannya kita
sembah karena kewajiban kita yang memang harus menyembah, seperti Tarekat Al
Adawiyah itu.
Ketika ditanya tentang kesalehan,
pak Sabir alias pak Haji Saleh mengatakan bahwa orang saleh itu adalah orang
yang menyeimbangkan antara “ushalli dan usaha”, keduanya harus diseimbangkan,
tetapi jika harus memilih, maka harus dipilih yang kedua dulu yaitu usaha,
alasannya sederhana karena kalau anak-anak lapar, kita harus memberi jawaban
nyata yaitu beri makan, dan makanan itu diperoleh dari hasil usaha.
Kesimpulannya, bahwa kesalehan itu terletak pada praktek bukan dalam do’a-do’a.
Kesimpulan yang sama juga pernah dikemukakan seorang pastur muda, sehabis
mengkhotbahi habis-habisan para “domba” ia mengatakan : “saya keliru, kongkret
mereka itu butuh makan, tapi saya beri mereka cerita tentang surga, cinta
kasih, dan Tuhan Bapa…”
Dari narasi di atas dapat kita
pahami corak dan prilaku keagamaan umat, paling tidak kesimpulan sementara umat
terpetakan menjadi tiga tipe, pertama, kesalehan sosial tanpa kesalehan ritual;
kedua, kesalehan ritual tanpa kesalehan sosial; dan ketiga keseimbangan antara
kesalehan sosial dan kesalehan ritual. Realitas keagamaan ini barangkali hadir
di hadapan dan di sekitar kita yang perlu dipahami lebih jauh landasan
ideologis normatifnya dan bagaimana sebenarnya pesan moral ajaran agama yang
terdapat dalam teks-teks suci.
KESALEHAN RITUAL DAN
KESALEHAN SOSIAL
Kedua istilah yang menjadi tema
tulisan ini, yakni saleh ritual dan saleh sosial, dimunculkan untuk memberikan
penamaan terhadap tipologi sikap dan prilaku keagamaan umat yang boleh
dikatakan tidak utuh, parsial. Seperti narasi di atas, kesalehan ritual
merupakan jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat
seseorang menjalankan shalat lima waktu, seberapa panjang zikir-zikir sesudah
sholat, dan seberapa sering sholat sunnah ia lakukan. Pada prinsipnya kesalehan
dalam jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba legal formal sebagaimana
apa yang dituntun oleh ajaran agama. Dan biasanya, orang yang memiliki prilaku
ini akan merasa memiliki otoritas (kewenangan) untuk menilai kredibilitas moral
orang lain, ia menjadi semacam tim pemeriksa dan penilai keimanan orang lain.
Sementara itu, kesalehan sosial
merupakan bentuk kesalehan yang lebih ditentukan oleh kehidupan praksis
seseorang, seberapa banyak kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan, seberapa
jauh rasa toleransinya, tingkat kepeduliaannya terhadap sesamanya, cinta kasih
, harga-menghargai, dan prilaku lainnya yang berdimensi sosial. Kesalehan
sosial memandang bahwa kesalehan tidak ditentukan oleh banyak dan panjangnya
do’a, zikir-zikir, dan ritualitas keagamaan lainnya yang lebih mengesankan sikap hidup egoistis, tetapi kesalehan itu
ada pada perwujudan, manifestasi dan
apresiasi keimanan dalam praksis sosial. Dalam bentuknya yang lebih ekstrim,
kesalehan sosial ini kadang menafikan keimanan dan legal formal agama tetapi
mereka aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya,
prilaku yang demikian itu diistilahkan oleh Nurcholis Madjid sebagai “kesalehan
sosial tanpa iman” atau piety without faith.
KESALEHAN RITUAL
Diantara kedua kesalehan yang telah
kita bahas, kesalehan dalam bentuk yang pertama sering diapresiasikan oleh sebagian besar umat sebagai sebuah
prilaku keagamaan yang egoistic dan individualistic. Orang lebih bersemangat
menjalankan sebagian ibadah-ibadah sunnah seperti zikir, shalat, puasa, dan
lain-lain, daripada ibadah-ibadah sosial seperti mengurus kepentingan umum,
bershilaturrahmi, membantu kesulitan tetangga dan menyelesaikan problem
kemiskinan. Seseorang akan lebih merasa beragama dibanding orang lain jika
telah memperhatikan aspek-aspek simbul (syiar) keagamaan, kuantitas dan
masalah-masalah furu’ seperti
memelihara jenggot dan atau membangun mesjid. Tetapi mereka nyaris tidak peduli terhadap masalah atau persoalan yang
substansial, esensial dan kualitas masyarakat. Kelompok ini lebih
memprioritaskan ibadah haji thathawwu’ (haji
kedua, dst) daripada membiayai anak tetangga bahkan keponakannya yang hampir
putus kuliah/ sekolah karena tidak membayar SPP, atau mereka lebih suka
meng-haji-kan orang miskin yang belum mempunyai tempat tinggal ataupun tempat
tinggal yang layak daripada membantunya agar mempunyai rumah, dan seterusnya.
Dalam sudut pandang syari’ah, Yusuf
Qardlawi (1995) juga melihat praktek-praktek keagamaan di berbagai Negara
muslim yang dinilai : (1) mementingkan hal-hal yang bersifat simbul (syiar)
dariapada subtansial, (2) memperhatikan hal-hal yang bersifat kuantitatif dan
artificial daripada yang bersifat kualitatif dan esensial; (3) mendahulukan
pembentukan apa yang sering kita sebut sebagai “kesalehan individual” daripada
“kesalehan sosial”; (4) memprioritaskan tuntutan-tuntutan subyektif, kelompok
dan golongan daripada tuntutan-tuntutan obyektifitas, masyarakat, nasional, dan
dunia Islam; (5) menonjolkan pemikiran-pemikiran keagamaan skolastik dan
dialektik daripada pemikiran empiric dan praktis.
Realitas keagamaan umat seperti ini,
menunjukkan adanya kesalahpahaman umat dalam menangkap makna dan kehendak suatu
ajaran. Ajaran yang seharusnya
membebaskan, memudahkan dan mensejahterakan hidup dan memiliki visi dan misi rahmatan li al-alamin dipahami secara
sempit dengan dalih kesalehan dan penghambaan individual terhadap Allah,
sehingga ia bersikap kaku dan tidak kreatif dalam menghadapi persoalan baru
atau menurut Abudin Nata (1998) karena kesalahan memahami pesan simbolis
keagamaan.
Paradigma fiqh klasik, menurut
Abudin Nata (1988) lebih menekankan aspek tertentu seperti aspek ibadah mahdlah, kesalehan individual,
hak-hak hamba terhadap Tuhan daripada aspek-aspek dan hak-hak sosial. Sehingga eksistensi fiqh sedang mengalami crisis of relevance. Fiqh menurutnya
hanya mengedepankan satu aspek ajaran saja, yaitu bagaimana seorang muslim
“beribadah” kepada Allah dengan baik sesuai wajib dan rukunnya, seorang muslim
merasa cukup beribadah kepada Allah dan mendapat jaminan surga hanya dengan
melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji. Sementara itu, pasca shalat dan lain
sebagainya tidak menjadi agenda pemikirannya. Keadaan tersebut diperparah
dengan studi-studi terhadap fiqh yang masih mengedepankan aspek-aspek ritual daripada membahas persoalan sosial
yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya, persoalan-persoalan
ketimpangan sosial seperti kemiskinan, kesejahteraan buruh yang memprihatinkan,
korupsi, kolusi, konglomerasi, dan lain-lain, tampaknya jauh sekali dari bidang
kajian fiqh.
Sebenarnya sudah ada beberapa
pemikiran dan diskursus yang dilakukan sebagai anti tesis terhadap eksistensi
fiqh yang mengalami crisis relevansi di
atas. Gagasan tentang fiqh sosial, misalnya Prof. K. H. Ali Yafie dengan
bukunya Menggagas Fiqh Sosial (1994),
disusul K. H. Sahal Mahfudz dengan bukunya yang berjudul Nuansa Fiqh Sosial (1994). Buku lain yang berjudul Fiqh al-Aulawiyyah (1995) yang diterjemahkan dengan judul Fiqh Prioritas karya Yusuf Qardlawi juga
untuk memberikan paradigma yang baru tentang fiqh. Buku-buku tersebut
menawarkan paradigm baru tentang fiqh dari paradigma lama yang lebih
berorientasi pada permasalahan-permasalahan
ritual menuju pada keseimbangan (equality)
di dalam melaksakan ibadah kepada Allah. Melalui fiqh sosial permasalahan tidak
hanya didekati melalui pendekatan normatif (normative
approach) tetapi juga mengembangkan pendekatan-pendekatan sosiologis.
Melalui kedua pendekatan ini diharapkan permasalahan dapat dilihat lebih tajam
dan mendalam, sistematis dan membumi (down
to earth).
Adapun melalui fiqh prioritas, Yusuf
Qardlawi (1995) memberikan paradigma baru antara lain : (1) mengedepankan
aspek-aspek kemanusiaan, bahwa fardlu ‘ain yang berhubungan dengan hak Allah
semata, dapat ditolerir pelaksanaanya, sementara fardlu ‘ain yang berhubungan
dengan sesama manusia harus segera dilaksanakan, bahwa hak-hak Allah dibangun
atas dasar toleransi, sementara hak-hak manusia dibangun atas dasar kepastian;
(2) menekankan kepentingan umum, fiqh prioritas tidak memberikan kesempatan
pada sikap fanatisme dan subyektivitas kelompok atau mazhab, dalam sebuah hadis
disebutkan : “Barangsiapa terbunuh di bawah bendera dengan maksud yang tidak
jelas, yang menyeru kepada fanatisme golongan dan mendukung sikap ini, maka ia
mati jahiliyah”; (3) memprioritaskan maqashid
al-syariah dan motif serta tujuan suatu hukum. Dengan menangkap makna
maqasid, orang tidak akan terjebak pada formalism, keterikatan serta
bentuk-bentuk pelaksanan hukum yang kaku. Misalnya bila kita melihat motif
shalat adalah mencegah kemungkaran, motif zakat adalah mensucikan diri, motif
puasa adalah peningkatan ketaqwaan, dan lainnya. (4) memprioritaskan kualitas.
Fiqh prioritas menekankan kualitas daripada kuantitas, bahwa Allah menyukai
mukmin yang kuat dan tidak menyukai mukmin yang lemah meskipun jumlahnya
banyak, seperti yang sering dibesar-besarkan umat Islam bahwa mempunyai anak
banyak itu disunatkan tetapi mereka tidak memperhatikan kualitasnya. Fiqh
prioritas lebih memilih amal yang sedikit tetapi dihayati dan melahirkan
perubahan prilaku, daripada zikir yang dihafal dan beribu-ribu kali dilafalkan
tapi tanpa ada penghayatan; (5) membangun kembali prinsip-prinsip fiqh
komparatif. Fiqh prioritas berusaha membandingkan mana perintah-perintah yang
harus didahulukan dan diakhirkan; mana larangan yang harus diprioritaskan dan
dikemudiankan; dan mana diantara keduanya yang harus pula diperhatikan;
meninggalkan larangan terlebih dahulu atau menjalankan perintah-perintah.
Melalui kedua pandangan dari apliksi
jenis fiqh tersebut diharapkan dapat memberikan pedoman kepada umat untuk
kembali menata cara bersikap dan menjalankan agamanya yang bersifat
individualistic, mistik, formalistic, simbolistik dan kuantitatif. Paradigma
baru yang dibangun berusaha menawarkan kepada umat cara pandang baru terhadap
persoalan fiqh dan bagaimana seharusnya umat memandang dunianya serta
kebutuhan-kebutuhan pragmatis, persoalannya adalah bagaimana umat memiliki
sensitifitas dan jiwa sosial, menjadi terbuka, maju, menghargai akal,
menggandrungi ilmu, dan mengapresiasi kemajuan tanpa sedikitpun harus tercabut
dari akar agamanya.
Abudin Nata (1998) berpendapat bahwa
prilaku keagamaan yang mengarah pada bentuk kesalehan ritual di atas disebabkan
karena umat tidak dapat menangkap pesan ajaran agama. Pesan ajaran agama
sebenarnya mengarah pada pembentukan keimanan dan ketaqwaan serta keadilan
sosial.
Pesan ajaran agama yang mengarah
kepada permasalahan-permasalahan sosial juga dibuktikan oleh Jalaluddin Rahmat
(1991 : 48-51), berdasarkan hasil penelitiannya terhadap Al-Qur’an ia
menyimpulkan lima hal: pertama, dalam al-Qur’an dan kitab-kitab hadis, proporsi
terbesar ditujukan pada urusan sosial misalnya dalam surat al-Mu’minun (ayat
1-9) tentang tanda-tanda orang beriman, surat Ali Imran ayat 133-135 tentang
tanda-tanda orang bertakwa; kedua, dalam kenyataan bila urusan ibadah bersamaan
waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek
atau ditangguhkan, misalnya dalam shalat dikenal adanya ruhsah (keringanan)
berupa jama’, qhosor, dan shalat sambil duduk atau berbaring bagi orang sakit;
ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih
besar daripada ibadah yang bersifat erseorangan, misalnya shalat yang dilakukan
secara berjama’ah lebih tinggi nilainya dari shalat munfarid (sendirian);
keempat bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar
aturan tertentu, maka kafaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah sosial misalnya, bila shaum tidak mampu dilakukan
maka fidyah harus dibayarkan, bila suami isteri bercampur di siang hari bulan
ramadhan maka tebusannya memberikan makan kepada orang miskin; kelima,
melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar
daripada ibadah sunnah, misalnya disebutkan dalam hadis bahwa mencari ilmu satu
saat lebih baik daripada salat satu malam dan mencari ilmu satu hari lebih baik
daripada puasa tiga bulan.
Gambaran ajaran Islam yang demikian
ideal diatas sebenarnya pernah dibuktikan dalam sejarah terutama pada periode
klasik, sekitar abad ke-7 sampai 11 masehi, dimana umat Islam dapat memberikan
rahmat dalam bidang ilmu pengetahuan, peradaban dan lain sebagainya. Namun
kenyataan umat Islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari cita ideal
tersebut, mereka tidak dapat menangkap pesan simbolis keagamaan, agama hanya
dihayati penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara
bersama, pesan spiritual agama menjadi mandek, terkristal dalam kumpulan mitos
dan ungkapan simbolis tanpa makna.
Seperti halnya penjelasan problem
yang menyelimuti fiqh diatas yang memunculkan paradigma baru tentang fiqh
sebagai alternatif dari persoalan yang ada, maka pada persoalan yang kedua ini
juga dimunculkan alternative-alternatif antara lain; misalnya menurut Abuddin
Nata (1998) perlu membuka wacana dan pemahaman umat tentang Islam sebagai agama
yang utuh, konfrehensif dan integral. Bahwa al-Qur’an mengajak kita orang-orang
yang beriman untuk masuk Islam secara kaffah, tidak setengah-setengah dan
farsial. Dalam mengupayakan pemahaman
yang utuh dan komprehensif tersebut melalui bidang dan disiplin keilmuan yang
multi dimensi.
KESALEHAN SOSIAL
Kesalehan sosial muncul sebagai anti
tesis dari kesalehan ritual. Kesalehan sosial dilandasi oleh upaya memberikan
solusi atas permasalahan-permasalah sosial
yang muncul di masyarakat. Untuk menghadapi problem kemanusiaan itu maka
para pemuka agama dan intelektualnya harus mampu menerjemahkan misi suci
kebenaran agama sebagai agama kemanusiaan yang menawarkan dirinya sebagai rahmatan li al ‘aalamiin dengan
cara-cara yang sesuai dengan perkembangan pemikiran dan dinamika zamannya. Bagi
kalangan muslim sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia, ajaran-ajaran
agama hendaknya tidak begitu saja diterima (taqliq) tanpa adanya perubahan,
pertumbuhan dan perkembangan. Memahami ajaran agama hanya dengan tekstualnya
saja harus diganti dengan memahami secara kontekstual. Dari sinilah akan muncul
harapan kita akan dapat menghindari pertikaian yang menyebabkan kita tidak lagi
dapat berkembang membangun peradaban yang lebih maju.
MEMAHAMI PESAN MORAL
AJARAN AGAMA
Islam, sebagaimana yang sering
diungkapkan, merupakan agama universal dan multi dimensi. Islam berbicara
tentang dimensi keTuhanan dan juga dimensi kemanusiaan, tentang akhirat dan
juga dunia, tentang ritual keagamaan dan juga sosial (muamalah), tetapi Islam
tidak pernah mendikotomisasi dimensi-dimensi tersebut serta ajaran dan
bentuk-bentuk peribadatan. Universalitas Islam tersebut justeru harus
dihadirkan dalma diri setiap muslim secara integral, utuh dan kaffah, tidak setengah-setengahdan
parsial (udkhulu fi al-silmi kaffah).
Bahwa amaliyah ibadah yang beradapada wilayah ritual / ibadah mahdhah, harus
memiliki implikasi sosial, demikian pula aktivitas-aktivitas sosial / muamalah
yang dilakukan harus berada dalam kerangka peribadatan kepada Allah SWT.
Shalat, misalnya harus berimplikasi pada pencegahan dari prilaku keji dan
mungkar (tanha ‘an al-fahsya’ wa al
munkar), tidak dilakukan untuk riya dan
harus berimplikasi pada upaya memberi
bantuan pada orang yang memerlukan. Demikian pula aktivitas sosial harus
dilandasi oleh keimanan dan niat ibadah kepada Allah. Melalui pemahaman dan
pelaksanaan ajaran agama secara utuh diharapkan dapat menumbuhkan kesalehan
ritual dan kesalehan sosial dalam diri seorang muslim secara seimbang, sinergis
dan korelatif.
Berikut ini dikutip ayat dan hadis
Nabi saw sebagai renungan dan refleksi untuk menumbuhkan sikap dan prilaku
keagamaan kita sesuai pesan ajaran dan moral agama.

133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa,134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui (Q.S. Ali Imran : 133-135).
Dalam sebuah hadis pernah diceritakan bahwa : “Salah
seorang sahabat pernah memuji keshalehan orang lain di depan Nabi SAW, kemudian
Nabi SAW bertanya : “Mengapa ia engkau sebut sholeh ?”, sahabat tersebut
menjawab : “Sebab, setiap saya masuk masjid ini ia saya lihat sudah sholat
dengan khusyu’ dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyu’ berdo’a. Lalu
Nabi SAW bertanya lagi : “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum ?”,
sahabat tersebut menjawab : “Kakaknya”. Kemudian Nabi SAW bersabda : “Kakaknya
itulah yang layak disebut shaleh”.
KESIMPULAN
1. Kita
hidup dan beragama tidak cukup hanya dengan selalu mendahulukan kesalehan
ritual, selalu mengedepankan ibadah ritual tetapi menafikan ibadah social
2. Kita
juga dalam hidup dan beragama tidak cukup hanya dengan mengerjakan kesalehan
social, selalu menolong orang lain tetapi menafikan ibadah-ibadah ritual
3. Keseimbangan
pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran agama yang kita anut adalah merupakan
keniscayaan kalau kita ingin maju dan makin dihargai baik sebagai pribadi,
keluarga maupun sebagai bangsa, sekaligus sebagai umat secara keseluruhan.
Saleh ritualnya sekaligus saleh sosialnya
Daftar
Pustaka
Yafie, Alie. Menggagas Fiqh Sosial. Mizan. Badung. 1994
Rahman,
Budhy Munawar, Spiritualitas Agama di
tengah pluralitas peradaban modern dalam dialog: kritik dan identitas agama.
Seri dian I. 1993
Sobary,
Mohammad. Kang Sejo Melihat Tuhan. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1993
Madjid,
Nurcholis. Dialog Keterbukaan. Paramadina.
Jakarta. 1998
Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Mizan. Bandung. 1994
Qardlawi, Yusuf. Fiqh Prioritas, 1995
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. PT. Persada Grafindo. Jakarta. 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar