I. LATAR
BELAKANG
Dalam organisasi keluarga, laki-laki adalah kepala dan
pengawas secara ke seluruhan. Anggota tertua dalamkeluarga, menduduki tempat
kepala. Tanggung jawab kehidupan keluarga terletak di tangan laki-laki,
menjaminnya secara materi dan ekonomi, memelihara hubungarp keluarga dengan
masyarakat lainnya baik secara ekonomi rnaupun kebijaksanaan, serta menjaga
disiplin di dalam keluarga. Adalah adil jika wanita itu tunduk dan patuh karena
sadar bahwa Allah telah memberikan kepadanya seorang pelindung.
Tetapi karena alasan-alasan itu, akhirnya berkembang di
kalangan ahli fikih satu pandangan bahwa perceraian itu merupakan hak eksklusif
kaum pria. Dengan menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki kauin pria
serta memanfaatkan kelemahan-kelemahan kaum wanita dalam hal-hal tertentu,
para ahli figih mengambil satu kesimpulan bahwa Islam menjadikan hak perceraian
hanya ditangan kaum pria saja.
II. POKOK
MASALAH
Terlepas dari benar atau tidaknya, ternyata para ahli
fikih telah menjadikan perbedaan sifat alamiah manusia serta perbedaan peran
antara suami dan isteri sebagai alasan diberikannya hak perceraian kepada
suami.
Sebagai agama yang menekankan keadilan, dalam hal
perceraian sebenarnya Islam bermaksud memberikan status yang setara antara
laki-laki dan perempuan. Sebagainiana yang telah kita lihat bahwa AI Qur'an
menuntut diadakannya perundingan sebelum perceraian terjadi, seperti firman
Allah dalam surat
An Nisa' ayat 35 dan 128.
Disamping itu, penetapan laki-laki lebih tinggi
derajatnyadari wanita (2:228) hanyalah menunjukkan bahwa laki-laki itu adalah
pernimpin rumah tangga, bukan menunjukkan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari
pada wanita. Atas dasar itulah, timbul pertanyaan bagi penulis, benarkah hak
talak hanya di tangan suami ?
III. PEMBAHASAN
Sebagian ahli fiqih dalam memberikan definisi perkawinan
cenderung hanya menonjolkan aspek lahiriah yang bersifat normatif dari hakekat
perkawinan, sehingga timbul kesan seolah-olah akibat dari sahnya perkawinan
hanya terbatas pada timbulnya ke bolehan atas sesuatu yang sebelumnya dilarang,
yakni berhubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan.
Pemahaman di atas muncul akibat dari pengertian
"nikah"yang mereka definisikan. Para ahli fikih pengikut mazhab yang
empat biasanya mendefinisikan"nikah" sebagai akad antara seorang
laki-laki dan perempuan yang menjadikan bolehnya berhubungan badan diantaranya.
Hal ini didasarkan
atas tuntunan moral Islam yang menghendaki agar manusia , menjaga diri dari perbuatan-perbuatan
yang dilarang Allah. Dalam hal ini adalah perbuatan zina. Maka untuk menjaga keselmatan moral manusia, satu-satunya cara
untuk menjadikan yang haram menjadi halal adalah dengan melaksana pernikahan,
dan dari sinilah aspek normatif dari sebuah perkawinan menjadi paling menonjol.
Tetapi apabila pemahaman tentang perkawinan lebih
diperdalam lagi, maka sesungguhnya gambaran diatas tidak sepenuhnya menunjukkan
hakekat perkawinan secara utuh. Apa yang
dikemukakan tadi tidak lain hanyalah salah satu tujuan saja dari perkawinan.
Dalam pelbagai ayat Al’Ouran sering disinggung mengenai ikatan wanita dan pria.
Ayat-ayat tersebut diantaranya ada yang menjelaskan tentang hubungan antara
keduanya serta hak-hak dan kewajiban masing-ma,ing. Hal ini secara g ris besar
dapat dipahami dari firman Allah dalam surat
Al Baqarah ayat 228.
Atas dasar ayat di atas, Islam mengukuhkan hubungan
antara pasangan sumai istri atas dasar keseimbangan, keharmonisan dan
keadilan. Wanita mempunyai hak yang wajib dipikul suaminya, sebagai
perimbangan bagi hak suami yang wajib dipikul oleh isterinya menurut aturan-aturan
agama.
Da1am pemahaman
dan penghayatan seperti itulah kemudian Abu Zahrah menyusun definisi nikah atau
perkawinan sebagai satu akad yang menjadikan halnya hubungan badan antara
seorang laki-laki dan perempuan, tolong menolong antara keduanya dan menyatunya
hak-hak serta kewajiban kedua-nya.
Hampir sama dengan definisi tersebut adalah definisi
nikah yang dikemukakan oleh Dr Muhamad Yusuf Musa, menurutnya nikah adalah akad
yang menghalalkan bagi setiap pasangan utuk bersenang-senang dengan
pasangannya atas dasar ketentuan yang digariskan syariat serta menjadikan bagi
keduanya hak dan kewajiban atas yang lainnya.
Dengan demikian, disamping Islammenerima lembaga
perkawinan itu agar setiap orang memperoleh kepuasan perasaan dan seksual
serta, sebagai perlindungan moral, juga diharapkan dari perkawinan, akan
timbul jalinan hak serta kewajibankewajiban yang diletakkan sebagai dasar
kehidupan keluarga, dengan tujuan untuk memperoleh pola sikap dan tindakan
yang hendak diwujudkan Islam bagi individu dan masyarakat. Keseimbangan peran,
persamaan hak dan ke wajiban yang baru telah ditetapkan dalam hubungan antara
suami isteri, antara orangtua dan anak-anaknya dan dengan pihak-pihak di luar
Iingkungan keluarga. '
Untuk itu setelah
berlangsung akad nikah, maka oleh Islam antara suami dan isteri diikat
ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengaa kehidupan suami isteri. Agama
menetapka bahwa suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang menjadi hak isteri, demikian isteri
mempunyai kewajiban-kewajiban yang menjadi hak suami. Tetapi meskipun, oleh Al
Quran suami diberi derajat setingkat lebih tinggi dari isterinya (Al Baqarah
ayat 228).
Masalah perbedaan derajat, oleh para para mufassir
ditafsirkan dengan mengkaitkannya dengan ayat-ayat yang lain,yaitu kaum pria
berfungsi sebagai pelindung kaum wanita serta penyelenggara seluruh urusan
keluarganya. Allah menentukan demikian karena kaum pria harus lebih banyak
memeras daya upayanya.
Dalam organisasi keluarga, laki-laki adalah kepala dan
pengawas secara ke seluruhan. Anggota tertua dalamkeluarga, menduduki tempat
kepala. Tanggung jawab kehidupan keluarga terletak di tangan laki-laki,
menjaminnya secara materi dan ekonomi, memelihara hubungarp keluarga dengan
masyarakat lainnya baik secara ekonomi rnaupun kebijaksanaan, serta menjaga
disiplin di dalam keluarga. Adalah adil jika wanita itu tunduk dan patuh karena
sadar bahwa Allah telah memberikan kepadanya seorang pelindung.
Tetapi karena alasan-alasan itu, akhirnya berkembang di
kalangan ahli fikih satu pandangan bahwa perceraian itu merupakan hak eksklusif
kaum pria. Dengan menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki kauin pria
serta memanfaatkan kelemahan-kelemahan kaum wanita dalam hal-hal tertentu,
para ahli figih mengambil satu kesimpulan bahwa Islam menjadikan hak perceraian
hanya ditangan kaum pria saja.
Mereka beragumen, bahwa kaum pria lebih bersungguh-sungguh
untuk melanggengkan ikatan perkawinan, karena untuk yang satu ini ia banyak
menghabiskan biaya, sehingga apabila ia bercerai dan ingin kawin lagi tentu
membutuhkan biaya yang lebih besar. Disamping itu ia juga dibebani untuk membayar
sisa mahar kepada isterinya yang dicerai, memberikan mut'ah (hadiah) talak dan
memberikan nafkah selama masa ‘iddah Karena
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itulah Islam menjadikan hak
bercerai kepada laki-laki.
Alasan lain yang
dikemukakan para ahli fikih adalah dari segi penalaran dan tabiatnya. Kaum pria
itu lebih sabar menghadapi segala tekanan dari pada kaum perempuan dan ia tidak
tergesa-gesa untuk bercerai karena rasa marah. Sedangkan kaum perempuan
biasanya lebih cepat marah dan kurang pertimbangan. Hal ini menurut mereka
disebabkan oleh tidak adanya beban yanhg ditanggung leh pihak perempuan setelah
cerai sebagaimana yang diwajibkan kepada laki-laki,sehingga wajar apabila ia
mudah berpikir untuk melepas ikatan perkawinan apabia terjadi hal-hal meskipun sifatnya
sepele.
Hal lain yang memberikan wewenang kepada suami untuk
menceraikan isterinva ialah bahwa laki-laki itu dalani menimbang suatu masalah yang
dihadapinya lebih banyak menggunakan pikiran dibanding dengan perasaannya, sedang
kaum wanita sebaliknya. ia lebih banvak menggunakan perasaan dibanding dengan
pikirannya.
Terlepas dari benar atau tidaknya, ternyata para ahli
fikih telah menjadikan perbedaan sifat alamiah manusia serta perbedaan peran
antara suami dan isteri sebagai alasan diberikannya hak perceraian kepada
suami.
Sebagai agama yang menekankan keadilan, dalam hal
perceraian sebenarnya Islam bermaksud memberikan status yang setara antara
laki-laki dan perempuan. Sebagainiana yang telah kita lihat bahwa AI Qur'an
menuntut diadakannya perundingan sebelum perceraian terjadi, seperti firman
Allah dalam surat
An Nisa' ayat 35 dan 128.
Disamping itu, penetapan laki-laki lebih tinggi
derajatnyadari wanita (2:228) hanyalah menunjukkan bahwa laki-laki itu adalah
pernimpin rumah tangga, bukan menunjukkan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari
pada wanita.
Jadi ketika Al Qur'an memberikan kelebihan tertentu bagi
laki-laki atas pe rempuan, Al Qur'an menjelaslkan bahwa hal ini bukan karena kelemahan
yang ada pada diri perempuan, tetapi karena konteks sosialnya, dalam hal ini
adalah peran yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Sedang perbedaan peran tidak
mengandung arti ada yang lebih dari yang lain. Sebagai contoh. apakah seorang
dokter Iebih atas dibanding, arsitek, atau seorang penyanyi lebih atas
dibanding seorang guru. Jadi peran itu bukan berarti rnenunjukkan yang satu memiliki
kelebihan yang lain, tetapi peranserta yang satu menjadi pelengkap bagi yang lain
dalam setiap pekerjaan.
Dengan demikian, jelas bahwa keunggulan yang diberikan Allah kepada laki-laki adalah keunggulan
fungsi sosialnva. Laki-laki mencari nafkah dan membelanjakannya untuk
perempuan, maka ia memperoleh keunggulan fungsional atas perempuan.
Tetapi sekarang, ketika kaum perempuan mulai memproklamirkan
bahwa pekerjaan rumah tangga perempuan juga harus diperhitungkan sebagai pekerjaan
produktif secara ekonomi dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai kewajiban
rumah tangga mereka, maka alasan-alasan yang bersifat ekonomi yang dikemukakan di
atas menjadi kurang tepat. Sebab dengan adanva fungsi yang berbeda, maka
mengakibatkan tanggung jawab yang berbeda, yaitu sesuai dengan peran
masing-masing.
Tugas perempuan sebenarnya juga membawakan peran dalam
soal ekonomi sama dengan laki-laki. Dengan demikian malah dapat dikatakan
bahwa tidak ada keunggulan fungsional antara laki-laki dan perempuan, tetapi
yang ada adalah perbedaan fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan
perempuan.
Kemudian tentang kelemahan-kelemahan perempuan yang juga
menjadi alasan diberikannya hak bercerai kepada laki-laki sebagaimana diantur
beberapa spekulatif dan bersifat relatif, sebab penulis beralasan bahwa
apabila di lihat dalam masalah pemeliharaan anak, mayoritas ulama fikih
berpendapat bah wa ibu lebih berhak atas anaknya, dengan alasan ibu lebih
dekat dengan anak dan mencintainya lebih mendalam dari pada siapapun, dan juga
ini adalah masalah kesejahteraan anak dan bukan hanya salah satu hak orang
tuanya saja.
Dengan dasar ini dapat dibuktikan bahwa apa yang
dituduhkan kepada perempuan itu tidak benar, sebab apabila dikatakan perempuan
itu emosinya selalu tidak stabil, maka tidak mungkin masalah pemeliharaan anak
diserahkan ke pada ibunya. Sebab dalam mengasuh dan mendidik anak dibutuhkan
kesabaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi, dan dengan diserahkannya hak
mengasuh anak kepada fihak perempuan berarti diakui adanva sifat-sifat
tersebut pada diri perempuan.
Jadi dalam Islam, perkawinan itu digarnbarkan sebagai
persekutuan antara dua pihak dengan penuh kedamaian dan kasih sayan.
Masing-masing mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya. Sebagaimana
laki-laki memiliki hak atas perempuan, perempuan memiliki hak atas laki-1aki.
Demikian juga perempuan memiliki kewajiban terhadap laki-laki, laki-laki juga
memilikin kewajiban terhadapwanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar