Jakarta Tidak hanya Indonesia, tuntutan pemberlakuan syariah Islam dalam
hukum umum (mu’amalah) oleh negara kini
tampaknya menjadi fenomena umum di daerah-daerah atau negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam . Gejala ini sebenarnya
bukan baru sama sekali. Dalam hukum keluarga
(akhwal asy-shahsiyah) bahkan sudah berjalan sangat lama, dimana hukum
Islam diakomodir dalam hukum nasional dalam suatu system nastion-statedan negara
sekuler. Penjajah Belanda sendiri memfasilitasi Muslim Hindia-Belanda suatu
birokrasi untuk pelayanan itu yang disebut Jawatan Agama Islam yang kemudian
tugasnya diambil oleh Kementrian Agama pada paska kemerdekaan hingga
kini(Hooker, 2008, hlm. 9-18).
Bahkan di Eropa pun kini tuntutan dalam bidang
itu mulai muncul cukup kuat seperti terjadi di Inggris baru-baru ini. Namun sejak penjajahan itu pula, mereka
memang melarang diberlakukannya hukum Islam dalam mu’amalah dan kriminal
Islam (jinayah). Kebijakan seperti itu
berjalan sampai kini. Bahkan di masa Orde Baru, duplikasi kebijakan penjajah
itu diberlakukan secara otoriter. Hukum keluarga diakomodasi oleh penjajah dan
bahkan difasilitasi di samping karena dianggap telah menjadi adat setempat juga
disebabkan karena tidak akan menggoncang dan mengganggu politik
penjajahan. Ini berbeda dengan hukum
mu’amalah dan hukum kriminal yang di samping dianggap mengganggu kekuasaan
politik penjajah juga secara etis bertentangan dengan dasar filosofi hukum
Barat, misalnya tentang prinsip kesetaraan warga negara atau citizenship dalam
kerangka nation-state. Hukum mu’amalah dan hukum kriminal Islam nyaris
dihilangkan sama sekali dari praktik kemasyarakatan dan kenegaraan di dunia
Timur dan sepenuhnya digantikan dengan hukum Barat selama masa penjajahan
(Peters, 2005, hlm.103-109; Hooker, 2008, 3-6). Gejala tuntutan penerapan hukum mu’amalah
dan kriminal Islam by laws itu,
tampaknya merupakan konsekuensi logis dari demokratisasi dan bahkan globalisasi
serta kecenderungan masyarakat paska kolonial yang bangkit hendak mensejajarkan
diri dengan kelompok lain, khususnya Barat (Na’im, 2007, hlm. 15-40).
Kini disadari banyak orang bahwa dengan
peminggiran hukum mu’amalah dan kriminal Islam dalam masa yang panjang itu, justeru
berdampak pada kebekuan dan anti perubahan dan perkembangan terhadap hukum
Islam itu sendiri. Ia seperti, secara intelektual teoritis maupun praktis, tidak
lagi bersentuhan dengan Paper dipresentasikan pada The 9th Conference of
The Asia Pacific Sociological Association, Improving the Quality of Social
Life: A Challenge for Sociology, June 13 – 15, 2009, Discovery Kartika Plaza,
Kuta, Bali, Indonesia.
perkembangan
masyarakat namun tetap hidup dan diyakini oleh umat Islam bagai pusaka yang
tidak bisa dan tidak boleh berubah. Selama ratusan tahun hukum hukum itu
teraliensasi dari praktik hukum negara dan masyarakat sepanjang masa
kolonialisme (Peters, 2005). Namun pada
kenyataannya hukum-hukum itu tidak pernah mati, melainkan tetap hidup dan
dirawat dengan baik dalam pengkajian dan pergulatan di pusat-pusat pengajaran
agama Islam, seperti di pesantren di Indonesia atau di madrasah di berbagai
belahan masyarakat Muslim di seluruh dunia dan diwariskan terus menerus. Hukum
itu terpelihara dalam kitab-kitab kuno atau kitab kuning maupun kitab baru,
dipelajari dan diwariskan secara turun temurun namun tidak dikembangkan dan
tidak diusahakan untuk merespon perkembangan zaman serta berubah sesuai dengan
tuntutan masyarakat, kalaupun merespon sangat terbatas (Hooker, 2008, hlm.
43-83).
Hukum
yang memfosil dan statis seperti itulah yang tiba-tiba menyeruak di banyak
masyarakat Muslim memanfaatkan kesempatan dan keterbukaan kini. Dalam
perspektif perubahan dan masyarakat paska-kolonial, maka munculnya tuntutan
pemberlakuan hukum Syari’ah itu di satu sisi merupakan bagian dari tuntutan hak
atas budaya sendiri dalam kerangka dominasi budaya modern Barat. Ia merupakan
kelanjutan historis dari tuntutan kemerdekaan, nasionalisme, dan pertarungan
ideologi di masa lalu. Pertarungan itu kini tidak hanya dalam kerangka
berbasiskan ideologi Islam atau Timur-Barat (baca: modernisasi) yang abstrak
melainkan juga sistem yang terbangun di negara sendiri atau domestik bentukan
masa lalu dimana Barat merupakan unsur dominan.
Harus pula tidak diabaikan bahwa
maraknya tuntutan itu juga tidak terpisahkan dari peluang aktor-aktor
masyarakat yang berbasis pada masyarakat Islam yang sebelumnya teralienasi
bersamaan dengan hukum muamalah dan kriminal tersebut, untuk ikut dalam kancah
politik yang terbuka akibat demokratisasi. Pengalaman
keislaman mereka dalam kubangan hukum Islam yang statis dan nyaris beku, begitu
saja dihadapkan secara biner dengan perkembangan masyarakat yang begitu jauh
jaraknya, baik dari segi zaman maupun sistem dan materi hukumnya. Peluang itu memungkinkan
setiap orang dan aktor untuk ikut dalam kancah politik, semisal parlemen atau
parlemen daerah.
Maka, tuntutan
pemberlakukan Syariah itu pun lalu memunculkan wajah yang tidak seragam. Di
sisi lain, bersamaan dengan itu juga menunjukkan terjadi persaingan antara
hukum Islam yang ada di dalam warisan kebudayaan (turats) Islam yang tertulis
dengan hukum adat lokal setempat (Lukito, 2003, hlm. 17-31), dalam hukum
nasional yang mapan dimana Barat menjadi pewarna dominan. Dengan demikian, ada semacam dilema, di satu
sisi demokrasi dan keterbukaan selayaknya memberikan peluang kepada budaya dan
kelompok masyarakat seperti apapun warna aspirasinya harus diakomodasi dalam
sebuah sistem demokrasi. Tetapi di sisi yang lain, ada kenyataan bahwa budaya
itu tidak selalu sejalan dengan prinsip demokrasi itu sendiri, semisal tentang
persamaan warga negara di depan hukum atau prinsip citizenship dan hak asasi
manusia.
Bagaimanakan hal
ini ditangani, inilah tampaknya persoalan utama sekarang ini? Secara umum ada
dua cara bagi kalangan Islam untuk menjawab tantangan tersebut. Satu pihak
dengan melihat keseluruhan ke dalam system ajaran Islam, dan mengubah paradigma
bangunan hukum Islam sendiri atau Syari’ah sesuai tuntutan paradigma modern.
Seperti bisa dilihat dalam sejarah, maka hukum Islam lahir dan berkembang dalam
masyarakat tradisional yang bersifat paguyuban (Gemainschaft), suatu system
yang mendasarkan pada keterikatan anggota komunitas primordial etnis atau agama atau identitas lain (Na’im
2007, hlm. 65-73; Saeed, 2005, hlm. 37-40). Dari sanalah terbangun system
komunitas dar al-Islam(negara Islam)
yang diperhadapkan dengan dar al-harb (negara perang) atau dar assulh (negara
damai) dan seterusnya (Salim, 2008, hlm. 33-41).
Sebuah konsep
warga komunitas yang mendasarkan keanggotaannya pada kesamaan kepemelukan
agama. Dalam struktur masyarakat semacam itulah sesungguhnya pertama-tama hukum
Islam dibangun. Maka pilihan respon pertama ini, hendak mengubah keseluruhan
paradigma hukum Islam tradisional tersebut dan kemudian memasukkan kepada
paradigma modern atau system patembayan
(Gesellschaft)dalam suatu masyarakat di bawah system konstitusional nation-state
dan tatanan hukum internasional modern (Na’im, 1994; Saeed et. al.: 36-37).
Model ini tidak menolak keseluruhan materi hukum Islam yang kini tersimpan
dalam berbagai buku klasik maupun modern yang masih dipelihara, dipelajari dan
terus ditaati menjadi pedoman praktik kehidupan sehari-hari oleh umat Islam.
Tetapi penerapannya dalam system hukum dan negara harus dimasukkan dalam
paradigma tersebut.
Pada masyarakat nation-state, pandangan
kewargaan tidak lagi bisa didasarkan pada keanggotaan komunitas yang berbasis
pada agama tertentu melainkan pada kesamaan nasib bersifat nasional yang
didasarkan pada konstitusi (Anderson, 1999, hlm. 13-40; An-Na’im, 2007:65-78;
Saeed et. al.: 36-37 ). Mengikuti peradigma ini, bisa dan tidaknya diterapkan
sebuah hukum atau hukum Islam tidak hanya tergantung bagi keharusan
penerapannya karena ia diyakini berasal dari wahyu dan tidak bisa begitu saja
didasarkan pada klaim kepemelukan agama dalam suatu komunitas nasional,
melainkan harus didasarkan pada alasanlasan rasional atau public reason dalam
lingkup paradigma nation state tersebut (AnNaim, 2007:155-160).
Dengan demikian,
dalam paradigma ini, penerapan atau akomodasi hukum Islam itu tidak saja harus
didasarkan pada alasan dan proses demokrasi yang ada di dalam masyarakat
melainkan content (isi)nya tidak bisa bertentangan dengan prinsip dan realitas
nation-state, citizenship dan human rights. Hal yang sama harus pula
diberlakukan dalam konteks hukum internasional (An-Na’im, 1994). Dengan
demikian pula, seluruh warisan hukum Islam adalah bahan baku, bersamaan dengan
hukum Barat dan hukum adat setempat dan lainnya dalam system hukum nasional,
namun penerapannya harus dalam proses demokrasi dan mendasarkan pada
alasan-alasan publik dan tidak hanya mendasarkan pada alasan agama atau
kepemelukan agama.
Peters (2005, hlm 174-185),
misalmya, berpendapat bahwa hukum criminal Islam memberikan sumbangan etik yangsangat
tinggi terhadap hukum criminal modern Barat, tetapi sayangnya ia Paradigma
kedua adalah dengan mempertahankan paradigma hukum Islam semula dan mendesakkannya
ke dalam system hukum modern, baik secara ideologis maupun praksis. Ideologis
dalam arti menggantikan system nation-state yang pada asal-usulnya mengabaikan
kewargarganegaraa berdasarkan agama, etnis, jender dan sebagainya untuk
digantikan dengan keseragaman agama, yaitu Islam sebagai suatu system yang
formal.
Abul A’la
Maududi dan Sayyid Qutb adalah dua tokoh pemikirnya dan juga negara seperti
Iran, Pakistan dan Saudi Arabia adalah beberapa contoh dalam system ini. Pada model ini, maka semua produk harus bisa
diuji dengan ideology dan doktrin Islam yang otoritasnya ada para ulama ahli
fikih. Dengan demikian ulama memiliki otoritas tertinggi dalam keseluruhan
produk hukum dan juga kebijakan pemerintahan. Prosedur demokrasi bisa saja
diberlakukan, melainkan kata akhirnya harus berada di tangan para ulama
tersebut. Hukum Islam tidak bisa dipertanyakan dengan argumen public reason
melainkan dengan doktrin semula.
Jika hukum
semula haram atau halal atau lainnya, maka hukum dasar itulah yang dipakai. Sistem
modern hanya bertugas menerapkan hukum yang sudah jadi tersebut. Tentu kedua
pandangan di atas memiliki variannya sendiri-sendiri. Pada paradigma pertama
berprinsip pada system negara konstitusional modern, sedangkan praktiknya bisa
berbeda dari satu negara ke negara lain. Maka materi-materi hukum Islam bisa
saja dimunculkan dalam system itu asalkan mendasarkan pada public reason dan
tidak berimplikasi pada hal yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam
kewarganegaraan dan hak asasi manusia. Varian
ini, secara intelektual di dalam intern Islam sendiri, memungkinkan
mempertanyakan latar belakang doktrin hukum Islam yang akan dimunculkan, tanpa
mengabaikan tujuan asal dari penerapan hukum tersebut yang sering disebut
maqaasid asy-syari’ah (tujuan dari hukum itu).
Zakat, misalnya, yang dalam doktrin Islam
diharuskan semua oang Islam dengan batas kepemilikan harta tertentu (nishab)
harus mengeluarkan 2,5 persen, maka bisa dipertanyakan jumlah prosentasenya
mengingat kesenjangan pendapatan di era modern sekarang ini dan kriteria
pembayar zakat (muzakki)serta penerima zakat (mustahiq).
tidak
dikembangkan lebih lanjut, dan justeru dihambat perkembangan dan digantikan
secara total oleh hukum Barat di masa lalu. Peters tidak mengabaikan
kemungkinan memunculkan lagi hukum kirminal Islam melainkan dengan
menyelaraskan dulu dengan prinsip-prinsip citizenship dan HAM.
Zakat profesi bagi para professional,
misalmya, masih menjadi perdebatan baik keharusan maupun jumlah
prosentasenya. Apakah zakat bisa
didistribusikan kepada non-Muslim dan distribusi yang bersifat sustainable,
juga masih mengundang perdebatan. Pertanyaan ini muncul ketika hukum zakat itu
akan diakomodasi oleh negara dan pengurusannya ditangani oleh negara atau
pemerintah. Berbeda ketika zakat tetap ditangani oleh masyarakat Islam secara
volunteer, maka hal itu sangat tergantung dari kesepakatan komunitas dan para
pemimpin agama itu sendiri, baik kriteria, distribusi maupun penggunaannya.
Sedangkan inti dari paradigm kedua adalah penerapan hukum Islam harus
mendasarkan pada doktrin semula, tetapi terjadi variasi di dalam penerapannya,
bisa dalam suatu ideology dan konstitusi Islam atau pun dalam suatu system
sekuler misalnya, asalkan mendasarkan pada doktrin semula. Dalam perbankan
Syari’ah, misalnya, pelaksanaannya tidak mengharuskan berada di bawah ideology
atau system negara Islam melainkan harus mendasarkan pada doktrin keharaman
bunga dengan alternative model sharing
keuntungan.
Dalam hal ini
hampir tidak ada peluang untuk mempertanyakan public reason semisal apakah
system pembagian keuntungan itu berimplikasi pada distribusi ekonomi lebih adil
atau tidak, bahkan jika dibandingkan dengan system bunga. Penerapan doktrin
anti bunga menggantinya dengan model sharing, misalnya system modhorobah, tidak
dikaitkan dengan public reason berupa keharusan keadilan distribusi dalam suatu
system ekonomi. Menurut Daniel E. Price, ada lima level kategori hukum Islam
dalam penerapannya (Salim dan Azra, 2003:11). Pertama adalah hukum privat
seperti hukum nikah, cerai, wakaf, dan sodaqah. Kedua, aturan masalah ekonomi
seperti perbankan dan bisnis lainnya. Ketiga, praktik keagamaan dalam arena public seperti keharusan
perempuan memakai jilbab, larangan minum alcohol, judi dan praktik kehidupan
lain yang tidak sesuai dengan standar moral Islam. Keempat, criminal Islam
seperti hudud, serta kelima, menggunakan Islam sebagai dasar negara.
Berbagai regulasi daerah yang muncul melalui
Perda (Peraturan Daerah)dan juga regulasi nasional yang masih dalam antrian
pembahasan, masuk dalam salah satu dari lima kategori versi Price tersebut.
Masing-masing dari kelima level tersebut bisa diuji dengan prinsip-prinsip
paradigma nation state dan HAM dan juga bisa diuji dengan paradigma doktrin
Islam. Meskipun hukum privat Islam sudah diterapkan ratusan tahun toh dalam lingkup nation state masih ada
berbagai perdebatan yang terus berlangsung, misalnya tentang kebolehan dan
tidaknya pernikahan antar agama dalam lingkup Secara kuantitatif, Robin Bush
telah menghitung jumlah Perda syariah ini, misalnya, berjumlah sekitar 78
Perda, di 52 Kabupaten dan Kota, tidak termasuk SK Bupati, Walikota dan Gubernur
dan draf yang belum diputuskan oleh DPRD. Robin L. Bush, , 2007, “Regional
‘Shari’ah’ Regulation in Indonesia: Anomaly or Symptom?” Makalah
dipresenatsikan pada forum Indonesia Update September 2007 di ANU, Camberra
(tidak diterbitkan).6UU No. 1 thaun 1974.
Penerapan regulasi syari’ah Islam di Indonesia
yang marak melalui Perda di samping memiliki aspek positif misalnya makin
berkurangnya menimuman keras yang diperjual belikan secara bebas, juga
menimbulkan aspek negatif karena berefek pada makin menciutnya kebebasan
berekspresi dan berpendapat, pemaksaan terhadap warga negara dalam hal privat
seperti masalah pakaian, pembatasan peran public perempuan dan juga berdampak
diskriminatif terhadap perempuan dan warganegara non-Muslim (Sukron dan
Chaider, 2007:145-214). Beberapa temuan dalam riset WImemunjukkan bahwa
lahirnya berbagai perda bernuasa agama di satu pihak menunjukkan bagian dari
dinamika politik yang tidak lepas dari pengaruh politik lokal, misalnya upaya
kelompok atau partai atau politisi atau penguasa tertentu untuk mendapatkan
simpati politik dari para pemilih atau rakyat dan mengamankan posisi politik
tertentu.
Di sisi lain ia juga menunjukkan lemahnya para
politisi dan penguasa tersebut serta civil society sendiri dalam merumuskan
masalah-masalah dan tantangan penting lokal dan kebutuhan masyarakat yang
mendesak untuk segera ditangani. Jilbab, misalnya, oleh sebagian politisi dan
bahkan tokoh civil society, dianggap sangat mendesak karena ancaman moralitas
bangsa ketimbang kemiskinan dan pendidikan. Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan
bahwa, secara ideal maraknya regulasi tersebut bukan merupakan akumulasi dari
kekuatan politik yang membahaykan sendi-sendi bangsa seperti dasar Negara
Pancasila dan UUD 1945. Namun secara material UU tersebut cenderung akan
menganggu dan beberapa di antaranya bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi seperti ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan
beragama, berefek diskirminatif terhdap perempuan dan non-Muslim. Memang, jika
prinsip-prinsip tersebut terakomodasi ke dalam hukum positif, maka akan sangat
sulit untuk mengembalikannya apalagi jika berkelindan dengan kekuasaan
otoritarian Dari sudut internal Islam sendiri juga menunjukkan masih kuatnya
paradigmna ideologis dalam memandang hukum Islam dalam muamalah dan jinayah dan
bukan ibadah (ritual) ketimbang menempatkannya sebagai pemecah masalah
masyarakat kekinian.
Maka, maraknya regulasi bernuansa
agama tersebut di satu pihak tidak
WI pada tahun 2008 melakukan riset hanya di Pulau Jawa, yaitu di
Pasuruan (Perda tentang Ramadhan), Jombang (Perda Anti Pelacuran), DI
Yogyakarta (Raperda Jilbab tapi batal), Surakarta (terus dalam perdebatan dan
belum terealisasikan), Cianjur Jawa Barat tentang Gerbang Marhamah, sertaTasikmalaya
dan Banjar yang juga masih dalam perdebatan di dalam masyarakat maupun di
parlemen daerah.
perlu
ditempatkan dalam suatu tantangan besar yang menyita seluruh perhatian dan
tenaga para gerakan pro demokrasi. Tetapi secara materi hukum (perda) harus
menjadi perhatian serius dan ditangani secara kasuistik. Model-model respon
terhadap fenomena demikian bisa menjadi pelajaran demokrasi yang berharga dan
riil bagi masyarakat kita di Indonesia. Bahan Bacaan Anderson, Benedict, 1999, Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan
tentang Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme (terj.), Yogyakarta, Pustaka
Pelajar. An-Na’im, Abdullahi Ahmed,
1994, Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan
Hubungan Internasional dalam Islam,
REFERENSI
(Yogyakarta: LKIS. Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa
Depan Syariah, Bandung: Mizan. Fealy, Greg and Hooker, Virginia, 2006, Voices of Islam in Southeast Asia, A
Contemporary Source Book, Singapore,
ISEAS. Kamil, Syukron dan Bamualim, Chaider
S., 2007, Syari’ah Islam dan HAM, Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan
Sipil, Hak-hak Perempuan, dan NonMuslim, Jakarta, CSRC-KAS. 8Peters, Rudolph,
2005, Crime and Punishment In Islamic
Law. Theory and Practice from the Sixteenth to the Twenty-first Century,
Cambridge, Cambridge University Press.
Ribon L. Bush, 2007, “Regional ‘Shari’ah’ Regulation in Indonesia:
Anomaly or Symptom?” Makalah dipresenatsikan pada forum Indonesia Update
September 2007 di ANU, Camberra (tidak diterbitkan). Rumadi dkk, 2008,
“Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi Indonesia, STudi Kasus di Beberapa
Kota di Pulau Jawa” Laporan Penelitian the Wahid Institute (tidak
diterbitkan). Saeed, Abdullah Saeed and
Saeed, Hassan, 2004, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, England, Ashgate
Publishing,.Salim, Arsekal, 2008, Challenge the Secular State, The Islamization
of Law in Modern Indonesia, Honolulu, University of Hawai’i Press. Salim,
Arsekal dan Azra, Azyumardi (ed.), 2003,
Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore, ISEAS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar