Syafa’at Nabi s.a.w Di Dunia
Semua orang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya pasti akan masuk Surga, bahkan dengan iman
seberat atom sekalipun. Hal tersebut merupakan janji Allah yang tidak
diingkari. Namun, untuk dapat masuk surga dengan selamat tanpa singgah di
neraka, orang tersebut harus mampu menyempurnakan imannya di dunia. Iman yang
tidak sempurna berarti ada kotoran di dalamnya. Kotoran tersebut boleh jadi
berupa dosa yang belum diampuni atau tapak tilas perbuatan maksiat yang
membentuk menjadi karakter yang tidak terpuji, seperti hubbud dunya,
iri, hasud, nifak dll. Apabila karakter-karakter tersebut belum mampu
disucikan di dunia sehingga terbawa sampai mati, berarti orang tersebut mati
dalam keadaan iman tidak sempurna. Untuk menyempurnakan imannya, berarti
terlebih dahulu mereka harus dibakar dengan api neraka. Jadi orang beriman
dimasukkan Neraka itu bukan untuk disiksa, tetapi disucikan imannya supaya
pantas menjadi penduduk Surga.
Seandainya
dengan bekal iman tersebut mereka mau berusaha mendapat syafa’at Rasul s.a.w
sejak di dunia, maka mereka akan mendapatkan hidayah dan inayah dari
Allah s.w.t. Itulah ‘syafa’at Nabi di dunia’, dengan hidayah dan inayah
itu menjadikan manusia mampu melaksanakan kewajiban agamanya dengan baik.
Dengan demikian, disamping mereka akan mendapatkan pahala dari segala kebajikan
yang telah dikerjakan, juga mendapatkan syafa’at di akhirat. Itu bisa terjadi,
karena setiap manusia akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang mereka
usahakan. Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا
سَعَى(39)وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى(40)ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى
– 41
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.- Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan
(kepadanya).- Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling
sempurna.QS.an Najm(53)39-41)
Maksudnya,
barangsiapa di dunia tidak pernah berusaha mendapatkan syafa’at Nabi s.a.w
dengan jalan bertawasul kepada Beliau, berarti sedikitpun tidak akan mendapatkan
syafa’at tersebut di akherat. Jika mereka itu mati dalam keadaan iman sempurna
berarti akan masuk surga dengan selamat, namun jika tidak, berarti tidak ada
yang dapat menolong saat mereka dimasukan neraka. Namun, tanpa syafa’at Nabi di
dunia, barangkali tidak mungkin orang dapat menyempurnakan imannya sehingga
dapat masuk surga dengan selamat.
Bertawasul
dalam arti melaksanakan “Interaksi ruhaniah” antara seorang murid dengan
guru-guru ruhaniyahnya sampai dengan kepada Rasulullah s.a.w. Tawasul tersebut
dilakukan dengan tujuan untuk tercapainya kebersamaan rasa dan nuansa secara
ruhaniah di saat melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Hal itu melaksanakan
perintah Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu
bersama-sama dengan orang yang shiddiq”. (QS.at-Taubah: 9/119)
Bersama-sama dengan orang yang shiddiq secara ruhaniyah, itulah yang dimaksud dengan interaksi
ruhaniyah. Hal tersebut merupakan kondisi yang memang bisa
dimungkinkan, sebagai sunnatullah yang tidak ada perubahan lagi untuk selamnya.
Orang yang hidup di alam dunia, dengan matahatinya dapat
berinteraksi dan berkomunikasi secara ruhaniyah dengan
orang-orang yang hidup di alam barzah, karena kemungkinan itu dinyatakan Allah
dengan firman-Nya:
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang yang gugur di jalan Allah
(mereka itu) mati, bahkan mereka (sebenarnya) hidup, akan tetapi kamu tidak
bisa merasakan”. (QS.al-Baqoroh: 2/154)
Setiap orang
melaksanakan perintah Allah berarti beribadah dan setiap ibadah yang ikhlas pasti
mendapatkan pahala, maka pahala pertama yang diberikan kepada orang yang
melaksanakan ‘tawasul secara ruhaniah’ adalah mendapatkan ‘rahasia syafa’at’
dari yang ditawasuli, yakni dari Rasulullah s.a.w. Rahasia syafa’at tersebut
berupa kemudahan di dalam melaksanakan ibadah maupun penerimaan ibadah itu di
sisi-Nya. Itulah juga yang dimaksud dengan syafa’at Nabi di dunia. Dengan
syafa’at di dunia tersebut, sehingga interaksi ruhaniyah antara seorang
pengikut dengan yang diikuti dapat terkondisikan dengan mudah, maka seorang
salik dapat merasakan manisnya beribadah karena ibadah itu dapat dilaksanakan
dengan khusu’. Amaliah tersebut menjadi ibadah yang mampu menangkis segala tipu
daya setan dan dorongan nafsu syahwat serta aktifitas rasional yang melalaikan.
Dengan yang demikian itu maka do’a dan munajat seorang hamba mendapatkan ijabah
dari Allah Ta’ala.
Kebanyakan
orang mengartikan istilah ‘mati’ di dalam ayat di atas terjebak secara leksikal
yakni sebagai ‘batas perpisahan’ antara alam kehidupan dan alam kematian.
Mereka mengira dengan mati itu akan dipisahkan dari apa-apa yang mereka cintai.
Akibatnya, semua orang menghindari kematian. Padahal, meskipun kematian itu
dihindari, apabila ajalnya sudah datang, sedikitpun tidak dapat diundur.
Sesungguhnya hakekat mati itu bukan batas antara kehidupan dan kematian, akan
tetapi batas antara dua alam kehidupan. Yang satu kehidupan di alam dunia dan
satunya di alam barzah. Masing-masing kehidupan itu sejatinya masih berkaitan
erat. Namun, oleh karena sebagian besar orang hidup di alam dunia tidak dapat
merasakan kehidupan alam barzah, maka batas pergantian dua kehidupan itu
dianggap oleh mereka sebagai terputusnya kehidupan atau mati.
Bagi orang
yang tidak percaya kehidupan akherat, sehingga kehidupan dunianya hanya
dirasakan sebagai kesenangan saja, maka saat matinya berarti akan dipisahkan
dengan segala kecintaannya, dan sesudah matinya akan dipenjara di dalam siksa
kubur yang diingkarinya. Hal itu bisa terjadi, karena kebebasan hidupnya sudah
dihabiskan hanya untuk memperturutkan kemauan nafsu syahwat belaka, maka di
alam barzah sudah tidak ada lagi kebebasan baginya.
Adapun orang
yang beriman dan beramal sholeh serta yakin dengan kehidupan akherat, sehingga
kehidupan dunianya hanya dijadikan sebagai perladangan untuk hari akherat, maka
setelah matinya berarti memasuki saat panen. Di alam barzah itu mereka akan
menuai apa-apa yang selama ini ditanam di dunia. Mereka akan memasuki
kemerdekaan hidup karena selama di dunia kemauan nafsu sahwatnya dipenjarakan
oleh kepentingan akherat. Di alam kemerdekan itu akan terbuka peluang
baginya,—sebagai sunnatullah yang sudah ditetapkan—mereka dapat bertemu dan
berkomunikasi dengan teman-temannya yang masih hidup, hanya saja sebagian besar
orang yang ditemui itu tidak dapat merasakan kehadiran mereka.
Interaksi
ruhaniah tersebut
adalah buah ibadah—sebagai bagian dari syafa’at Nabi yang diturunkan di dunia.
Ketika seorang hamba mampu meredam kemauan dan kemampuan basyariah, itu
dilakukan saat dia berdzikir dan beribadah, dengan izin Allah matahati
yang ada di dalam rongga dada dapat merasakan kejadian-kejadian yang
tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Allah s.w.t yang menciptakan sunnah-Nya,
maka hanya Allah pula Yang Maha Kuasa untuk menciptakan perubahan sunnah itu
bagi seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar