STOP GRATIFIKASI KUA

STOP GRATIFIKASI KUA

Kamis, 04 Juni 2015

LIBERALISME



Di awal kemerdekaan Indonesia semangat jihad melawan penjajah begitu kental. Seruan untuk mengusir penjajah berkobar dari pesantren. Kalangan santri menjadi pelopor dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tak heran bila di awal berdirinya negara Indonesia, berbagai seruan yang mendukung untuk dibentuknya negara Islam bergaung cukup signifikan. Ini dibuktikan dengan besarnya jumlah dukungan pada partai politik Islam yang mendukung konsep negara Islam. Masyumi, NU, PSII dan semua kaum muslimin yang berafiliasi pada santri saat itu mendukung gagasan negara Islam.

Sayangnya kaum Muslimin miskin politikus maupun negarawan, sehingga sikap akomodatif dan toleransinya dalam pemerintahan dimanfaatkan segelintir orang untuk membelokkan kemerdekaan ke arah demokrasi. Meski tokoh nasional seperti Natsir, Syafruddin, Roem, dan beberapa tokoh Masyumi pada awal kemerdekaan itu hampir tidak ada yang menulis demokrasi liberal. Mereka tahu apa bahaya pemikiran demokrasi liberal. Namun, mengingat lemahnya kekuatan politik kaum Muslimin, mereka terpaksa menerima label demokrasi selama mengadopsi Islam.

Meski demikian, di bawah tekanan orde lama, kekuatan Islam mengalami pergeseran setelah transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, khususnya pada pemikir liberal seperti Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, dan lain-lain. Mereka menyerang paradigma politik Islam, dengan label-label demonologis. Meski sebetulnya hal itu sudah dimulai oleh Munawir Sadjali. Pada tahun 50-an dia menulis risalah kecil yang menolak negara Islam. Sebagai gantinya, para pengusung liberalisme ini gencar menggembar-gemborkan euforia demokrasi dari barat.
Guna menggeser gerakan syariah, Luthfi Assyaukanie mendikte bahwa demokrasi tidak akan pernah berjalan kecuali di atas platform negara sekuler: negara yang betul-betul memisahkan urusan agama dengan negara. Sehingga peran Islam dalam mengatur hukum pemerintahan perlu dimarjinalkan. Setelah tahun 80-an, dua tokoh liberal Cak Nur dan Gus Dur mulai mengkritisi negara yang terlalu ikut campur dalam urusan agama.
Meski ide sekulerisme ini banyak menimbulkan kontroversi, mengingat masih kuatnya akar budaya santri di tingkat akar rumput, namun media massa mampu membuat mereka ditokohkan dan terpublikasi. Luthfi mengklaim, “Sama seperti orang-orang Masyumi dan kaum santri pada tahun 50-an belum bisa menerima demokrasi, dan tidak bisa menolak konsep negara Islam. Sekarang ini hampir tidak ada orang yang mau menerima negara Islam. Artinya berbalik 180 derajat.”
Keberhasilan gerakan liberal dalam menggeser ide Islam ini tak luput dari dukungan media massa dan beberapa organisasi penyokong dana dari Barat seperti TAF dan universitas-universitas yang menyediakan beasiswa bagi Muslim yang berawasan liberal. Di Indonesia, Adian Husaini mengkategorikan beberapa modus gerakan liberalisme, mulai yang disebut sebagai “eceran”, yakni melalui media massa, maupun yang “partai” yakni tersistem dalam perguruan tinggi. Berarti tahapan liberalisasi Islam sudah hampir mencapai klimaksnya: sekulerisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar