I.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pernikahan disyari' atkan oleh Islam sebagai. salah satu usaha
untuk menjaga kesucian keturunan serta menjadi kunci ketenteraman masyarakat
yang diwujudkan dalam keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmah.
Sehingga keliru apabila masih terdapat pandangan bahwa pernikahan disyari' at
kan hanya untuk melegalkan sesuatu yang sebelumnya dilarang, yaitu hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan, yang dengan adanya pernikahan hubungan
tersebut menjadi halal. Apabila hal itu dikatakan sebagai salah satu dari
tujuan pernikahan, maka dapat dibenarkan dan memang pada kenyataannya hanya
pernikahan lah satu-satunya cara yang dapat ditem puh untuk sahnya hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan.
Tetapi apabila menganggap bahwa tujuan pernikahan semata-mata
hanya urusan sex maka akan muncul dampak negatif yang justru bertentangan
dengan tujuan disyari' atkannya pernikahan itu sendiri. Tetapi seperti itulah
kenyataan yang terjadi, hampir semua Imam Mazhab dan para pengikutnya
mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang menghalalkan hubungan
seksual antara laki-laki dan perempuan.
Sedikit
di antara para fukaha yang mencoba mendefinisikan pernikahan dengan
pendekatan dari berbagai segi. Akibat selanjutnya dari kesalahan konsep
pernikahan adalah munculnya berbagai paham yang mencoba merumuskan hakekat
pernikahan yang hanya didasarkan nada kepentingan biologis semata. Padahal
apabila dihayati cecara mendalam, banyak fungsi dan tujuan yang dapat
ditemukan dari pernikahan tersebut.
II.
PERUMUSAN POKOK
MASALAH
Para ulama mazhab empat Hanafi, Syafi' i., Mali.ki dan Hambali-
telah sepakat mengharamkan nikah mut:' ah untuk selamanya. Hal itu didasarkan
dalil-dalil yang dipegangi dan diyakini kevalidannya oleh mereka. Tetapi,
sekali lagi penulis kemukakan, bahwa tulisan ini tidak akan membicarakan
dalil-dalil yang dikemukakan baik oleh ulama Syi' ah maunun Sunni.Kita sebagai
pengikut mazhab ahlus-sunnah wal-jamaah tentu saja mengikuti pendapat
ulama-ulama yang kita jadikan panutan, tetapi tidak ada salahnya kalau kita
mencoba mengkritisinya dari sudut pandang lain sehingga nantinya akan menambah
keyakinan kita bahwa nikah mut' ah itu tidak sesuai dengan ajran Islam dan
haram hukumnya. Atau paling tidak, kita bias faham dimana letak keharaman nikah
mut’ah tersebut.
III.
PEMBAHASAN
Nikah Mut' ah merupakan salah satu isu kontroversial yang sangat mendasar antara golongan Sunnah dan
Syi' ah disamping isu tentang Imamah (kepemimpinan). Sehingga setiap kali
muncul hal-hal yang berkaitan dengan nikah mut' ah maka kita tidak bisa
melepaskan diri dari "membicarakan" golongan syi' ah, yang dengan
berbagai macam argumentasinya masih tetap menghalalkan nikah mut' ah. Penulis
tidak akan membicarakan tentang valid atau tidaknya argumen-argumen yang dikemukakan
oleh saudara-saudara kita golongan Syiah, sebab
hal itu berka itan dengan masalah ijtihadiyah, yang tentu saja peran akal pikiran
sangat dominan sehingga berakibat subyektifitas manusia sangat mempengaruhi
hasil ijtihad tersebut. Di sini hanya akan dikemukakan nikah mut' ah dengan
berbagai aspeknya dan pandangan penulis sendiri yang akan mencoba melihatnya
dari sudut pandang yang lain, bukan dari dasar hukum sebagaimana yang selama
ini dijadikan pangkal perse lisihan.
Informasi tentang nikah mut' ah yang selama ini kita peroleh
kebanyakan bukan dari sumber pertamanya, yaitu para fukaha syi'ah, tetapi
hanya berasal dari fatwa-fatwa ulama non Syi'ah yang tentu saja tidak sejelas
dan serinci apabila kita menerima informasi secara langsung dari sumber utamanya.
Dan kita juga tidak tahu apakah konsep nikah mut' ah yang dikemukakan oleh para
ulama non Syi'ah itu benar-benar sama sebagaimana konsep nikah mut'ah yang
dipahami golongan Syi'ah, ataukah hanya bagian-bagian tertentu saja yang sampai
kepada kita. Untuk itu penulis akan mengemukakan pengertian tentang nikah
mut'ah dan berbagai aspeknya dengan mengutip secara langsung dari seorang
fukaha Syi'ah kenamaan,yaitu Sayyid Abdul Husain Syarafuddin Al Musawi, yang
dengan panjang lebar telah menjelaskan tentang nikah mut'ah dalam kitabnya Al-Fushul
Al-Muhimmah Fi Ta' lif Al-Ummah.
Nikah mut' ah itu terdiri dari dua kata , yaitu nikah dan mut' ah.
Untuk kata "nikah" tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut, yang
agak memerlukan penjelasan sedikit adalah kata mut' ah. Arti asal kata mut' ah
ialah sesuatu yang dinikmati atau diberikan untuk dinikmati. Misalnya benda
yang diberikan sebagai ganti rugi kepada isteri yang telah diceraikan, demikian
juga kata kerja tamatta' dan istamta'a berasal dari akar kata yang sama,
yang berarti menikmati atau bernikmat-nikmat dengan sesuatu. Haji tamattu'
disebut demikian karena memberikan kemudahan ( kenikmatan) bagi yang
mengerjakannya
Sedang pengertian nikah mut' ah menurut golongan SyIah ialah
anabila seorang wanita mengawinkan dirinya dengan anda dalam keadaan tidak ada
hambatan apa pun (pada diri wanita tersebut) yang membuatnya haram dinikahi,
sesuai dengan aturan agama. Baik yang berupa hambatan nasab, hubungan ipar,
persesusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain, iddah, atau lain-lain sebab
yang merupakan hambatan yang ditetapkan dalam agama, misalnya bila wanita itu
pernah dinikahi oleh ayah anda atau ia adalah saudara isteri anda yang
sekarang atau adanya hambatan lainnya. Wanita itu yang bebas dari
hambatan-hambatan di atas dapat menikahkan diri nya kepada anda, dengan mahar
tertentu sampai batas waktu yang telah ditentukan dan disetujui bersama, dengan
cara akad nikah yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya menurut syari'
at . Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya, wanita
itu mengucapkan: "Engkau kukawinkan... ," atau "Engkau
kunikahkan... ," atau "Engkau ku -mut' ah-kan... ," atas diriku,
dengan maskawin "sekian", selama "sekian" hari, bulan atau
selama masa tertentu yang harus di sebutkan dengan dengan pasti. Kemudian, anda
harus segera tanpa diselingi ucapan apapun men jawab: " Aku terima" . Dalam akad ini, sebagaimana pada
akad-akad yang lain dibolehkan melakukan ijab qabul dengan cara mewakilkan kepada
orang lain, dengan selesainya akad tersebut, wanita itu men jadi isteri anda,
dan anda menjadi suaminya, sampai selesai atau berlalunya batas waktu yang
telah ditentukan pada waktu akad. Segera setelah berlalunya masa itu, secara
otomatis akad nerkawinan itu tidak berlaku 1agi, tanpa talak.sama seperti
halnya dalam akad sewa menyewa. Akan tetapi suami berhak memisahkan diri
dengannya sebelum habisnya masa tersebut, dengan menghibahkan masa yang tersisa
kepada wanita itu, dan bukan dengan talak. Hal itu sesuai dengan nasnas
khusus tentang hal tersebut. Setelah masa pernikahan mut' ah itu lewat atau
dihibahkan sisanya, maka bagi si isteri yang telah "dicampuri" diwaj
ibkan menjalani masa iddah selama dua quru' Atau selama empat puluh lima hari
bagi para wanita yang sudah mengalami menopause. Ketentuan ini sama seperti
bagi sahaya perempuan, sesuai dengan dalil.-dalil khusus mengenai hal itu.,
Tetapi apabila nikah mut' ah itu lewat atau dihibahkan kepada si isteri
sebelum ia "dicampuri" , maka tidak ada masa ° iddah yang harus
dijalani olehnya, sama seperti yang berlaku bagi isteri dalam pernikahan
"permanen" yang dicerai sebelum ia "dicampuri" .
Anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut' ah, baik laki-laki
atau perempuan, dinisbahkan kepada ayahnya sebagaimana anak-anak yang lain. Ia
adalah anak yang terhormat dari ayah itu yang sah, sehingga harus dipertautkan
dengan nasab ayahnya itu, sebagai pelaksanaan firman Allah SWT : Panggillah
mereka (anak-anak itu) dengan nama ayah-ayah mereka... (al-Ahzab: 5).
Di samping itu, si_ anak berhak menerima bagian harta peninggalan
dari ayah dan ibunya. Tidak ada perbedaan sedikitpun (bagi orang-orang yang
membolehkan nikah mut' ah) antara kedua anak, baik anak yang lahir dari kawin
mut' ah atau anak yang lahir dari perkawinan yang biasa, yang lazim terjadi
atas kaum muslim umumnya.Segala ketentuan yang berlaku terhadap anak, ayah dan
ibu ( pada perkawinan biasa) berlaku juga terhadap anak, ayah dan ibu dalam
perkawinan mut' ah. Begitu juga ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
hubungan kekeluargaan yang berkaitan dengan saudara (laki/perempuan),
kemenakan, paman, bibi dan sepupu secara umum.
Walaupun demikian, akad nikah mut' ah tidak mewajibkan adanya
hubungan pewarisan timbal balik antara kedua suami isteri, atau "pembagian
malam" (bagi suami yang beristerikan lebih dari satu orang) ataupun nafkah
bagi isteri yang dikawini secara mut' ah. Suami juga berhak melakukan ' azal
(demi mencegah kehamilan isteri) . Semua itu berdasarkan dalil-da1il khusus
yang berkaitan dengan hal itu, dan yang juga mengkhuskan hukum-hukum perkawinan
yang bersifat umum.
Demikian itulah nikah mut' ah yang dipahami oleh kaum Syi' ah
Imamiyah sebagaimana mereka simpulkan dari al-Qur' an dan as-Sunnah sebagai sesuatu yang dibolehkan untuk selama-lamanya.
(A. Syarafuddin Al Musawi, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Sy i' ah , 1989,
87-89 ) .
Dari prosedur, cara dan tata cara serta akibat hukum dari nikah
mut'ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh golongan Syi' ah di atas, Sayyid
Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah telah menyimpulkan hukum-hukum yang berkait
an dengan nikah mut'ah, yang di antaranya adalah:
1. Kalau mas kawinnya tidak disebut tetapi batas waktunya disebut ,
akad nikahnya batal, Tetapi kalau maharnya di sebutkan sedang batas waktunya
tidak disebutkan, maka perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
2. Tidak ada hukum untuk membuat syarat-syarat sebelum akad
nikah. Sekiranya disebutkan harus
dipatuhi.
3. Suami boleh mensyaratkan
bahwa ia akan mendatangi wanita itu pada
malam saja atau siang saja. Dan boleh juga disyaratkan bahwa ia akan
"mencampuri" wanita itu di luar faraj.
4. Boleh si suami mensyaratkan
bahwa ia akan mel;akukan 'azal tanpa izin wanita tersebut.
5. Anak yang lahir menjadi anaknya, walaupun ia melakukan ‘azal,
bahkan seandainya ia tidak mengakui anak itu, ia tidak dapat berdalil dengan
li'an.
6. Tidak ada talak dan tidak ada li' an.
7. Tidak ada hak pusaka mempusakai antara suami isteri.
8. Anaknya berhak mewarisi dari ayah dan ibunya, dan ayah / ibunya
juga berhak mewarisi dari anaknya.
9. Masa ' iddahnya dua kali masa haidl, bagi yang masih berhaidl.
Dan bagi wanita yang berhaidl tetapi telah berhenti haidlnya, maka masa '
iddahnya 45 hari. Sedangkan 'iddah wafat, menurut salah satu dari dua
ri.wayat, waktunya empat bulan 10 hari.
10. Tidak dibenarkan memperhaharui akad sebelum habis masa yang
telah ditentukan. Tetapi diperbolehkan apabila suami dengan ridlanya
menghibahkan sisa waktu kepada isterinya.
Itulah di antara ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan nikah
mut' ah sebagaimana yang dipahami golongnn. Syi'ah, yang tentu saja bagi kita
golongan Sunni terdapat hal-hal janggal dan sangat berbeda dengan kebiasaan
yang kita pahami.
Para ulama mazhab empat Hanafi, Syafi' i., Mali.ki dan Hambali-
telah sepakat mengharamkan nikah mut:' ah untuk selamanya. Hal itu didasarkan
dalil-dalil yang dipegangi dan diyakini kevalidannya oleh mereka. Tetapi,
sekali lagi penulis kemukakan, bahwa tulisan ini tidak akan membicarakan
dalil-dalil yang dikemukakan baik oleh ulama Syi' ah maunun Sunni.Kita sebagai
pengikut mazhab ahlus-sunnah wal-jamaah tentu saja mengikuti pendapat ulama-ulama
yang kita jadikan panutan, tetapi tidak ada salahnya kalau kita mencoba mengkritisinya
dari sudut pandang lain sehingga nantinya akan menambah keyakinan kita bahwa
nikah mut' ah itu tidak sesuai dengan ajran Islam dan haram hukumnya.
Sebagaimana diterangkan di atas, ada tiga hal pokok yang cukup di
jadikan dasar untuk menolak keabsahan nikah mut’ah. Pertama, adanya batas
waktu yang ditetapkan dalam nikah mut'ah. Salah satu tujuan disyari’atkannya
perkawinan adalah untuk, mewujudkan ketenteraman dan rasa kasih sayang antara
suami isteri yang dilandasi ketakwaan dan keimanan Kepada Allah, bukan atas
dasar nafsu birahi dan nafsu duniawiyah lainnya. Dalam bahasa al-Qur' an
dilukiskan dengan kata-kata indah, bahwa dengan perkawinan akan mendatangkan sakinah,mawadah
serta rahmah, sebagaimana firman Allah: “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Ar-Ruum,21 ) .
Penekanan ayat di atas adalah tentang tujuan perkawinan, yaitu
supaya antara suami isteri timbul rasa tenteram, rasa kasih dan sayang dalam
kehidupan keluarganya. Perasaan tentram ini hanya akan terwujud apabila
masing-masing pihak saling mencintai, saling memiliki dan konsekwen terhadap
tanggung jawabnya masing-masing. Di samping itu juga tidak adanya perasaan khawatir akan ditinggal
oleh pasangannya ,sebab sesuatu yang paling ditakuti dalam kehidupan suami
isteri adalah perpisahan, baik perpisahan yang sifatnya sementara ataupun
abadi. Apabila dalam kehidupan perkawinan seseorang selalu dihinggapi perasaan
khawatir, sudah pasti perasaan tenteram, rasa kasih sayang tidak akan terwujud
dalam keluarga itu. Dan ini bearti tujuan perkawinan yang sangat ditekankan
oleh al-Qur’ an itu tidak dapat tercapai Lantas, apabila tujuannya sudah tidak
mungkin tercapai, apakah perkawinan tersebut memilki arti ?
Berkaitan dengan hal itu kita bisa membuat penilaian terhadap nikah
mut` ah. Kalau perkawinan diliputi perasaan khawatir saja sudah menimbulkan
rasa tidak tenteram, bagaimana dengan nikah mut' ah yang sejak ijab qabul
sudah dibayang-bayangi akan putusnya ikatan perkawinan. Terlebih bagi pihak
perempuan, adanya hak suami untuk memisahkan diri dengannya sebelum habisnya
waktu yang telah disepakati benarbenar dapat dirasakan sebagai tindakan yang
biadab dan ti dak berper kemnnusiaan. Bagaimana tidak, setelah pihak laki-laki
merasakan manisnya cinta, menghisap madunya asmara, secara semena-mena
mencampakkan perempuan itu dengan mudahnya tanpa sedikitpun rasa kasihan,
apalagi sekedar hak-hak yang seharusnya ia terima. Hanya setanlah yang mampu
melakukan tindakan seperti itu serta manusia-manusia bejat yang berperilaku
setan yang hanya memuaskan nafsu birahinya .
Memang ada sebagian orang yang mengadakan helah dengan
mengatakan, "dari pada berbuat zina, apakah tidak lebih baik melakukan
mut’ah saja?” Memang, secara prosedural nikah mut’ah mungkin memenuhi
aturan-aturan syara’ (sebagai ulama berpendapat, ijab qabul nikah mut' ah tidak
sah sebab ada batasan waktu), dan berarti hubungan badan antara keduanya halal,
tetapi kalau hanya faktor penghalalan hubungan badan saja yang dijadikan
pegangan, bukankah sama dengan melegalkan pelacuran yang rnendapat legitimasi
hukum agama. Hal itu kan sama artinya dengan pelacuran yang memakai ijab qabul,
setelah tersalurkan hawa nafsunya, selesai pula urusan ijab qabul tanpa ada
akibat hukumnya. Di samping itu, orang yang berhelah seperti itu berarti lari
dari satu dosa ke dosa lain. Niat untuk menghindari zina memang baik, tetapi
akibat nikah mut' ah yang menyianyiakan wanita sampai menderita tidak lebih baik.
Kalau sama-sama ingin menghindari zina mengapa memilih nikah mut' ah sebagai
alternatif, bukan nijkah biasa yang lebih menjamin kehidupan kedua belah
pihak.
Kedua, berakhirnya ikatan perkawinan dalam nikah mutah dilakukan tanpa
talak. Ini merupakan kejanggalan kedua yang jelas bertentangan dengan ketentuan
syara' . Meskipun Islam membenarkan terjadinya perceraian, tetapi hal itu harus
ditempuh dengan cara-cara yang dibenarkan agama. Syari' at Islam membenarkan
perceraian jika memang terdapat alasan-ala-san yang kuat, misalnya karena
tujuan-tujuan perrkawinan sudah tidak dapat diwujudkan . Haram hukumnya
melakukan perceraian yang tanpa sebab atau alasan yang dibenarkan, sebagaimana
sabda Nabi Muhammad saw "Siapa saja perempuan yang minta cerai kepada sua
inya dengan tanpa sebab maka diharamkan baginya masuk surga” (HR. Ibnu Majah).
Dalam al-Qur' an juga menyatakan bahwa perceraian itu hendaknya
dilakukan dengan cara-cara yang baik, sebagaimana firman Allah: “Talak(yang
dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma' ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik”. (Al-Baqarah: 229)
Kemudian bagaimana halnya dengan nikah mut' ah yang putusan ikatan
perkawinan dilakukan tanpa melalui talak, Sedangkan untuk talak saja perlu menempuh
prosedur yang telah ditentukan oleh syari' at Islam. Sungguh merupakan suatu
tindakan keji, seorang perempuan yang sudah "diambil manfaatnya"
ditinggal begitu saja manakala pihak laki-laki merasa bosan dan tidak
membutuhkan dirinya lagi.
Di Samping itu, cara memutuskan ikatan perkawinan mut' ah, yang
kaum Syi' ah fahami seperti membatalkan akad sewa menyewa benar-benar
menjadikan seorang perem puan sebagai barang komiditi. Ketika seseorang
menghendaki sesuatu yang ingin dinikmati maka disewalah barang itu, tetapi
setelah selesai digunakan maka selesai juga ikatan sewa menyewa tersebut.
Apakah tindakan yang menganggap perempuan hanya sebagai pemuas nafsu dan obyek
seksualitas ini dibenarkan aleh agama? Jawabnya jelas tidak. Sebab Islam sangat
menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum wanita, yang harus dihormati hak.
Serta kedudukannya sebagai wanita. Dan perlu diketahui bahwa akad dalam akad
nikah hanya menimbulkan hak milik al-intifa' yaitu hak milik penggunaan
( pemakai) sesuatu benda, bukan hak milik al-rqaabah, yaitu memiliki
suatu benda, yang dapat dimiliki, dibuang atau diserahkan kepada orang lain,dan
juga bukan milik al-manfa' ah yang merunakan hak untuk memiliki atau
menggunakan manfa' at suatu benda, yang setelah selesai pemanfaatannya selesai
pula ikatan kepemilikannya.
Ketiga tidak adanya hubungan pewarisan timbal balik antara suami isteri,
Ini merupakan kejanggalan ketiga yang; akan penulis analisa, sebab sudah jelas
bahwa akad nikah itu menjadi sebab timbulnya hak waris-mewarisi. Dalam Syariat
Islam, perkawinan menjadikan seorang isteri sebagai syarikatur rajuli fi
al-hayati, yaitu sekutu seorang suami dalam menjalani bahtera hidup. Dengan
demikian antara suami isteri terjadilah syarikah abdan ( persekutuan
tenaga ) dan syarikah mufawwadlah (persekutuan tidak terbatas). Syirikah
abdan diwujudkan dalam usaha untuk mendapatkan nafkah hidup, yang dilakukan
bersama-sama antara suami isteri sedang syirkah mufawwadlah berwujud kerjasama
suami isteri dalam mendapatkan nafkah hidup itu tidak terbatas, yaitu apa saja
yang mereka hasilkan selama dalam perkawinan. Jadi jika selama perkawinan
diperoleh harta, maka harta ini adalah harta syirkah, yaitu harta bersama yang
menjadi milik bersama dari suami isteri, karena itu apabila ikatan perkawinan
putus baik meninggalnya salah satu pihak atau oleh perceraian maka harta ini dibagi antara soami isteri. Sedang
terhadap harta yang bukan syirkah, yaitu harta bawaan masing-masing suami
isteri, apabila salah satu puhak meninggal dunia maka akan menimbulkan hak
saling mewarisi dari kekayaan tersebut, tetapi apabila terjadi perceraian maka
tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap harta tersebut, artinyas tidak hak
untuk saling mewarisi.
IV.
KESIMPULAN
Dari keterangan sudah jelas bahwa tidak adanya hubungan pewarisan
timbal balik antara suami isteri hanya berlaku bagi harta yang bukan syirkah
karena sebab perceraiian. Jadi apakah yang dimaksud tidak ada hubungan
pewarisan antara sumi isteri dalam nikah mut’ah hanya dalam kategori yang
terakhir ini, ataukah berlaku bagi keseluruhan kategori. Jika yang dikehendaki
hanya kategori yang terakhir, mungkin akibat hukum nikah mut’ah yang ketiga ini
dapat dibenarkan.
Tetapi kalau tidak adanya hubungan pewarisan ini berlaku secara
mutlak, secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa nikah mut’ah sebenarnya
tidak dapat dianggap sebagai nikah. Sebab sebagaimana diterangkan di atas,
bahwa akad nikah itu menjadi sebab timbulnya hak waris-mewarisi, kalau akad
nikah dalam nikah mut' ah tidak menyebabkan adanya hak waris-mewarisi, apakah
hal itu masih layak untuk disebut sebagai nikah atau tidak.
Itulah
di antara sisi lain nikah mut' ah yang menurut ukuran nalar masyarakat awam
akan menemukan kejanggalan-kejanggalan di dalamnya. Tetapi sekali lagi itu
hanya merupakan penilaian dari kita yang kebenaran atau kesalahannya bersifat
relatif, sedang kebenaran yang sesungguhnya hanyalah milik Allah. Jadi sudah
selayaknya kita serahkan saja persoalan ini kepada Allah seraya memohon
petunjuk agar kita selalu memperoleh taufik dan hidayah Nya. Wallahu A' lam
Bis-Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar