A. Abstrak
Dalam Islam
perkawinan merupakan suatu akad yang dengan akad tersebut hubungan antara
laki-laki dengan perempuan menjadi hubungan antara suami dengan isteri. Sesuatu
yang haram menjadi halal. Suatu perkawinan dianggap suci karena pelaksanaannya
didasarkan kepada tuntunan agama. Dengan tuntunan agama maka suatu perkawinan
menjadi sah, anak-anak yang lahir merupakan anak yang sah jesals sataus dan
nasabnya. Namum pada masa sekarang keberadaan lembaga perkawinan mengalami
tantangan yang besar. Diakuinya kawin
hamil sebagai suatu perkawinan yang sah menjadikan perkawinan seolah-olah
merupakan kelanjutan dari hubungan perzinaan yang terjadi. Sahnya kawin hamil
masih dipertanyakan, hal berkaitan dengan dalil-dalil yang dijadikan alasan
serta kemaslahatan yang diperoleh
menyebebkan kemadharatan yang luas.
Kata Kunci : kawin hamil,
illat hukum dan maqāshid as-syari’ah
I. Pendahuluan
Perkawinan
merupakan suatu lembaga yang terdapat pada setiap masyarakat, bahkan bukan
hanya pada manusia saja tetapi pada makhluk-makhlauk yang lain seperti binatang
bahkan tumbuhan . Perkawinan merupakan
sunnatullah. Dengan perkawinan ini kelangsungan dan kelestarian kehidupan akan
terjaga. Dengan perkawinan ini akan lahir keturunan sebagai generasi pada masa
yang akan datang.
Perbedaan
perkawinan pada manusia dan makhluk yang lain adalah dalam perkawinan manusia
terdapat norma serta aturan yang harus dipegang. Ketika norma dan aturan
tersebut dilanggar maka perkawinan tersebut dianggap sebagai perkawinan yang
tidak sah. Norma dan aturan ini penting bagi manusia karena manusia adalah
makhluk yang memeiliki kelebihan dibanding makhluk yang lain, manusia memiliki
akal, pikiran dan hati nurani. Berbeda dengan binatang, tidak ada norma dan
aturan yang berlaku bagi mereka. Perkawinan dilakukan dengan didasarkan kepada
insting dan nafsu.
Norma dan aturan
yang diberlakukan bagi manusia agar manusia tidak berlaku seperti binatang,
agar manuisa menjaga kehormatan dan
kemuliaannya. Dengan norma dan aturan itu pula manusia ditunjukan bagaimana
seharusnya suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan dilakukan, memiliki rasa tanggung jawab, mengetahui dan
melaksanakan hak dan kewajiban serta menjauhi larangan-larangan, serta untuk
menurunkan generasi yang memiliki nasab yang jelas. Hal-hal tersebut tidak ada pada binatang bahkan tidak diperlukan.
Sebagai makhluk
yang memiliki akal seharusnya menusia dapat mengendalikan nafsu (libido).
Hubungan seksual diluar nikah (zina) haruslah dihindari, sehingga kehamilan di
luar nikah tidak akan terjadi. Akibat negatif lebih lanjut adalah terjadinya
aborsi, pembuangan bayi bahkan penghilangan nyawa bayi. Terapi dalam
kenyataannya hubungan seksul di luar nikah terjadi, bahkan banyak terjadi,
bukan hanya di kalangan orang yang tidak berpendidikan bahkan di kalangan
pelajar dan mahasiswa sehingga terjadilah kehamilan di luar nikah.
Kehamilan di luar
nikah dianggap sebagai suatu aib baik bagi perempuan itu, keluarga bahkan
masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan untuk menyelamatkan diri, keluarga dan
masyarakat adalah dengan dilaksanakannya kawin hamil. Dengan terjadinya kawin
hamil ini maka anak yang akan lahir tersebut memiliki orang tua, bapak dan ibu,
sebagaimana anak-anak yang lain. Masa depan anak dan ibu juga akan terjaga.
Sebagian mayarakat
melihat fenomena kawin hamil dari sisi yuridis-formal. Kawin hamil
bukanlah sebagai suatu perkawinan yang dilarang. Kawin hamil merupakan sutu
tindakan yang legal dan sah menurut negara. Hal ini sesuai dengan pasal 53
Kompilasi Hukum Islam (KHI):
Pasal 53 ayat (1); Seorang wanita hamil di luar nikah
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
ayat (2): Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya.
ayat (3): Dengan dilangsungkannya perkawinan pada
saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Sebagaian yang lain
melihat, bahwa pasal 53 KHI merupakan bentuk legalisasi terselubung terhadap
perbuatan zina. Pasal tersebut memberikan peluang yang luas dan legal
terjadinya kawin hamil. Dan dalam kenyataan, terjadinya kawin hamil semakin banyak. Perzinaan
dianggap sebagai hal yang tidak perlu dipersoalkan karena tidak ada aturan
larangan zina. Lebih dari itu pemerintah telah memberikan jalan yang mudah
apabila terjadi kehamilan yaitu dengan kawin hamil.
Meskipun kawin
hamil secara yuridis telah ditetapkan kebolehannya, tetapi penulis
melihat sangat penting untuk mengkaji bagaimana pendapat serta dalil yang
dipakai oleh para ulama baik yang membolehkan ataupun yang melarangnya. Hal ini
semakin penting karena berkaitan juga dengan status anak yang lahir dari kawin
hamil tersebut. Selain kedua persoalan tersebut, tulisan ini juga akan menbahas
bagaimana tinjauan ‘illat hukum dan maqashid as-syariah terhadap kawin hamil.
II. Kawin Hamil
Kawin hamil
merupakan suatu perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan
perempuan yang sedang mengandung. Kawin hamil yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah perkawinan antara laki-laki dengan perempuan hamil sedangkan laki-laki
tersebut adalah orang yang menghamilinya atau suatu perkawinan yang dilakukan ketika
perempuan tersebut hamil karena perzinaan dengan laki-laki tersebut. Secara yuridis
kawin hamil seperti ini dibolehkan berdasarka
pasal 53 Kompilasi Hukum Islam
Kawin hamil
merupakan perkawinan yang terjadi dan di luar kebiasaan masyarakat, sehingga meskipun
sudah terdapat ketentuan dibolehkannya perkawinan tersebut dan dianggap sah
oleh negara, tetapi kawin hamil ini tetap menjadi persoalan yang belum
terselesaikan, bukan hanya tentang sah-tidaknya secara agama (Islam) tetapi juga tentang anak yang lahir dari
kawin hamil tersebut, nasahnya masih dipertanyakan.
Kawin hamil
dilakukan didasarkan kepada alasan kehamilan di luar nikah (karena zina) dengan
tujuan kebaikan dan kemaslahatan ibu dan
anak yang dikandungnya. Masa depan ibu
dan anak merupakan faktor utama terjadinya kawin hamil. Ketika perkawinan ini
tidak dilakukan maka aib dan perderitaan akan dialami ibu dan anak Lahirnya
seorang anak tanpa memiliki bapak merupakan kehinaan dalam hidup bermasyarakat,
kareaa masyarakat belum (tidak) bisa menerima anak tanpa bapak. Oleh karena itu
kawin hamil merupakan jalan penyelamat.
III. Pandangan Hukum Islam
terhadap perkawinan.
Dalam Islam,
perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci, yang mengatur bagaimana hubungan
laki-laki dan perempuan diwujudkan. Perkawinan dianggap suci karena
perkawinan bukan hanya semata-mata
hubungan keperdataan (muamalat) antara dua pihak lak-laki dan perempuan. Lebih
dari itu Islam memandang bahwa
perkawianan merupakan tindakan ibadah, sebagai sikap ketaatan makhluk terhadap
aturan-aturan yanh diciptakan oleh Sang Khalik, Allah SWT. Dalam al-Qur’an
perintah melakukan perkawinan antara lain adalah ayat;“ Maka nikahilah wanita
yang kamu sukai, dua, tiga atau empat. Kemudian apabila kamu takut tidak bisa
berbuat adil, maka kawinilah seorang saja”.[1]
Demikian juga dalam hadis disebutkan bahwa orang yang
benci untuk melakukan perkawinan, dia bukan umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
hadis
“ Nikah adaalh sunnahku, maka barang siapa yang membenci sinnahku,
dia tidak termasuk umatku”.[2]
Dalam Islam
ditetapkan syarat-syarat dan rukun perkawinan. Apabila syarat-syarat dan
rukun-rukun tersebut dipenuhi maka pertkawinan yang dialkukan adalah sah,
tetapi apabila tidak dipenihi maka perkawinan itu tidah sah. Dalam Islam juga
ditegaskan tujuan dari perkawinan, sebagaimana tercantum dalam ayat;
“Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan Allah, Dia menciptakan bagimu istri-istrimu dari jenismu
sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih dan sayang”.[3]
Tujuan perkawinan
kemudian dirumuskan sebagai berikut:
1. Mentatati perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
2. Memenuhi kebutuhan seksual (tuntutan naluruah)
3. Mendapatkan keturuan yang sah[4]
4. Menjaga manusia dari kerusakan dan kejahatan moral[5]
Perintah terhadap
perkawinan merupakan perintah kepada menusia untuk hidup dengan terhormat dan
tanggung jawab serta merupakan penolakan terhadap perzinaan. Perzinaan
merupakan tindakan yang tidak pantas untuk dilakukan oleh manusia, sehingga
Islam memasukannya dalam jarimah
(kejahatan) yang dikenai hukuman had[6].
F. Pandangan Ulama Terhadap Kawin Hamil
Kawin hamil dilihat
dari sisi kehamilan dapat dibagi menjadi dua ; Pertama adalah wanita
yang hamil dan melakukan perkawinan dengan laki-laki lain (bukan mantan
suaminya) pada masa ‘Iddah , baik ‘Iddah karena talak maupun karena suami
meninggAl dunia. Perkawinan seperti ini ketentuannya jelas yaitu diharamkan, karena perempuan itu
sedang menjalani ‘iddah hamil. Perkawinan itu baru bisa dilakukan apabila
perempuan tersebut telah melahirkan, sebagaimana ketentuan dalam al-Qur’an; “
Dan perempuan-perempuan hamil ( yang dicerai oleh suaminya) masa tunggunya
adalah sampai melahirkan” .[7]
Kedua adalah perkawinan
antara laki-laki dengan wanita yang hamil di luar pekawinan (karena perzinaan).
Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya/sahnya perkawinan ini:
1). Perkawinan dengan wanita hamil adalah sah.
Pendapat tentang
sahnya kawin hamil merupakan pendapat Imam as-Syafi’i[8] dan Abu Hanifah. Tetapi
Abu Hanifah mensyaratkan bahwa antara suamu-isteri tersebut tidak boleh
melakukan hubungan seks sampai isterinya melahirkan[9].
Menurut Imam
as-Syafi’i, wanita hamil diluar nikah (karena zina) apabila akan melakukan
perkawinan tidak memerlukan ‘iddah, karena ‘iddah itu ditetapkan bagi perempuan
yang sudah menikah, sudah berhubungan seks dan kemudian bercerai. Sedangkan
wanita hamil di luar nikah sama sekali tidak memiliki suami, sehingga tidak
perlu iddah.[10]
2). Perkawinan dengan wanita hamil tidak sah.
Pendapat ini
merupakan pendapat Imam Malik dan Ahmad, demikian juga Abu Yusuf (murid Abu
Hanifah). Perkawinan dengan perempuana hamil baru sah apabila dilaksanakan
setelah perempuan itu melahirkan, apabila dilaksanakan pada masa hamil maka
tidak sah. Dalil yang dijadikan dasar dari pendapat ini adalah ayat;” “ Dan
perempuan-perempuan hamil ( yang dicerai oleh suaminya) masa tunggunya adalah
sampai melahirkan.”[11] Demikian juga didasarkan
pada hadis Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan perempuan tawanan perang.
Nabi melarang para sahabat melakukan hubungan seks dengan perempuan-perempuan
tersebut sehingga perempuan-perempuan yang sedang hamil melahirkan dan apabila
mereka tidak hamil supaya menunggu satu kali haidh.[12]
G.Pandangan Ulama Terhadap Status Anak
Para ulama sepakat,
bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah.[13] Tetapi mereka berbeda
pendapat tentang terjadinya hubungan seks yang menjadikan anak adalah anak yang
sah dan dinasabkan kepada ayahnya (suami dari ibu);
Pertama, menurut Abu
Hanifah akad nikah yang sah semata-mata merupakan sebab tetapnya nasab anak,
meskipun setelah akad perkawinan antara suami isteri itu tidak pernah bertemu
sehingga tidak pernah melakukan hubungan seks, karena berjauhan. Apabila isteri
hamil dan melahirkan maka anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki yang
menjadi suami dari ibunya.
Kedua.
Menurut Imam as-Syafi’i dan Malik, bahwa seorang anak bisa dinasabkan kepada
suami dari ibunya apabila antara suami- isteri tersebut tidak ada halangan
untuk bertemu artinya terdapat kemungkinan keduanya bertemu dan melakukakan
hubungan seks sehingga isteri hamil dan melahirkan.
Ketiga,
menurut Ibn Taimiyyah, seorang anak dianggap sebagai anak yang sah dan
dinasabkan kepada suami dari ibunya apabila betul-betul telah terjadi hubungan
seks antara suami isteri tersebut setelah terjadinya akad nikah. Nasab haruslah
ditentukan dengan betul-betul telah terjadi hubungan seks bukan didasarkan pada
akad semata-mata .
Pendapat Ibn
Taimiyyah, menurut Abu Zahrah Merupakan pendapat yang dianggap paling kuat di
antara pendapat yang lainnya [14], dan merupakan pendapat
yang dipegang oleh mayoritas ulama.[15]
Berkaitan dengan lamanya
masa kehamilan, masa kehamilan dibagi mejadi dua yaitu masa paling sedikit dan
masa kehamilan yang paling lama;
1). Masa kehamilan minimal
. Masa kehamilan
yang paling sedikit menurut kesepakatan ulama adalah enem (6) bulan.[16] Masa enam (6) bulan ini
didasarkan kepada Surat al-Ahqaf (46) ayat 15, bahwa lamanya masa hamil dan
menyusui yaitu 30 bulan (tsalātsūna syahran). Sedangkan dalam Surat
Luqman (31) ayat 14 ditetapkan bahwa masa menyusui yang sempurna adalah dua (2)
tahun (āmain )atau 24 bulan ,
sehingga masa hamil paling sebentar disimpulkan enam (6) bulan.
Dari ketentuam
minimal enam bulan bagi suatu kehamilan dapat dijelaskan lebih lanjut:
Pertama,
Apabila seorang laki-laki dan perempuan
menikah kemudian hamil dan melahirkan dalam keadaan hidup dan sempurna dalam
waktu perkawinan kurang dari enam bulam, maka anak tersebut tidak dinasabkan
kepada laki-laki yang menjadi suami ibunya.[17]
Menurut Mazhab Hanafiyyah, masa minimal bagi kehamilan
juga enam bulan. Apabila laki-laki dan perempuan melakukan perkawinan kemudian perempuan itu melahirkan anak dan masa perkawinannya mencapai enam bulan
atau lebih, maka anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki tersebut. Tetapi apabila
anak tersebut lahir dalam masa perkawinan kurang dari enam bulan, diserahkan
kepada laki-laki tersebut. Dia boleh menolak anak tersebut dan juga boleh
mengakuainya sebagai anaknnya, tetapi dengan syarat anak itu bukan sebagai
hasil perzinaan. Kalau anak itu adalah hasil dari perzinaan maka anak tersebut
tidak dinasabkan kepada laki-laki tersebut.[18]
Kedua, Apabila
seorang perempuan dicerai oleh suaminya kemudian menikah dengan laki-laki yang
lain, kemudian dia hamil dan melahirkan tetapi waktunya kurang dari enam bulan
dari pernikahannya, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami yang pertama.
Tetapi apabila anak itu lahir pada masa perkawinan enam bulan atau lebih, anak
tersebut dinasabkan kepada suami ibunya yang kedua.
Ketiga. Apabila
seorang isteri dicerai kemudian menikah dengan laki-laki lain dan melahirkan
pada masa kurang dari enam bulan sejak dia berkumpul dengan suaminya dalam
perkawinan yang kedua, tetapi melebihi batas maksimal kehamilan sejak dia
berkumpul dangan mantan suaminya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada
mantan suaminya maupun suami yang kedua[19].
2). Masa kehamilan maksimal
Para ulama tidak
memiliki kesepakatan tentang masa kehamilan paling lama. Mereka berbeda
pendapat. Pendapat-pendapat tersebut adalah; Menurut Ad-Dhahiriyyah lamanya sembilan
(9) bulan, Muhammad ibn Abdillah ibn abd al-Hakim (Malikiyyah) lamanya
adalah satu tahun, Abu Hanifah menentukan dua tahun. Pendapatnya
didasarkan kepada pendapat ‘Aisyah, bahwa seorang anak tidak tetap dalam perut
ibunya melebihi dua tahun. Menurut Abu Hanifah pendapat ‘Aisyah bukanlah
pendapat diri ‘Aisyah sendiri, tetapi dia menerimanya dari Nabi. Menurut
Al-Laits ibn Sa’d lamanya tiga tahun, menurut as-Syafi’i lamanya empat
tahun, menurut Imam Malik lamamya lima tahun, menurut sebagian
Malikiyyah lamanya adalah tujuh tahun.[20]
Menurut Ibn Rusyd,
pendapat-pendapat di atas yang berbeda-beda tidaklah didasarkan kepada nash,
tetapi didasarkan kepada kejadian dan pengalaman yang terjadi yang
berbeda-beda. Menurutnya yang paling sesuai adalah sembilan bulan dan satu
tahun.[21]
H. ‘Illat Hukum: Alasan
Dalam Penetapan Hukum
Dalam ilmu
Uşūl al-Fiqh terdapat kaidah-kaidah yang menegaskan, bahwa suatu ketentuan
hukum bagi suatu peristiwa/persoalan tidak harus/mesti berlaku untuk selamanya
pada tempat dan waktu yang berbeda, artinya bahwa suatu hukum dari suatu
peristiwa yang secara dahir/ materi sama sangat mungkin hanya berlaku
untuk waktu, tempat dan keadaan tertentu ketika peristiwa itu terjadi, dan
ketentuan hukum itu harus dipertimbangkan lagi ketika akan diterapkan pada
waktu atau tempat yang berbeda, bahkan mungkin ketentuan hukum itu tidak cocok
sehinnga tidak berlaku dan harus dirubah. [22]
Menurut
Yūsuf al-Qardāwī, terjadinya perubahan hukum dengan dasar berbedanya kondisi
dan situasi hanya berlaku pada hukum yang disandarkan pada adat istiadat dan kebiasaan, karena adat
istiadat dan kebiasaan senantiasa
berubah sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Dengan perubahan adat dan
kebiasaan berubahlah suatu hukum. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku untuk
hukum-hukum yang disandarkan pada dalil-dalil syara’, karena dalil-dalil syara'
tidak dibangun di atas adat dan kebiasaan, contohnya hukuman qişāş
bagi seorang pembunuh yang melakukan
pembunuhan dengan sengaja sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur'an:
"Wahai orang-orang yang beriman biwajibkan kepada kamu sekalian
qisās, orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak,
wanita dengan wanita…"[23]
Hukuman qişāş didasarkan pada
dalil-dalil syara’ bukan adat dan kebiasaan. oleh karena itu dalam memahami
perubahan hukum karena perubahan keadaan harus dengan sikap yang hati-hati
sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman, bahwa semua hukum secara mutlak bisa
dirubah atau diganti karena perubahan atau perbedaan zaman, waktu dan tempat.
Dalam persoalan yang seperti ini
menurutnya, Ibn al-Qayyim memilih menggunakan istilah perubahan fatwa,
bukan perubahan hukum.[24]
Dalam ilmu
Uşūl al-Fiqh juga terdapat kaidah bahwa suatu hukum itu berjalan bersama sama
dengan ‘illatnya. Kaidah hukum seperti ini memberi petunjuk bahwa persoalan
‘illat merupakan persoalan yang sangat penting dalam rangka menetapkan suatu
hukum bagi suatu peristiwa sehingga terwujud suatu hukum yang benar-benar
memiliki dasar pertimbangan yang jelas. Persoalan ‘illat hukum harus mendapat
perhatian karena suatu peristiwa hukum meskipun memiliki kesamaan dengan
peristiwa yang lain tetapi tidak mesti memiliki faktor, unsur-unsur dan
penyebab yang sama, meskipun secara dahir bentuknya sama.[25]
Pada masa
awal Islam, masa sahabat Abū Bakar, terjadi peperangan antara Abū Bakar dengan
orang-orang Islam yang menolak membayar zakat, orang-orang yang murtad dan para
nabi palsu yaitu perang Yamāmah.[26] Padahal perang yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tidak pernah dilakukan terhadap orang yang
telah mengucapkan syahadat (masuk Islam), karena orang yang telah
mengucapkan syahadat darahnya terpelihara dan tidak boleh diperangi.
Tetapi Abū Bakar melakukan peperangan terhadap orang Islam yang mengingkari
untuk membayar zakat. Menurut Abū Bakar pengingkaran ini merupakan penolakan
terhadap Islam, karena orang yang sudah masuk Islam selain harus melakukan
salat juga harus membayar zakat. Kedudukan membayar zakat menempati tempat yang
penting dalam agama.[27]
Demikian
juga Umar ibn al-Khattāb suatu ketika menerapkan hukuman bagi seorang pencuri,
tetapi hukuman itu tidak sama dengan yang terdapat di dalam al-Qur’an, karena di dalam al-Quran
ditetapkan, bahwa seseorang yang melakukan pencurian harus dihukum dengan
potong tangan, sebagaimana ayat:
” Seorang pencuri laki-laki dan seorang pencuri perempuan, potonglah
kedua tangan mereka sebagai balasan atas apa yang mereka usahakan dan sebagai
hukuman dari Allah.”[28]
Pada saat itu 'Umar tidak menghukum
pencuri dengan potong tangan, karena Umar melihat bahwa pencurian yang
dilakukan adalah karena keterpaksaan, karena kemiskinan, untuk mempertahankan
hidup[29]sehingga apabila
diterapkan potong tangan akan mengantarkan kepada ketidakadilan.
Keputusan tersebut dilakukan karena
'Umar melihat bahwa ayat tentang potong tangan bagi pencuri adalah dalam
keadaan normal bukan dalam keadan keterpaksaan (darurat) seperti yang dilakukan
oleh orang yang karena kelaparan. Kelaparan ini merupakan suatu ‘illat hukum
yang menjadikan hukum yang diterapkan berbeda dengan hukum yang ada dalam nas. Perbedaan hukum karena
‘illatnya berbeda.
Berkaitan
dengan persoalan zakat, di dalam
al-Qur’an dijelaskan bahwa terdapat delapan kelompok orang yang berhak
mendapatkan zakat termasuk di dalamnya adalah kaum mu’allaf (orang yang
baru masuk Islam dan imannya masih lemah) sebagaimana dalam ayat:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan ) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai ketetapan dari
Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"[30]
Menurut Umar, zakat diberikan kepada
mereka, para mu'allaf, ketika umat Islam masih lemah sehingga sangat
membutuhkan mereka sehingga ketika umat Islam sudah kuat maka mereka tidak
mendapatkan zakat, oleh karena itu pada masa Umar kaum mu’allaf tidak mendapat
zakat. Menurut Umar, ‘illat hukum
bahwa kondisi umat Islam sudah kuat, merupakan dasar bagi
keputusannya untuk tidak memberikan zakat kepada kaum mu’allaf dan bukan
seabagai suatu tindakan untuk menolak ayat al-Qur’an.[31]
Ijtihad yang
dilakukan oleh Abū Bakar dan Umar secara tektual tidak sesuai dengan ketentuan nas apabila dipahami secara dahir/lahiriyah,
tetapi ijtihad itu dilakukan bukan untuk menentang dan mengabaikan dan
pengingkaran terhadap naş. Ijtihad mereka didasarkan pada suatu alasan, ‘illat hukum,
yang dianggap pasti untuk merealisasikan kemaslahatan, kemaslahatan yang dipertimbangkan
secara benar, karena tujuan dari syari’at Islam itu sendiri adalah
merealisasikan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan. Sehingga suatu
kemaslahatan yang tercapai dengan ketentuan hukum yang berbeda bukan didasari
pada pengingkaran terhadap nas tidaklah bertentangan dengan nas itu sendiri, karena seluruh ketentuan hukum dalam naş adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan kehidupan manusia.
I. Maqāşid as-Syarī’ah
Secara umum
dapat dipahami, bahwa Allah mengutus para rasul dan nabi agar mereka menyampaikan
pesan wahyu yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan yang bertujuan untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Demikian halnya Allah menurunkan
al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya terdapat aturan-aturan dan
norma yang mengatur kehidupan manusia memiliki tujuan kebahagiaan di dunia dan
di akhirat.
Kebahagiaan sebagai tujuan tercapai
apabila terjaga dan terpelihara kehidupannya artinya kemaslahatan kehidupan
terealisasikan. al-Qur’an dan
as-Sunnah dengan berbagai ketentuan aturan dan hukum baik yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah (habl min Allāh) maupun yang
mengatur hubungan sesama makhluk (habl min an-nās) yang berisi
peraturan-peraturan kehidupan dengan berbagai ketentuan hukuman bagi orang yang
melakukan pelanggaran hanyalah memiliki tujuan untuk merealisasikan
kemaslahatan dan menghindarkan kemadaratan.
Karena
tujuan dari syari’at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan, manusia
dituntut untuk senantiasa berusaha menggali pengetahuan untuk dapat mengetahui
maksud dari syari’at (maqāşid as-syarī’ah), karena dari berbagai
macam ketentuan hukum tentu memiliki tujuan tertentu, demikian juga manusia
dituntut untuk berusaha mencari alasan atau ‘illat dari suatu hukum, sehingga
kemaslahatan yang dicapai adalah kemaslahatan yang sebenarnya sebagaimana yang
dituntut oleh syari’at.[32]
Teori
tentang tujuan syari’at (maqāşid as-syarī’ah) yang terkenal adalah teori
maqāşid as-syarī’ah yang dijelaskan Imām
as-Syāţibī. Buku yang terkenal yang ditulis oleh Imām as-Syāţibī dalam membahas
tujuan syariat adalah Al-Muwāfaqāt fī
Uşūl as-Syarī’ah.
Menurut Imam
as-Syatibi, bahwa tujuan dari syari’at Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam mewujudkan
kemsalahatan tersebut tentulah harus dengan adanya bukti-bukti atau dalil-dalil
yang jelas.[33]
Dalam kitab
yang lain, Al-I’tisam, Imām as-Syāţibī menjelaskan, bahwa syari’at Islam
tidaklah menuntut sesuatu yang sulit, suatu beban yang berat bagi umat Islam
dalam mengamalkan ajaran agama untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ketika dalam suatu kewajiban terdapat pilhan antara yang berat dan kemudahan
hendaklah dipilih cara yang mudah, karena Allah menghendaki hal-hal yang mudah
bagi manusia dan bukan suatu kesulitan.[34]
Menurut Imām
as-Syāţibī, maqāşid as-syarī’ah dibagi menjadi tiga tingkatan
berdasarkan prioritas dan pentingnya tujuan tersebut, yaitu yang bersifat darūriyyah,
hājiyyah dan tahsīniyyah.
1. Daruriyyah
Tujuan
yang daruriyyah adalah suatu tujuan yang harus ada dan terwujud karena
merupakan suatu keharusan/kemestian dalam hidup. Apabila tujuan yang pokok atau
primer ini tidak terealisasikan maka kemaslahatan tidak akan tercapai bahkan
yang tercapai adalah kerusakan, kekacauan dan kebinasaan dalam kehidupan dunia
dan nanti diakhirat akan mendapatkan kerugian (celaka).[35]
Tujuan yang
bersifat darūriyyah (primer) meliputi lima hal:
1. Menjaga agama
2. Menjaga jiwa
3. Menjaga akal
4. Menjaga keturunan
5. Menjaga harta.[36]
Dalam
menjaga kelima hal tersebut, persoalan peribadatan, adat (kebiasaan) pergaulan
masyarakat termasuk persoalan ekonomi (mu’amalat) dan persoalan hukuman (jināyat)
harus dipelihara. Dalam menjaga agama bukan hanya unsur-unsur ibadah yang
dipelihara seperti keimanan, salat, zakat, puasa, haji dan lainnya tetapi juga
kewajuban juhad terhadap orang-orang yang memerangi agama. Dalam menjaga jiwa dan akal diperlukan penjagaan terhadap
adat dan kebiasaan seperti makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Penjagaan
terhadap persoalan mu’amalat dibutuhkan untuk menjaga dan memelihara keturunan
dan harta. Sedangkan penerapan hukuman/jinayah dibutuhkan agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap kelimanya itu.[37]
2. Hājiyyah
Tujuan
yang bersifat hājiyyah adalah suatu tujuan yang bersifat sekunder.
Dengan terealisasikannya tujuan ini maka akan tercapai keluasan (tawassu’)
dan terhindarkan dari kesempitan, kesukaran dan kesulitan dalam hidup. Tetapi
apabila tujuan ini tidak terwujud tidak mengantarkan kepada kerusakan, tetapi
manusia akan mengalami kesulitan dan kesukaran serta kesempitan. Tujuan ini
juga berlaku pada persoalan peribadatan, adat kebiasaan, mu’amalat dan jinayat.
Dalam
persoalan peribadatan misalnya, terdapat ketentuan yang bersifat rukhşah
yaitu suatu kemudahan yang diberikan Allah kepada manusia yang lebih ringan dan
lebih mudah dibandingkan ketentuan yang asal. Di bolehkannya tayammum bagi
orang yang sakit dan dalam perjalanan sebagai pengganti dari wudu dimana
tayyammum itu lebih mudah dan lebih ringan dibandingkan dengan berwudu.
Dalam
adat kebiasaan adalah dibolehkannya berburu dan memakan makanan yang enak
selama itu makanan yang halal. Dalam mu’amalat dibolehkannya qirad dan salam,
dan dalam jinayat dibolehkannya melakukan perdamaian atau gencatan
senjata ketika terjadi peperangan dengan musuh. [38]
3. Tahsīniyyah
Tujuan
yang bersifat tahsīniyyah adalah tujuan yang bersifat tertier,
mengambil sesuatu yang sesuai dengan rasa keindahan adat istiadat dan
menghindarkan keadaan-keadaan yang menipu yang dipertimbangkan dengan akal yang
sehat dan lurus.
Tujuan
yang bersifat tahsiniyah ini berlaku pada persoalan ibadah, separti
menambah ibadah dengan melakukan amalan yang bersifat sunah (nawāfil)
seperti bersadaqah, salat sunnah dan lainnya. Dalam adat
kebiasaan dengan memperhatikan adab sopan santun dalam makan dan minum,
menghindari minuman-minuman yang kotor dan menghindari tindakan pemborosan.
Dalam mu’amalat mencegah terjadinya jual beli barang-barang yang najis
dan dalam jinayat seperti mencegah pemberlakuan qisas bagi orang
yang merdeka karena melakukan pembunuhan terhadap budak dan larangan membunuh
wanita, anak-anak dan pendeta dalam perang.[39]
Adanya
prioritas tersebut harus menjadi pertimbangan dalam merealisasikan kemaslahatan
dimana yang paling penting yaitu tujuan yang darūriyyah, harus
didahulukan dari yang bersifat hājiyyah dan hajiyyah didahulukan
dari yang bersifat tahsiniyyah.
Abd al-Wahhāb Khallāf dalam kitab ‘Ilm Uşūl al-Fiqh nya juga
menjelaskan, bahwa tujuan syari’at Islam meliputi tujuan yang bersifat darūriyyah,
hājiyyah dan tahsiniyyah. Persoalan yang masuk dalam tujuan darūriyyah meliputi
lima hal yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Syari’at
Islam menuntut agar kelima hal tersebut terwujud secara keseluruhan dan
terpelihara kelestarianya, termasuk menetapkan dukuman bagi siapapun yang
melakukan pelanggaran terhadap tujuan tersebut.[40]
Dalam
memelihara agama, Allah mewajibkan keimanan dan rukun-rukun Islam seperti
syahadat, salat, zakat, puasa dan haji dan peribadatan yang lain yang
meneguhkan hati. Dan untuk melindungi agama diwajibkanlah jihad/perang terhadap
orang-orang yang memerangi umat Islam dan memberi hukuman bagi orang yang
keluar dari agama, murtad serta menghukum para ulama yang jahat (al-’ulamā’
as-sū’) yang memfatwakan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.
Untuk
menjaga jiwa, manusia diperintahkan untuk makan, minum, berpakaian dan
bertempat tinggal. Dan untuk melindunginya ditetapkanlah hukuman qisās, diyat
dan kifarat bagi orang yang melakukan kejahatan terhadap jiwa.
Untuk
memelihara akal, manusia dilarang malakukan hal-hal yang merusak akal seperti
meminum minuman yang memabukan, dan memberikan hukuman bagi orang yang meminum
minuman tersebut.
Untuk
memelihara keturunan manusia diperintahkan untuk menikah dan untuk menghukum
orang yang melakukan pelanggaran terhadap keturunan atau kehormatan seperti
hukuman bagi pezina dan bagi orang yang melakukan qazaf (menuduh orang
lain berzina).
Sedangkan
untuk memelihara harta, syari’at Islam memerintahkan manusia untuk mencari
harta/rizqi yang baik dengan bekerja atau dengan perdagangan. Dan untuk
melindungi harta diterapkan hukuman had bagi pencuri dan larangan
melakukan penipuan, memakan harta orang lain secara batil serta diharamkannya
riba.[41]
Berdasarkan
teori maqāşid as-syarī’ah Imām as-Syāţibī, termasuk yang kemudian
dijelaskan oleh Abd al-Wahhāb Khallāf, maka segala ketetapan atau ketentuan
yang ditetapkan oleh soerang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum bagi suatu
persoalan harus dalam bingkai kemaslahatan yang lima tersebut. Sehingga tidak
boleh ada suatu tindakan apapun yang mengancam kelima hal tersebut, karena
ketika ada salah satu dari kelima hal tersebut yang dilanggar atau tidak
terealisasi, maka kahidupan manusia tidak akan memperoleh kebahagian dan
kemaslahatan.
J. Analisis terhadap pendapat ulama
1) Kawin hamil
Kebolehan secara
mutlak untuk menikahi wanita hamil dan kemudian berhubungan seks tanpa adanya
syarat apapun merupakan pendapat yang kurang mempertimbangkan arti penting dan
sucinya lembaga perkawinan dan tujuan perkawinan itu sendiri yaitu untuk
mendapatkan keturunan yang suci dan bahwa hubungan seks dalam ikatan perkawinan
merupakan suatu ibadah. Ketika suatu perkawinan merupakan kelanjutan dari
perzinaan (kehamilan di luar nikah) maka kemulyaan lembaga perkawinan menjadi
rusak.
Sedangkan pendapat
Abu hanifah yang membolehkan terjadinya kawin hamil dengan syarat antara suam-
isteri tersebut baru boleh berhubungan setelah isterinya melahirkan tidak
sesuai dengan pengertian dari akad nikah, bahwa akad nikah adalah suatu akad
yang berfaidah hak untuk melakukan mut’ah (berseng-senang / hubungan seks)
sebagai tujuan[42].
Apabila perkawinan dengan wanita hamil adalah perkawinan yang sah maka hubungan
seks antara suami isteripun dibolehkan, dan bukan harus menungu sampai
isterinya melahirkan.
Sedangkan pendapat
Imam malik dan Ahmad merupakan pendapat yang lebih kuat, karena perkawinan
adalah suatu lembaga yang suci, sehingga tidak boleh dijadikan kelanjutan dari
perzinaan (hamil karena zina). Perkawinan merupakan jalan yang berbeda dan
bahkan bertentangan dengan perzinaan. Perkawinan lembaga yang membuka kehalalan
hubungan laki-laki dan perempuan.
2). Status anak
Persoalan nasab
merupakan persoalan yang sangat penting, karena berkaitan dengan hak dan
kewajiban orang tua kepada anak dan sebaliknya, persoalan perwalian (dalam
perkawinan bagi anak perempuan) dan juga persoalan warisan. Oleh karena itu penentuan tentang nasab harus
didasarkan kepada bukti-bukti yang jelas (rajih) bukan hanya didasarkan
kepada perkiraan saja .
Penentuan nasab
yang dilakukan oleh Abu Hanifah dengan hanya didasarkan terjadinya akad
perkawinan dianggap cukup tanpa didasarkan kepada terjadinya hubungan seks
antara suami-isteri merupakan pendapat yang tidak kuat, karena yang menjadi
penyebab kehamilan adalah hubungan seks, bukan akad perkawinan.
Demikian juga
pendapat Imam as-Syafi’i dan Malik yang menganggap bahwa termasuk anak yang sah
adalah ketika antara suami dan isteri itu dimungkinkan terjadi hubungan seks
setelah terjadinya perkawinan, merupakan
pendapat yang kurang kuat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat Ibn Taimiyyah, yang
mengharuskan bukti yang kuat, bahwa anak tersebut adalah hasil dari hubungan
seks antara suami isteri setelah terjadinya akad perkawinan.
Berkaitan dengan masa minimal suatu kehamilan yaituenam
bulan, apabila berpegang kepada pendapat Imam as-Syafi’i tentang kebolehan
secara mutlak menikahi wanita hamil dan berhubungan seks setelah akad
perkawinan, maka menimbulkan persoalan yang baru; apabila kawin hamil itu dilakukan
dan pada masa sebelum enam bulan perkawinan
isterinya melahirkan, anaknya
dinsabkan kepada siapa ? kalau anak tersebut dinasabkan kepada suami ibunya
maka bertentangtan dengan prinsip enam bulan minimal masa hamil. Pendapat
syafi’i ini juga tidak sejalan dengan
pendapatnya sendiri bahwa seorang
laki-laki boleh menikah dengan perempuan
yang merupakan anak hasil perzinaannya, karena anak hasil zina bukan anaknya
sendiri. Kalau laki-laki tersebut menikahi seorang perempuan yang hamil (karena
hamil di luar nikah), kemudian lahir seorang perempuan, bolehkan laki-laki
tersebut menikahi anak isterinya , karena sebagai hasil dari zina?
Pendapat Abu Hanifah, bahwa apabila isteri yang hamil
itu melahirkan pada masa perkawinan kurang dari enam bulan diserahkan kepada
suaminya boleh menolak anak tersebut dan boleh mengakuinya sebagai anaknya
dengan syarat anak itu bukan hasil dari zina menunjukan bahwa Abu hanifah tidak
menyetujui terjadinya kawin hamil dan anak yang lahir dalam kawin hamil (karena
perzinaan) tidak bisa dinasabkan kepada suami ibunya. Oleh karena itu
berdasarkan pendapat Abu Hanifah, terjadinya kawin hamil tidak memberikan
solusi dalam persoalan nasab anak.
K. Analisis ‘Illat Hukum dan
Maqāshid as-Syari’ah (tujuan)
‘Illat hukum merupakan suatu syarat, keadaan atau peristiwa yang
berkaitan dengan suatu ketentuan hukum, ketika keadaan atau peristiwa terebut
berbeda dengan yang telah ditetapkan maka akan mempengaruhi ketentuan hukum, Orang
yang shalat haruslah berwudlu memakai air. Apabila tidak ada air maka
dibolehkan tayammum Tidak adanya air berarti wudlu tidak bisa dilakukan,
sehingga merupakan ‘illat yang merubah ketentuan hukum yaitu dibolehkannya
bertayammum dengan menggunakan debu.
Dalam persoalan
kawin hamil, bahwa alasan dilakukannya perkawinan ini adalah hamil di luar
nikah (karena perzinaan), karena tidak
punya suami tidak bisa dimasukan sebagai alasan yang merupakan illat hukum, karena
antara zina dan perkawinan sama sekali tidak berkaitan dan tidak saling
mempengaruhi. Bahkan keduanya bertentangan, Zina adalah sesuatu yang dilarang
sedangkan perkawinan adalah sesuatu yang diperintahkan. Bagaimana mungkin
sesuatu yang bertentangan menjadi penyebab bagi terjadinya sesuatu yang lain. Orang yang melakukan zina bukanlah
untuk dinikahkan tetapi harus mendapatkan hukuman.
Sedangkan tujuan
dari kawin hamil adalah untuk menjaga kemaslahatan ibu dan anak. Tujuan ini
dapat dibenarkan, karena dengan adanya seorang suami maka masa depan isteri dan
anaknya akan lebih terjaga. Tetapi disamping tercapainya kemaslahatan bagi
pelaku kawin hamil dan anaknya, kebolehan kawin hamil menimbulkan madharat yang
luas di masyarakat. Kebolehan kawin hamil merupakan pintu yang terbuka
(legalisasi)untuk melakukan perzinaan, karena tidak ada hukuman bagi pelaku
perzinaan. Kalau kemudian dari perzinaan tersebut terjadi kehamilan jalan
keluarnya sudah dibuka yaitu kawin hamil. Kemadaratan yang timbul lebih besar
dan lebih luar daripada kemaslahatan yang didapatkan
Kemaslahatan yang
mungkin terjadi adalah kemaslahatan jiwa dan harta dengan kehidupan yang cukup
dan terhindar dari kelaparan, tetapi menimbulkan dan kemadharatan terhadap agama dan
keturunan. Kawin hamil membahayakan agama karena orang yang berzina berarti
dengan sengaja melanggar ketentuan-ketentuan agama Demkian juga mengancan kesucian keturunan,
karena tindakan zina itu sendiri merupakan penodaan terhadap kehormatan dan
kesucian keturunan.
Kemaslahatan seperti ini tentunya bukan kemaslahatan
yang dikehendari olehi hukum Islam. Kmesalahatan yang dikehendaki adalah suatu
kemaslahatan yang betul-betul kemaslahatan bagi semua orang dan tidak
menimbulkan kemadharatan.Dalam hukum Islam terdapat kaidah “ meninggalkan
kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kemanfaatan (dar’u al-mafāsid
muqadamun ‘alā jalb al-mashālih). Demikian juga terdapat kaidah bahwa ‘kemadharatan
harus dihilangkan” [43]
Apabila kawin hamil
itu dianggap sebagai jalan yang harus ditempuh, maka kewajiban pemerintah
selain mengatur perkawinan tersebut juga harus ditetapkan aturan tentang
larangan zina dan hukuman had, sehingga semakian lama perzinaan akandihindari
sehingga tidak terjadi kehamilan di luar perkawinan dan pada akhirnya tidak ada
kawin hamil.
L. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan; Pertama
Kebolehan kawin hamil secara mutlak tidak memiliki alasan dan dasar yang kuat, Kedua.
Anak yang lahir dalam kawin hamil tidak memiliki status yang jelas. Ketiga,
kehamilan di luar nikah sebagai hasil dari perzinaan tidak bisa dijadikan illat
hukum , sehingga dibolehkan kawin hamil. Keempat. Dengan kawin hamil
kemaslahatan ibi dan akan akan lebih terjaga, tetapi kemadharatan yang timbul
lebih banyak dan lebih luas.
Wallāhu a’lamu bi as-shawāb
M. Daftar Pustaka
Al-Ahkām
as-Syar’iyyah fi al-Ahwā as-Syakhşiyyah
‘Al ā al-Mazhab al-imām al-A’dham Abī
Hanīfah an-Nu’man (Mesir;
Maktabat wa mathba’at Muhammad ‘Alī Shabīh wa Auladih, 1965).
Dahlan, Abdul ‘Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam.
jil. 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve 1999)
.Al-Hamīd ,Muhammad Muhy ad-Dīn Abd, Sunan Abi Dawud
, Jil. 2 (ttp: Dār Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah, tt).
Al-Jazīri, Abd ar-Rahmān, Kitāb al-Fiqh ‘Alā
al-Mazāhib al-‘Arba’ah (Mesir: Maktabat at-Tijāriyyah al-Kubrā, 1969).
Khallāf, Abd
al-Wahhāb ‘IlmUshul al-Fiqh, cet. VIII (Kairo: Maktabat ad-Da’wat
al-Islāmiyyah Syabāb al-Azhar, 1987).
Kompilasi
Hukum Islam (ttp: Media
Center, tt).
Al-Maududi, Abu al-A’la dan Fazl Ahmad (terj), Pedoman
Perkawinan Dalam Islam (ttp: Darul
Ulum Press, 1983).
Mugniyyah,
Muhammad Jawwād, Al-Ahwaāl as-Syakhşiyyah (Beirut: Dār al-‘ilm li al-Malayain, tt).
An-Nadwi Ali
Ahmad, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah (Dimsyaq: Dār al-Qalam, tt).
Al-Qardāwī
Yusuf, As-Siyāsat as-Syar’iyyah, Cet. I (Kairo: Maktabat Wahbah,
1998).
Al-Qaţţān, Mannā’ Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’ān,
(ttp: Mansyūrā al-’Aşr al-Hadīts, 1983).
As-Siba’i, Mustafa, Al-Ahwaāl as-Syakhşiyyah, Juz.
I (Dimsyaq: Mathba’at Jāmiah Dimsyaq, 1965).
ٍSoemiyati, Hukum Perkawinan Islan Dan UU
Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), cet. II (Yogyakarta:
Liberty, 1986).
Undang-Undang
Perkawinan (Surabaya:
Pustaka Tinta Mas, tt).
Zahrah, Muhammad
Abū Uşūl al-Fiqh (ttp: Dār al-Fikr al-’Arabī, tt)..
Zahrah, Muhammad
Abu Al-Ahwāl as-Syakhşiyyah (ttp: Dār
al-Fikr al-Arabi, tt).
[1]
An-Nisa (4);3.
[2] An-Nisâ (4): 3.
[3] Ar-Rūm (30); 21
[4] ٍSoemiyati,
Hukum Perkawinan Islan Dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan), cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 13-15.
[5]Abu al-A’la al-Maududi dan Fazl Ahmad (terj), Pedoman Perkawinan
Dalam Islam (ttp: Darul Ulum Press,
1983), hlm. 7-8.
[6] Had aadalah suatu hukuman yang ketentuan berat-ringannya
telah ditentukan di dalam nash. Had bagi pezina muhsan, orang yang sudah
menikah adalah di rajam sampai mati . Sedangkan hukuman had bagi pezina ghairu
muhsan, pezina yang belum menikah adalah dicambuk seratus (100) kali
sebagaimana ketentuan Surat An-Nur (24) ayat 2.
[7]
At-Thalaq (65): 4.
[8]Lihat Asyhari Andul Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan
Perkawinan Sesudah Hamil, cet. III ( Jakarta: Andes Utama, 1993), hlm. 101.
[9]Hasbi as-Shiddiqi menjelaskan, bahwa Abu Hanifah memakruhkan
terjadinys hubungan seks antara suami-isteri tersebut sampai isterinya
melahirkan. Hasbi as-Shiddiqi, Ahkam al-Fiqh al-Islami (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), hlm. 284.
[10]Asyhari Abdul Ghafar, Pandangan Islam., hlm. 102-103.
[11]At-Thalaq (65): 4.
[12]Muhammad Muhy ad-Dīn Abd al-Hamīd, Sunan Abi Dawud , Jil. 2
(ttp: Dār Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah, tt), hadis no. 2157, hlm. 348.
[13]Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwāl as-Syakhşiyyah (ttp: Dār al-Fikr al-Arabi, tt), hlm. 453.
[14] Ibid., hlm. 402-403.
[16]Muhammad Jawwād Mugniyyah, Al-Ahwaāl as-Syakhşiyyah
(Beirut: Dār al-‘ilm li al-Malayain,
tt), hlm. 76.
[17] Ibid. Pendapat inilah yang diambil oleh Mustafa as-Siba’i.
Lihat Mustfa as-Siba’I, Al-Ahwaāl as-Syakhşiyyah, Juz. I (Dimsyaq:
Mathba’at Jāmiah Dimsyaq, 1965), hlm. 288.
[18] Al-Ahk ā m as-Syar’iyyah fi al-Ahwā as-Syakhşiyyah ‘Al ā al-mazhab al-imām
al-A’dham Abī Hanīfah an-Nu’man
(mesir; Maktabat wa mathba’at Muhammad ‘Alī Shabīh wa Auladih, 1965), hlm. 52.
[19]Ibid., hlm. 77.
[20]Mustafa as-Siba’I, Al-Ahwāl., hlm.275-276. Lihat juga Muhammad Abu
zahrah, Al-Ahwāl., hlm. 402.
[21] Muhammad Abu zahrah, Al-Ahwāl., hlm. 452.
[25] Persoalan ‘illat sebenarnya
bukan khusus dalam pembahasan tentang qiyas meskipun dalam kebiasaan ketika
digunakan istilah illat biasanya tertuju pada persoalan qiyas.
Penggunaan istilah ‘illat hukum biasanya dilakukan dalam pembicaraan tentang
qiyas, sebab dalam qiyās ‘illat merupakan unsur atau rukun dalam qiyās.
Muhammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh (ttp:
Dār al-Fikr al-’Arabī, tt.), hlm. 237.
[26] Perang Yamāmah terjadi pada tahun 12 H. Dalam
perang ini banyak sahabat yang hafal al-Qur'an
meninggal dunia. Perang ini-lah yang mendorong ‘Umar agar Abū Bakar malakukan
pengumpulan al-Qur’an, karena dengan banyaknya penghafal al-Qur'an yang meninggal
dikhawatirkan kelestarian al-Qur'an akan terancam. Mannā’ al-Qaţţān, Mabāhits fī ‘Ulūm
al-Qur’ān, (ttp: Mansyūrā al-’Aşr al-Hadīts, 1983), hlm. 125.
[27] Lihat al-Mujādalah (58): 13 dan al-Muzammil
(73): 20 yang berisi perintah membayar zakat merupakan kelanjutan dari
melakukan shalat.
[33] As-Syāţibī,
Al-Muwāfaqāt fī Uşūl as-Syarī’ah, Juz. II (ttp: Maţba’at as-Syarf al-Adnā,
tt.), hlm. 6,
[36] Dalam hukum Jinayat (pidana Islam)
pelanggaran terhadap tujuan syariat yang lima tersebut mendapatkan hukuman yang
sudah ditentukan kadarnya atau hudud, artinya suatu hukuman yang
ketentuan batasannya telah ditentukan di dalam nas, seperti kejahatan terhadap
agama dengan murtad atau memerangi agama maka hukumannya adalah hukuman mati.
Bagi orang yang melanggar jwa dengan melakukan pembnuhan maka hukumannya adalah
qisās (Al-Baqarah (2): 178). Pelanggaran terhadap akal dengan meminum minuman
keras hukumannya adalah cambuk. Pelanggaran terhadap keturunan misalnya dengan
berzina maka dihukum cambuk 100 kali bagi orang yang belum menikah (gairu
muhşan) (An-Nur (24) : 2) dan di rajam, dilempari dengan batu sampai mati
bagi pezina muhşan, orang yang sudah menikah, serta potong tangan bagi
orang yang melakukan kejahatan terhadap harta, misalnya melakukan pencurian
(Al-Mā’idah (5): 38).
[40] Abd
al-Wahhāb Khallāf, ‘IlmUshul al-Fiqh, cet. VIII (kairo: Maktabat
ad-Da’wat al-Islāmiyyah Syabāb al-Azhar, 1987),, hlm. 16-17.
[42] Abd ar-Rahmān al-Jazīri, Kitāb al-Fiqh ‘Alā al-Mazāhib
al-‘Arba’ah (Mesir: Maktabat at-Tijāriyyah al-Kubrā, 1969), hlm. 1.
[43]‘Ali Ahmad an-Nadwi, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah (Dimsyaq: Dār
al-Qalam, tt), hlm. 252.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar