STOP GRATIFIKASI KUA

STOP GRATIFIKASI KUA

Senin, 08 Juni 2015

KAWIN HAMIL




A. Abstrak
            Dalam Islam perkawinan merupakan suatu akad yang dengan akad tersebut hubungan antara laki-laki dengan perempuan menjadi hubungan antara suami dengan isteri. Sesuatu yang haram menjadi halal. Suatu perkawinan dianggap suci karena pelaksanaannya didasarkan kepada tuntunan agama. Dengan tuntunan agama maka suatu perkawinan menjadi sah, anak-anak yang lahir merupakan anak yang sah jesals sataus dan nasabnya. Namum pada masa sekarang keberadaan lembaga perkawinan mengalami tantangan yang besar. Diakuinya  kawin hamil sebagai suatu perkawinan yang sah menjadikan perkawinan seolah-olah merupakan kelanjutan dari hubungan perzinaan yang terjadi. Sahnya kawin hamil masih dipertanyakan, hal berkaitan dengan dalil-dalil yang dijadikan alasan serta kemaslahatan yang  diperoleh menyebebkan kemadharatan yang luas.
Kata Kunci : kawin hamil, illat hukum dan maqāshid as-syari’ah









I. Pendahuluan
            Perkawinan merupakan suatu lembaga yang terdapat pada setiap masyarakat, bahkan bukan hanya pada manusia saja tetapi pada makhluk-makhlauk yang lain seperti binatang bahkan tumbuhan .  Perkawinan merupakan sunnatullah. Dengan perkawinan ini kelangsungan dan kelestarian kehidupan akan terjaga. Dengan perkawinan ini akan lahir keturunan sebagai generasi pada masa yang akan datang.
            Perbedaan perkawinan pada manusia dan makhluk yang lain adalah dalam perkawinan manusia terdapat norma serta aturan yang harus dipegang. Ketika norma dan aturan tersebut dilanggar maka perkawinan tersebut dianggap sebagai perkawinan yang tidak sah. Norma dan aturan ini penting bagi manusia karena manusia adalah makhluk yang memeiliki kelebihan dibanding makhluk yang lain, manusia memiliki akal, pikiran dan hati nurani. Berbeda dengan binatang, tidak ada norma dan aturan yang berlaku bagi mereka. Perkawinan dilakukan dengan didasarkan kepada insting dan nafsu.
            Norma dan aturan yang diberlakukan bagi manusia agar manusia tidak berlaku seperti binatang, agar  manuisa menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Dengan norma dan aturan itu pula manusia ditunjukan bagaimana seharusnya suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan dilakukan,  memiliki rasa tanggung jawab, mengetahui dan melaksanakan hak dan kewajiban serta menjauhi larangan-larangan, serta untuk menurunkan generasi yang memiliki nasab yang jelas. Hal-hal tersebut tidak  ada pada binatang bahkan tidak diperlukan.
            Sebagai makhluk yang memiliki akal seharusnya menusia dapat mengendalikan nafsu (libido). Hubungan seksual diluar nikah (zina) haruslah dihindari, sehingga kehamilan di luar nikah tidak akan terjadi. Akibat negatif lebih lanjut adalah terjadinya aborsi, pembuangan bayi bahkan penghilangan nyawa bayi. Terapi dalam kenyataannya hubungan seksul di luar nikah terjadi, bahkan banyak terjadi, bukan hanya di kalangan orang yang tidak berpendidikan bahkan di kalangan pelajar dan mahasiswa sehingga terjadilah kehamilan di luar nikah.
            Kehamilan di luar nikah dianggap sebagai suatu aib baik bagi perempuan itu, keluarga bahkan masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan untuk menyelamatkan diri, keluarga dan masyarakat adalah dengan dilaksanakannya kawin hamil. Dengan terjadinya kawin hamil ini maka anak yang akan lahir tersebut memiliki orang tua, bapak dan ibu, sebagaimana anak-anak yang lain. Masa depan anak dan ibu juga akan terjaga.
            Sebagian mayarakat melihat fenomena kawin hamil dari sisi yuridis-formal. Kawin hamil bukanlah sebagai suatu perkawinan yang dilarang. Kawin hamil merupakan sutu tindakan yang legal dan sah menurut negara. Hal ini sesuai dengan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI):
Pasal 53 ayat (1); Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
ayat (2): Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
ayat (3): Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

            Sebagaian yang lain melihat, bahwa pasal 53 KHI merupakan bentuk legalisasi terselubung terhadap perbuatan zina. Pasal tersebut memberikan peluang yang luas dan legal terjadinya kawin hamil. Dan dalam kenyataan, terjadinya   kawin hamil semakin banyak. Perzinaan dianggap sebagai hal yang tidak perlu dipersoalkan karena tidak ada aturan larangan zina. Lebih dari itu pemerintah telah memberikan jalan yang mudah apabila terjadi kehamilan yaitu dengan kawin hamil.
            Meskipun kawin hamil secara yuridis telah ditetapkan kebolehannya, tetapi penulis melihat sangat penting untuk mengkaji bagaimana pendapat serta dalil yang dipakai oleh para ulama baik yang membolehkan ataupun yang melarangnya. Hal ini semakin penting karena berkaitan juga dengan status anak yang lahir dari kawin hamil tersebut. Selain kedua persoalan tersebut, tulisan ini juga akan menbahas bagaimana tinjauan ‘illat hukum dan maqashid as-syariah terhadap kawin hamil.

II. Kawin Hamil
            Kawin hamil merupakan suatu perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang sedang mengandung. Kawin hamil yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perkawinan antara laki-laki dengan perempuan hamil sedangkan laki-laki tersebut adalah orang yang menghamilinya atau suatu perkawinan yang dilakukan ketika perempuan tersebut hamil karena perzinaan dengan laki-laki tersebut. Secara yuridis kawin hamil seperti ini dibolehkan berdasarka  pasal 53 Kompilasi Hukum Islam
            Kawin hamil merupakan perkawinan yang terjadi dan di luar kebiasaan masyarakat, sehingga meskipun sudah terdapat ketentuan dibolehkannya perkawinan tersebut dan dianggap sah oleh negara, tetapi kawin hamil ini tetap menjadi persoalan yang belum terselesaikan, bukan hanya tentang sah-tidaknya secara agama (Islam)  tetapi juga tentang anak yang lahir dari kawin hamil tersebut, nasahnya masih dipertanyakan.
            Kawin hamil dilakukan didasarkan kepada alasan kehamilan di luar nikah (karena zina) dengan tujuan kebaikan dan kemaslahatan  ibu dan anak yang  dikandungnya. Masa depan ibu dan anak merupakan faktor utama terjadinya kawin hamil. Ketika perkawinan ini tidak dilakukan maka aib dan perderitaan akan dialami ibu dan anak Lahirnya seorang anak tanpa memiliki bapak merupakan kehinaan dalam hidup bermasyarakat, kareaa masyarakat belum (tidak) bisa menerima anak tanpa bapak. Oleh karena itu kawin hamil merupakan jalan penyelamat.

III. Pandangan Hukum Islam terhadap perkawinan.
            Dalam Islam, perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci, yang mengatur bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan diwujudkan. Perkawinan dianggap suci karena perkawinan  bukan hanya semata-mata hubungan keperdataan (muamalat) antara dua pihak lak-laki dan perempuan. Lebih dari itu  Islam memandang bahwa perkawianan merupakan tindakan ibadah, sebagai sikap ketaatan makhluk terhadap aturan-aturan yanh diciptakan oleh Sang Khalik, Allah SWT. Dalam al-Qur’an perintah melakukan perkawinan antara lain adalah ayat;“ Maka nikahilah wanita yang kamu sukai, dua, tiga atau empat. Kemudian apabila kamu takut tidak bisa berbuat adil, maka kawinilah seorang saja”.[1]
Demikian juga dalam hadis disebutkan bahwa orang yang benci untuk melakukan perkawinan, dia bukan umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana hadis
“ Nikah adaalh sunnahku, maka barang siapa yang membenci sinnahku, dia tidak termasuk umatku”.[2]
            Dalam Islam ditetapkan syarat-syarat dan rukun perkawinan. Apabila syarat-syarat dan rukun-rukun tersebut dipenuhi maka pertkawinan yang dialkukan adalah sah, tetapi apabila tidak dipenihi maka perkawinan itu tidah sah. Dalam Islam juga ditegaskan tujuan dari perkawinan, sebagaimana tercantum dalam ayat;
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, Dia menciptakan bagimu istri-istrimu dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang”.[3]

            Tujuan perkawinan kemudian dirumuskan sebagai berikut:
1. Mentatati perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.
2. Memenuhi kebutuhan seksual (tuntutan naluruah)
3. Mendapatkan keturuan yang sah[4]
4. Menjaga manusia dari kerusakan dan kejahatan moral[5]
            Perintah terhadap perkawinan merupakan perintah kepada menusia untuk hidup dengan terhormat dan tanggung jawab serta merupakan penolakan terhadap perzinaan. Perzinaan merupakan tindakan yang tidak pantas untuk dilakukan oleh manusia, sehingga Islam memasukannya dalam jarimah  (kejahatan) yang dikenai hukuman had[6].

F. Pandangan Ulama Terhadap Kawin Hamil
            Kawin hamil dilihat dari sisi kehamilan dapat dibagi menjadi dua ; Pertama adalah wanita yang hamil dan melakukan perkawinan dengan laki-laki lain (bukan mantan suaminya) pada masa ‘Iddah , baik ‘Iddah karena talak maupun karena suami meninggAl dunia. Perkawinan seperti ini ketentuannya  jelas yaitu diharamkan, karena perempuan itu sedang menjalani ‘iddah hamil. Perkawinan itu baru bisa dilakukan apabila perempuan tersebut telah melahirkan, sebagaimana ketentuan dalam al-Qur’an; “ Dan perempuan-perempuan hamil ( yang dicerai oleh suaminya) masa tunggunya adalah sampai melahirkan” .[7]
Kedua adalah perkawinan antara laki-laki dengan wanita yang hamil di luar pekawinan (karena perzinaan). Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya/sahnya perkawinan ini:
1). Perkawinan dengan wanita hamil adalah sah.
            Pendapat tentang sahnya kawin hamil merupakan pendapat Imam as-Syafi’i[8] dan Abu Hanifah. Tetapi Abu Hanifah mensyaratkan bahwa antara suamu-isteri tersebut tidak boleh melakukan hubungan seks sampai isterinya melahirkan[9].
            Menurut Imam as-Syafi’i, wanita hamil diluar nikah (karena zina) apabila akan melakukan perkawinan tidak memerlukan ‘iddah, karena ‘iddah itu ditetapkan bagi perempuan yang sudah menikah, sudah berhubungan seks dan kemudian bercerai. Sedangkan wanita hamil di luar nikah sama sekali tidak memiliki suami, sehingga tidak perlu iddah.[10]
2). Perkawinan dengan wanita hamil tidak sah.
            Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik dan Ahmad, demikian juga Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Perkawinan dengan perempuana hamil baru sah apabila dilaksanakan setelah perempuan itu melahirkan, apabila dilaksanakan pada masa hamil maka tidak sah. Dalil yang dijadikan dasar dari pendapat ini adalah ayat;” “ Dan perempuan-perempuan hamil ( yang dicerai oleh suaminya) masa tunggunya adalah sampai melahirkan.”[11] Demikian juga didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan perempuan tawanan perang. Nabi melarang para sahabat melakukan hubungan seks dengan perempuan-perempuan tersebut sehingga perempuan-perempuan yang sedang hamil melahirkan dan apabila mereka tidak hamil supaya menunggu satu kali haidh.[12]

G.Pandangan Ulama Terhadap Status Anak
            Para ulama sepakat, bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah.[13] Tetapi mereka berbeda pendapat tentang terjadinya hubungan seks yang menjadikan anak adalah anak yang sah dan dinasabkan kepada ayahnya (suami dari ibu);
Pertama, menurut Abu Hanifah akad nikah yang sah semata-mata merupakan sebab tetapnya nasab anak, meskipun setelah akad perkawinan antara suami isteri itu tidak pernah bertemu sehingga tidak pernah melakukan hubungan seks, karena berjauhan. Apabila isteri hamil dan melahirkan maka anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki yang menjadi suami dari ibunya.
            Kedua. Menurut Imam as-Syafi’i dan Malik, bahwa seorang anak bisa dinasabkan kepada suami dari ibunya apabila antara suami- isteri tersebut tidak ada halangan untuk bertemu artinya terdapat kemungkinan keduanya bertemu dan melakukakan hubungan seks sehingga isteri hamil dan melahirkan.
            Ketiga, menurut Ibn Taimiyyah, seorang anak dianggap sebagai anak yang sah dan dinasabkan kepada suami dari ibunya apabila betul-betul telah terjadi hubungan seks antara suami isteri tersebut setelah terjadinya akad nikah. Nasab haruslah ditentukan dengan betul-betul telah terjadi hubungan seks bukan didasarkan pada akad semata-mata .
            Pendapat Ibn Taimiyyah, menurut Abu Zahrah Merupakan pendapat yang dianggap paling kuat di antara pendapat yang lainnya [14], dan merupakan pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama.[15]
            Berkaitan dengan lamanya masa kehamilan, masa kehamilan dibagi mejadi dua yaitu masa paling sedikit dan masa kehamilan yang paling lama;
1). Masa kehamilan minimal
.           Masa kehamilan yang paling sedikit menurut kesepakatan ulama adalah enem (6) bulan.[16] Masa enam (6) bulan ini didasarkan kepada Surat al-Ahqaf (46) ayat 15, bahwa lamanya masa hamil dan menyusui yaitu 30 bulan (tsalātsūna syahran). Sedangkan dalam Surat Luqman (31) ayat 14 ditetapkan bahwa masa menyusui yang sempurna adalah dua (2) tahun  (āmain )atau 24 bulan , sehingga masa hamil paling sebentar disimpulkan enam (6) bulan.
            Dari ketentuam minimal enam bulan bagi suatu kehamilan dapat dijelaskan lebih lanjut:
 Pertama, Apabila  seorang laki-laki dan perempuan menikah kemudian hamil dan melahirkan dalam keadaan hidup dan sempurna dalam waktu perkawinan kurang dari enam bulam, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menjadi suami ibunya.[17]
Menurut Mazhab Hanafiyyah, masa minimal bagi kehamilan juga enam bulan. Apabila laki-laki dan perempuan melakukan perkawinan  kemudian perempuan itu melahirkan anak  dan masa perkawinannya mencapai enam bulan atau lebih, maka anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki tersebut. Tetapi apabila anak tersebut lahir dalam masa perkawinan kurang dari enam bulan, diserahkan kepada laki-laki tersebut. Dia boleh menolak anak tersebut dan juga boleh mengakuainya sebagai anaknnya, tetapi dengan syarat anak itu bukan sebagai hasil perzinaan. Kalau anak itu adalah hasil dari perzinaan maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada laki-laki tersebut.[18]
Kedua, Apabila seorang perempuan dicerai oleh suaminya kemudian menikah dengan laki-laki yang lain, kemudian dia hamil dan melahirkan tetapi waktunya kurang dari enam bulan dari pernikahannya, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami yang pertama. Tetapi apabila anak itu lahir pada masa perkawinan enam bulan atau lebih, anak tersebut dinasabkan kepada suami ibunya yang kedua.
Ketiga. Apabila seorang isteri dicerai kemudian menikah dengan laki-laki lain dan melahirkan pada masa kurang dari enam bulan sejak dia berkumpul dengan suaminya dalam perkawinan yang kedua, tetapi melebihi batas maksimal kehamilan sejak dia berkumpul dangan mantan suaminya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada mantan suaminya maupun suami yang kedua[19].
2). Masa kehamilan maksimal
            Para ulama tidak memiliki kesepakatan tentang masa kehamilan paling lama. Mereka berbeda pendapat. Pendapat-pendapat tersebut adalah; Menurut Ad-Dhahiriyyah lamanya sembilan (9) bulan, Muhammad ibn Abdillah ibn abd al-Hakim (Malikiyyah) lamanya adalah satu tahun, Abu Hanifah menentukan dua tahun. Pendapatnya didasarkan kepada pendapat ‘Aisyah, bahwa seorang anak tidak tetap dalam perut ibunya melebihi dua tahun. Menurut Abu Hanifah pendapat ‘Aisyah bukanlah pendapat diri ‘Aisyah sendiri, tetapi dia menerimanya dari Nabi. Menurut Al-Laits ibn Sa’d lamanya tiga tahun, menurut as-Syafi’i lamanya empat tahun, menurut Imam Malik lamamya lima tahun, menurut sebagian Malikiyyah lamanya adalah tujuh tahun.[20]
            Menurut Ibn Rusyd, pendapat-pendapat di atas yang berbeda-beda tidaklah didasarkan kepada nash, tetapi didasarkan kepada kejadian dan pengalaman yang terjadi yang berbeda-beda. Menurutnya yang paling sesuai adalah sembilan bulan dan satu tahun.[21]

H. ‘Illat Hukum: Alasan Dalam Penetapan Hukum
       Dalam ilmu Uşūl al-Fiqh terdapat kaidah-kaidah yang menegaskan, bahwa suatu ketentuan hukum bagi suatu peristiwa/persoalan tidak harus/mesti berlaku untuk selamanya pada tempat dan waktu yang berbeda, artinya bahwa suatu hukum dari suatu peristiwa yang secara dahir/ materi sama sangat mungkin hanya berlaku untuk waktu, tempat dan keadaan tertentu ketika peristiwa itu terjadi, dan ketentuan hukum itu harus dipertimbangkan lagi ketika akan diterapkan pada waktu atau tempat yang berbeda, bahkan mungkin ketentuan hukum itu tidak cocok sehinnga tidak berlaku dan harus dirubah. [22]
       Menurut Yūsuf al-Qardāwī, terjadinya perubahan hukum dengan dasar berbedanya kondisi dan situasi hanya berlaku pada hukum yang disandarkan  pada adat istiadat dan kebiasaan, karena adat istiadat dan kebiasaan  senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Dengan perubahan adat dan kebiasaan berubahlah suatu hukum. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku untuk hukum-hukum yang disandarkan pada dalil-dalil syara’, karena dalil-dalil syara' tidak dibangun di atas adat dan kebiasaan, contohnya hukuman qişāş bagi  seorang pembunuh yang melakukan pembunuhan dengan sengaja sebagaimana disebutkan di dalam  al-Qur'an:
"Wahai orang-orang yang beriman biwajibkan kepada kamu sekalian qisās, orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, wanita dengan wanita…"[23]

Hukuman qişāş didasarkan pada dalil-dalil syara’ bukan adat dan kebiasaan. oleh karena itu dalam memahami perubahan hukum karena perubahan keadaan harus dengan sikap yang hati-hati sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman, bahwa semua hukum secara mutlak bisa dirubah atau diganti karena perubahan atau perbedaan zaman, waktu dan tempat. Dalam persoalan yang seperti ini  menurutnya, Ibn al-Qayyim memilih menggunakan istilah perubahan fatwa, bukan perubahan hukum.[24]
       Dalam ilmu Uşūl al-Fiqh juga terdapat kaidah bahwa suatu hukum itu berjalan bersama sama dengan ‘illatnya. Kaidah hukum seperti ini memberi petunjuk bahwa persoalan ‘illat merupakan persoalan yang sangat penting dalam rangka menetapkan suatu hukum bagi suatu peristiwa sehingga terwujud suatu hukum yang benar-benar memiliki dasar pertimbangan yang jelas. Persoalan ‘illat hukum harus mendapat perhatian karena suatu peristiwa hukum meskipun memiliki kesamaan dengan peristiwa yang lain tetapi tidak mesti memiliki faktor, unsur-unsur dan penyebab yang sama, meskipun secara dahir bentuknya sama.[25]
       Pada masa awal Islam, masa sahabat Abū Bakar, terjadi peperangan antara Abū Bakar dengan orang-orang Islam yang menolak membayar zakat, orang-orang yang murtad dan para nabi palsu yaitu perang Yamāmah.[26] Padahal perang yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tidak pernah dilakukan terhadap orang yang telah mengucapkan syahadat (masuk Islam), karena orang yang telah mengucapkan syahadat darahnya terpelihara dan tidak boleh diperangi. Tetapi Abū Bakar melakukan peperangan terhadap orang Islam yang mengingkari untuk membayar zakat. Menurut Abū Bakar pengingkaran ini merupakan penolakan terhadap Islam, karena orang yang sudah masuk Islam selain harus melakukan salat juga harus membayar zakat. Kedudukan membayar zakat menempati tempat yang penting dalam agama.[27]
       Demikian juga Umar ibn al-Khattāb suatu ketika menerapkan hukuman bagi seorang pencuri, tetapi hukuman itu tidak sama dengan yang terdapat di dalam     al-Qur’an, karena di dalam al-Quran ditetapkan, bahwa seseorang yang melakukan pencurian harus dihukum dengan potong tangan, sebagaimana ayat:
” Seorang pencuri laki-laki dan seorang pencuri perempuan, potonglah kedua tangan mereka sebagai balasan atas apa yang mereka usahakan dan sebagai hukuman dari Allah.”[28]

Pada saat itu 'Umar tidak menghukum pencuri dengan potong tangan, karena Umar melihat bahwa pencurian yang dilakukan adalah karena keterpaksaan, karena kemiskinan, untuk mempertahankan hidup[29]sehingga apabila diterapkan potong tangan akan mengantarkan kepada ketidakadilan. 
Keputusan tersebut dilakukan karena 'Umar melihat bahwa ayat tentang potong tangan bagi pencuri adalah dalam keadaan normal bukan dalam keadan keterpaksaan (darurat) seperti yang dilakukan oleh orang yang karena kelaparan. Kelaparan ini merupakan suatu ‘illat hukum yang menjadikan hukum yang diterapkan berbeda dengan hukum yang ada dalam nas. Perbedaan hukum karena ‘illatnya berbeda.
       Berkaitan dengan persoalan zakat,  di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa terdapat delapan kelompok orang yang berhak mendapatkan zakat termasuk di dalamnya adalah kaum mu’allaf (orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah) sebagaimana dalam ayat:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan ) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai ketetapan dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana"[30]

Menurut Umar, zakat diberikan kepada mereka, para mu'allaf, ketika umat Islam masih lemah sehingga sangat membutuhkan mereka sehingga ketika umat Islam sudah kuat maka mereka tidak mendapatkan zakat, oleh karena itu pada masa Umar kaum mu’allaf tidak mendapat zakat. Menurut Umar, ‘illat hukum  bahwa kondisi umat Islam sudah kuat, merupakan dasar bagi keputusannya untuk tidak memberikan zakat kepada kaum mu’allaf dan bukan seabagai suatu tindakan untuk menolak ayat al-Qur’an.[31]
       Ijtihad yang dilakukan oleh Abū Bakar dan Umar secara tektual tidak sesuai dengan ketentuan nas apabila dipahami secara dahir/lahiriyah, tetapi ijtihad itu dilakukan bukan untuk menentang dan mengabaikan dan pengingkaran terhadap naş. Ijtihad mereka didasarkan pada suatu alasan, ‘illat hukum, yang dianggap pasti untuk merealisasikan kemaslahatan, kemaslahatan yang dipertimbangkan secara benar, karena tujuan dari syari’at Islam itu sendiri adalah merealisasikan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan. Sehingga suatu kemaslahatan yang tercapai dengan ketentuan hukum yang berbeda bukan didasari pada pengingkaran terhadap nas tidaklah bertentangan dengan nas itu sendiri, karena seluruh ketentuan hukum dalam naş adalah untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia.

I. Maqāşid as-Syarī’ah
       Secara umum dapat dipahami, bahwa Allah mengutus para rasul dan nabi agar mereka menyampaikan pesan wahyu yang berisi aturan-aturan dalam kehidupan yang bertujuan untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Demikian halnya Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya terdapat aturan-aturan dan norma yang mengatur kehidupan manusia memiliki tujuan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kebahagiaan sebagai tujuan tercapai apabila terjaga dan terpelihara kehidupannya artinya kemaslahatan kehidupan terealisasikan. al-Qur’an dan        as-Sunnah dengan berbagai ketentuan aturan dan hukum baik yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (habl min Allāh) maupun yang mengatur hubungan sesama makhluk (habl min an-nās) yang berisi peraturan-peraturan kehidupan dengan berbagai ketentuan hukuman bagi orang yang melakukan pelanggaran hanyalah memiliki tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan dan menghindarkan kemadaratan.
       Karena tujuan dari syari’at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan, manusia dituntut untuk senantiasa berusaha menggali pengetahuan untuk dapat mengetahui maksud dari syari’at (maqāşid as-syarī’ah), karena dari berbagai macam ketentuan hukum tentu memiliki tujuan tertentu, demikian juga manusia dituntut untuk berusaha mencari alasan atau ‘illat dari suatu hukum, sehingga kemaslahatan yang dicapai adalah kemaslahatan yang sebenarnya sebagaimana yang dituntut oleh syari’at.[32]
       Teori tentang tujuan syari’at (maqāşid as-syarī’ah) yang terkenal adalah teori maqāşid as-syarī’ah  yang dijelaskan Imām as-Syāţibī. Buku yang terkenal yang ditulis oleh Imām as-Syāţibī dalam membahas tujuan syariat adalah  Al-Muwāfaqāt fī Uşūl as-Syarī’ah.
       Menurut Imam as-Syatibi, bahwa tujuan dari syari’at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat. Dalam mewujudkan kemsalahatan tersebut tentulah harus dengan adanya bukti-bukti atau dalil-dalil yang jelas.[33]
       Dalam kitab yang lain, Al-I’tisam, Imām as-Syāţibī menjelaskan, bahwa syari’at Islam tidaklah menuntut sesuatu yang sulit, suatu beban yang berat bagi umat Islam dalam mengamalkan ajaran agama untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ketika dalam suatu kewajiban terdapat pilhan antara yang berat dan kemudahan hendaklah dipilih cara yang mudah, karena Allah menghendaki hal-hal yang mudah bagi manusia dan bukan suatu kesulitan.[34]
       Menurut Imām as-Syāţibī, maqāşid as-syarī’ah dibagi menjadi tiga tingkatan berdasarkan prioritas dan pentingnya tujuan tersebut, yaitu yang bersifat darūriyyah, hājiyyah dan tahsīniyyah.
1. Daruriyyah        
     Tujuan yang daruriyyah adalah suatu tujuan yang harus ada dan terwujud karena merupakan suatu keharusan/kemestian dalam hidup. Apabila tujuan yang pokok atau primer ini tidak terealisasikan maka kemaslahatan tidak akan tercapai bahkan yang tercapai adalah kerusakan, kekacauan dan kebinasaan dalam kehidupan dunia dan nanti diakhirat akan mendapatkan kerugian (celaka).[35]
       Tujuan yang bersifat darūriyyah (primer) meliputi lima hal:
1. Menjaga  agama
2. Menjaga jiwa
3. Menjaga akal
4. Menjaga keturunan
5. Menjaga harta.[36]
       Dalam menjaga kelima hal tersebut, persoalan peribadatan, adat (kebiasaan) pergaulan masyarakat termasuk persoalan ekonomi (mu’amalat) dan persoalan hukuman (jināyat) harus dipelihara. Dalam menjaga agama bukan hanya unsur-unsur ibadah yang dipelihara seperti keimanan, salat, zakat, puasa, haji dan lainnya tetapi juga kewajuban juhad terhadap orang-orang yang memerangi agama. Dalam menjaga  jiwa dan akal diperlukan penjagaan terhadap adat dan kebiasaan seperti makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Penjagaan terhadap persoalan mu’amalat dibutuhkan untuk menjaga dan memelihara keturunan dan harta. Sedangkan penerapan hukuman/jinayah dibutuhkan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap kelimanya itu.[37]
2. Hājiyyah
       Tujuan yang bersifat hājiyyah adalah suatu tujuan yang bersifat sekunder. Dengan terealisasikannya tujuan ini maka akan tercapai keluasan (tawassu’) dan terhindarkan dari kesempitan, kesukaran dan kesulitan dalam hidup. Tetapi apabila tujuan ini tidak terwujud tidak mengantarkan kepada kerusakan, tetapi manusia akan mengalami kesulitan dan kesukaran serta kesempitan. Tujuan ini juga berlaku pada persoalan peribadatan, adat kebiasaan, mu’amalat dan jinayat.
       Dalam persoalan peribadatan misalnya, terdapat ketentuan yang bersifat rukhşah yaitu suatu kemudahan yang diberikan Allah kepada manusia yang lebih ringan dan lebih mudah dibandingkan ketentuan yang asal. Di bolehkannya tayammum bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan sebagai pengganti dari wudu dimana tayyammum itu lebih mudah dan lebih ringan dibandingkan dengan berwudu.
       Dalam adat kebiasaan adalah dibolehkannya berburu dan memakan makanan yang enak selama itu makanan yang halal. Dalam mu’amalat dibolehkannya qirad dan salam, dan dalam jinayat dibolehkannya melakukan perdamaian atau gencatan senjata ketika terjadi peperangan dengan musuh. [38]
3. Tahsīniyyah
       Tujuan yang bersifat tahsīniyyah adalah tujuan yang bersifat tertier, mengambil sesuatu yang sesuai dengan rasa keindahan adat istiadat dan menghindarkan keadaan-keadaan yang menipu yang dipertimbangkan dengan akal yang sehat dan lurus.
       Tujuan yang bersifat tahsiniyah ini berlaku pada persoalan ibadah, separti menambah ibadah dengan melakukan amalan yang bersifat sunah (nawāfil) seperti bersadaqah, salat sunnah dan lainnya. Dalam adat kebiasaan dengan memperhatikan adab sopan santun dalam makan dan minum, menghindari minuman-minuman yang kotor dan menghindari tindakan pemborosan. Dalam mu’amalat mencegah terjadinya jual beli barang-barang yang najis dan dalam jinayat seperti mencegah pemberlakuan qisas bagi orang yang merdeka karena melakukan pembunuhan terhadap budak dan larangan membunuh wanita, anak-anak dan pendeta dalam perang.[39]
       Adanya prioritas tersebut harus menjadi pertimbangan dalam merealisasikan kemaslahatan dimana yang paling penting yaitu tujuan yang darūriyyah, harus didahulukan dari yang bersifat hājiyyah dan hajiyyah didahulukan dari yang bersifat tahsiniyyah.
       Abd al-Wahhāb Khallāf dalam kitab ‘Ilm Uşūl al-Fiqh nya juga menjelaskan, bahwa tujuan syari’at Islam meliputi tujuan yang bersifat darūriyyah, hājiyyah dan tahsiniyyah. Persoalan yang masuk dalam tujuan darūriyyah meliputi lima hal yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Syari’at Islam menuntut agar kelima hal tersebut terwujud secara keseluruhan dan terpelihara kelestarianya, termasuk menetapkan dukuman bagi siapapun yang melakukan pelanggaran terhadap tujuan tersebut.[40]
       Dalam memelihara agama, Allah mewajibkan keimanan dan rukun-rukun Islam seperti syahadat, salat, zakat, puasa dan haji dan peribadatan yang lain yang meneguhkan hati. Dan untuk melindungi agama diwajibkanlah jihad/perang terhadap orang-orang yang memerangi umat Islam dan memberi hukuman bagi orang yang keluar dari agama, murtad serta menghukum para ulama yang jahat (al-’ulamā’ as-sū’) yang memfatwakan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
       Untuk menjaga jiwa, manusia diperintahkan untuk makan, minum, berpakaian dan bertempat tinggal. Dan untuk melindunginya ditetapkanlah hukuman qisās, diyat dan kifarat bagi orang yang melakukan kejahatan terhadap jiwa.
       Untuk memelihara akal, manusia dilarang malakukan hal-hal yang merusak akal seperti meminum minuman yang memabukan, dan memberikan hukuman bagi orang yang meminum minuman tersebut.
       Untuk memelihara keturunan manusia diperintahkan untuk menikah dan untuk menghukum orang yang melakukan pelanggaran terhadap keturunan atau kehormatan seperti hukuman bagi pezina dan bagi orang yang melakukan qazaf (menuduh orang lain berzina).
       Sedangkan untuk memelihara harta, syari’at Islam memerintahkan manusia untuk mencari harta/rizqi yang baik dengan bekerja atau dengan perdagangan. Dan untuk melindungi harta diterapkan hukuman had bagi pencuri dan larangan melakukan penipuan, memakan harta orang lain secara batil serta diharamkannya riba.[41]
       Berdasarkan teori maqāşid as-syarī’ah Imām as-Syāţibī, termasuk yang kemudian dijelaskan oleh Abd al-Wahhāb Khallāf, maka segala ketetapan atau ketentuan yang ditetapkan oleh soerang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum bagi suatu persoalan harus dalam bingkai kemaslahatan yang lima tersebut. Sehingga tidak boleh ada suatu tindakan apapun yang mengancam kelima hal tersebut, karena ketika ada salah satu dari kelima hal tersebut yang dilanggar atau tidak terealisasi, maka kahidupan manusia tidak akan memperoleh kebahagian dan kemaslahatan.



J. Analisis terhadap pendapat ulama
1) Kawin hamil
            Kebolehan secara mutlak untuk menikahi wanita hamil dan kemudian berhubungan seks tanpa adanya syarat apapun merupakan pendapat yang kurang mempertimbangkan arti penting dan sucinya lembaga perkawinan dan tujuan perkawinan itu sendiri yaitu untuk mendapatkan keturunan yang suci dan bahwa hubungan seks dalam ikatan perkawinan merupakan suatu ibadah. Ketika suatu perkawinan merupakan kelanjutan dari perzinaan (kehamilan di luar nikah) maka kemulyaan lembaga perkawinan menjadi rusak.
            Sedangkan pendapat Abu hanifah yang membolehkan terjadinya kawin hamil dengan syarat antara suam- isteri tersebut baru boleh berhubungan setelah isterinya melahirkan tidak sesuai dengan pengertian dari akad nikah, bahwa akad nikah adalah suatu akad yang berfaidah hak untuk melakukan mut’ah (berseng-senang / hubungan seks) sebagai tujuan[42]. Apabila perkawinan dengan wanita hamil adalah perkawinan yang sah maka hubungan seks antara suami isteripun dibolehkan, dan bukan harus menungu sampai isterinya melahirkan.
            Sedangkan pendapat Imam malik dan Ahmad merupakan pendapat yang lebih kuat, karena perkawinan adalah suatu lembaga yang suci, sehingga tidak boleh dijadikan kelanjutan dari perzinaan (hamil karena zina). Perkawinan merupakan jalan yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan perzinaan. Perkawinan lembaga yang membuka kehalalan hubungan laki-laki dan perempuan.
2). Status anak
            Persoalan nasab merupakan persoalan yang sangat penting, karena berkaitan dengan hak dan kewajiban orang tua kepada anak dan sebaliknya, persoalan perwalian (dalam perkawinan bagi anak perempuan) dan juga persoalan warisan.  Oleh karena itu penentuan tentang nasab harus didasarkan kepada bukti-bukti yang jelas (rajih) bukan hanya didasarkan kepada perkiraan saja .
            Penentuan nasab yang dilakukan oleh Abu Hanifah dengan hanya didasarkan terjadinya akad perkawinan dianggap cukup tanpa didasarkan kepada terjadinya hubungan seks antara suami-isteri merupakan pendapat yang tidak kuat, karena yang menjadi penyebab kehamilan adalah hubungan seks, bukan akad perkawinan.
 Demikian juga pendapat Imam as-Syafi’i dan Malik yang menganggap bahwa termasuk anak yang sah adalah ketika antara suami dan isteri itu dimungkinkan terjadi hubungan seks setelah terjadinya perkawinan,  merupakan pendapat yang kurang kuat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat Ibn Taimiyyah, yang mengharuskan bukti yang kuat, bahwa anak tersebut adalah hasil dari hubungan seks antara suami isteri setelah terjadinya akad perkawinan.
Berkaitan dengan masa minimal suatu kehamilan yaituenam bulan, apabila berpegang kepada pendapat Imam as-Syafi’i tentang kebolehan secara mutlak menikahi wanita hamil dan berhubungan seks setelah akad perkawinan, maka menimbulkan persoalan yang baru; apabila kawin hamil itu dilakukan dan pada masa sebelum enam bulan perkawinan  isterinya melahirkan,  anaknya dinsabkan kepada siapa ? kalau anak tersebut dinasabkan kepada suami ibunya maka bertentangtan dengan prinsip enam bulan minimal masa hamil. Pendapat syafi’i ini juga tidak sejalan dengan  pendapatnya sendiri  bahwa seorang laki-laki  boleh menikah dengan perempuan yang merupakan anak hasil perzinaannya, karena anak hasil zina bukan anaknya sendiri. Kalau laki-laki tersebut menikahi seorang perempuan yang hamil (karena hamil di luar nikah), kemudian lahir seorang perempuan, bolehkan laki-laki tersebut menikahi anak isterinya , karena sebagai hasil dari zina?
Pendapat Abu Hanifah, bahwa apabila isteri yang hamil itu melahirkan pada masa perkawinan kurang dari enam bulan diserahkan kepada suaminya boleh menolak anak tersebut dan boleh mengakuinya sebagai anaknya dengan syarat anak itu bukan hasil dari zina menunjukan bahwa Abu hanifah tidak menyetujui terjadinya kawin hamil dan anak yang lahir dalam kawin hamil (karena perzinaan) tidak bisa dinasabkan kepada suami ibunya. Oleh karena itu berdasarkan pendapat Abu Hanifah, terjadinya kawin hamil tidak memberikan solusi  dalam persoalan nasab anak.

K.  Analisis ‘Illat Hukum dan Maqāshid as-Syari’ah (tujuan)
            ‘Illat hukum merupakan suatu syarat, keadaan atau peristiwa yang berkaitan dengan suatu ketentuan hukum, ketika keadaan atau peristiwa terebut berbeda dengan yang telah ditetapkan maka akan mempengaruhi ketentuan hukum, Orang yang shalat haruslah berwudlu memakai air. Apabila tidak ada air maka dibolehkan tayammum Tidak adanya air berarti wudlu tidak bisa dilakukan, sehingga merupakan ‘illat yang merubah ketentuan hukum yaitu dibolehkannya bertayammum dengan menggunakan debu.
            Dalam persoalan kawin hamil, bahwa alasan dilakukannya perkawinan ini adalah hamil di luar nikah (karena perzinaan),  karena tidak punya suami tidak bisa dimasukan sebagai alasan yang merupakan illat hukum, karena antara zina dan perkawinan sama sekali tidak berkaitan dan tidak saling mempengaruhi. Bahkan keduanya bertentangan, Zina adalah sesuatu yang dilarang sedangkan perkawinan adalah sesuatu yang diperintahkan. Bagaimana mungkin sesuatu yang bertentangan menjadi penyebab bagi terjadinya sesuatu  yang lain. Orang yang melakukan zina bukanlah untuk dinikahkan tetapi harus mendapatkan hukuman.
            Sedangkan tujuan dari kawin hamil adalah untuk menjaga kemaslahatan ibu dan anak. Tujuan ini dapat dibenarkan, karena dengan adanya seorang suami maka masa depan isteri dan anaknya akan lebih terjaga. Tetapi disamping tercapainya kemaslahatan bagi pelaku kawin hamil dan anaknya, kebolehan kawin hamil menimbulkan madharat yang luas di masyarakat. Kebolehan kawin hamil merupakan pintu yang terbuka (legalisasi)untuk melakukan perzinaan, karena tidak ada hukuman bagi pelaku perzinaan. Kalau kemudian dari perzinaan tersebut terjadi kehamilan jalan keluarnya sudah dibuka yaitu kawin hamil. Kemadaratan yang timbul lebih besar dan lebih luar daripada kemaslahatan yang didapatkan
            Kemaslahatan yang mungkin terjadi adalah kemaslahatan jiwa dan harta dengan kehidupan yang cukup dan terhindar dari kelaparan, tetapi menimbulkan  dan kemadharatan terhadap agama dan keturunan. Kawin hamil membahayakan agama karena orang yang berzina berarti dengan sengaja melanggar ketentuan-ketentuan agama  Demkian juga mengancan kesucian keturunan, karena tindakan zina itu sendiri merupakan penodaan terhadap kehormatan dan kesucian keturunan.
Kemaslahatan seperti ini tentunya bukan kemaslahatan yang dikehendari olehi hukum Islam. Kmesalahatan yang dikehendaki adalah suatu kemaslahatan yang betul-betul kemaslahatan bagi semua orang dan tidak menimbulkan kemadharatan.Dalam hukum Islam terdapat kaidah “ meninggalkan kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kemanfaatan (dar’u al-mafāsid muqadamun ‘alā jalb al-mashālih). Demikian juga terdapat kaidah bahwa ‘kemadharatan harus dihilangkan[43]
            Apabila kawin hamil itu dianggap sebagai jalan yang harus ditempuh, maka kewajiban pemerintah selain mengatur perkawinan tersebut juga harus ditetapkan aturan tentang larangan zina dan hukuman had, sehingga semakian lama perzinaan akandihindari sehingga tidak terjadi kehamilan di luar perkawinan dan pada akhirnya tidak ada kawin hamil.

L. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan; Pertama Kebolehan kawin hamil secara mutlak tidak memiliki alasan dan dasar yang kuat, Kedua. Anak yang lahir dalam kawin hamil tidak memiliki status yang jelas. Ketiga, kehamilan di luar nikah sebagai hasil dari perzinaan tidak bisa dijadikan illat hukum , sehingga dibolehkan kawin hamil. Keempat. Dengan kawin hamil kemaslahatan ibi dan akan akan lebih terjaga, tetapi kemadharatan yang timbul lebih banyak dan lebih luas.

Wallāhu a’lamu bi as-shawāb

M. Daftar Pustaka
Al-Ahkām as-Syar’iyyah fi  al-Ahwā as-Syakhşiyyah ‘Al ā al-Mazhab al-imām al-A’dham  Abī Hanīfah an-Nu’man (Mesir; Maktabat wa mathba’at Muhammad ‘Alī Shabīh wa Auladih, 1965).

Dahlan, Abdul ‘Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. jil. 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve 1999)

.Al-Hamīd ,Muhammad Muhy ad-Dīn Abd, Sunan Abi Dawud , Jil. 2 (ttp: Dār Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah, tt).

Al-Jazīri, Abd ar-Rahmān, Kitāb al-Fiqh ‘Alā al-Mazāhib al-‘Arba’ah (Mesir: Maktabat at-Tijāriyyah al-Kubrā, 1969).

Khallāf, Abd al-Wahhāb ‘IlmUshul al-Fiqh, cet. VIII (Kairo: Maktabat ad-Da’wat al-Islāmiyyah Syabāb al-Azhar, 1987).

Kompilasi Hukum Islam (ttp: Media Center, tt).

Al-Maududi,  Abu al-A’la dan Fazl Ahmad (terj), Pedoman Perkawinan Dalam Islam (ttp:  Darul Ulum Press, 1983).

Mugniyyah, Muhammad Jawwād, Al-Ahwaāl as-Syakhşiyyah (Beirut:  Dār al-‘ilm li al-Malayain, tt).

An-Nadwi Ali Ahmad, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah (Dimsyaq: Dār al-Qalam, tt).

Al-Qardāwī Yusuf, As-Siyāsat as-Syar’iyyah, Cet. I (Kairo: Maktabat Wahbah, 1998).

Al-Qaţţān,  Mannā’ Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (ttp: Mansyūrā al-’Aşr al-Hadīts, 1983).

As-Siba’i,  Mustafa, Al-Ahwaāl as-Syakhşiyyah, Juz. I (Dimsyaq: Mathba’at Jāmiah Dimsyaq, 1965).

ٍSoemiyati, Hukum Perkawinan Islan Dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1986).

Undang-Undang Perkawinan (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, tt).

Zahrah, Muhammad Abū Uşūl al-Fiqh (ttp: Dār al-Fikr al-’Arabī, tt)..

Zahrah, Muhammad Abu Al-Ahwāl as-Syakhşiyyah (ttp: Dār  al-Fikr al-Arabi, tt).


[1] An-Nisa (4);3.
[2] An-Nisâ (4): 3.
[3] Ar-Rūm (30); 21
[4] ٍSoemiyati, Hukum Perkawinan Islan Dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 13-15.
[5]Abu al-A’la al-Maududi dan Fazl Ahmad (terj), Pedoman Perkawinan Dalam Islam (ttp:  Darul Ulum Press, 1983), hlm. 7-8.
[6] Had aadalah suatu hukuman yang ketentuan berat-ringannya telah ditentukan di dalam nash. Had bagi pezina muhsan, orang yang sudah menikah adalah di rajam sampai mati . Sedangkan hukuman had bagi pezina ghairu muhsan, pezina yang belum menikah adalah dicambuk seratus (100) kali sebagaimana ketentuan Surat An-Nur (24) ayat 2.
[7] At-Thalaq (65): 4.
[8]Lihat Asyhari Andul Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil, cet. III ( Jakarta: Andes Utama, 1993), hlm. 101.
[9]Hasbi as-Shiddiqi menjelaskan, bahwa Abu Hanifah memakruhkan terjadinys hubungan seks antara suami-isteri tersebut sampai isterinya melahirkan. Hasbi as-Shiddiqi, Ahkam al-Fiqh al-Islami (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 284.
[10]Asyhari Abdul Ghafar, Pandangan Islam., hlm. 102-103.
[11]At-Thalaq (65): 4.
[12]Muhammad Muhy ad-Dīn Abd al-Hamīd, Sunan Abi Dawud , Jil. 2 (ttp: Dār Ihya as-Sunnah an-Nabawiyyah, tt), hadis no. 2157,  hlm. 348.
[13]Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwāl as-Syakhşiyyah (ttp: Dār  al-Fikr al-Arabi, tt), hlm. 453.
[14] Ibid., hlm. 402-403.
[15] Ibid., hlm. 289.
[16]Muhammad Jawwād Mugniyyah, Al-Ahwaāl as-Syakhşiyyah (Beirut:  Dār al-‘ilm li al-Malayain, tt), hlm. 76.
[17] Ibid. Pendapat inilah yang diambil oleh Mustafa as-Siba’i. Lihat Mustfa as-Siba’I, Al-Ahwaāl as-Syakhşiyyah, Juz. I (Dimsyaq: Mathba’at Jāmiah Dimsyaq, 1965), hlm. 288.

[18] Al-Ahk ā m as-Syar’iyyah fi  al-Ahwā as-Syakhşiyyah ‘Al ā al-mazhab al-imām al-A’dham  Abī Hanīfah an-Nu’man (mesir; Maktabat wa mathba’at Muhammad ‘Alī Shabīh wa Auladih, 1965), hlm. 52.
[19]Ibid., hlm. 77.
[20]Mustafa as-Siba’I, Al-Ahwāl., hlm.275-276. Lihat juga Muhammad Abu zahrah, Al-Ahwāl., hlm. 402.
[21] Muhammad Abu zahrah, Al-Ahwāl., hlm. 452.
[22]  Yusuf al-Qardāwī, As-Siyāsat as-Syar’iyyah, Cet. I (Kairo: Maktabat Wahbah, 1998),  hlm. 295.
[23]ِِAl-Baqarah (2): 178.
[24]  Ibid., hlm. 295-297.
 [25] Persoalan ‘illat sebenarnya bukan khusus dalam pembahasan tentang qiyas meskipun dalam kebiasaan ketika digunakan istilah illat biasanya tertuju pada persoalan qiyas. Penggunaan istilah ‘illat hukum biasanya dilakukan dalam pembicaraan tentang qiyas, sebab dalam qiyās ‘illat merupakan unsur atau rukun dalam qiyās. Muhammad Abū Zahrah, Uşūl al-Fiqh (ttp: Dār al-Fikr al-’Arabī, tt.), hlm. 237.
[26]  Perang Yamāmah terjadi pada tahun 12 H. Dalam perang ini banyak sahabat yang hafal   al-Qur'an meninggal dunia. Perang ini-lah yang mendorong ‘Umar agar Abū Bakar malakukan pengumpulan al-Qur’an, karena dengan banyaknya penghafal al-Qur'an yang meninggal dikhawatirkan kelestarian al-Qur'an akan terancam.  Mannā’ al-Qaţţān, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (ttp: Mansyūrā al-’Aşr al-Hadīts, 1983), hlm. 125.
[27]  Lihat al-Mujādalah (58): 13 dan al-Muzammil (73): 20 yang berisi perintah membayar zakat merupakan kelanjutan dari melakukan shalat.
[28]   Al-Mā’idah (5): 38.
 [29] Abdul ‘Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. jil. 2 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve 1999), hlm. 376.          
[30] At-Taubah (9): 60.  
[31]  Abdul ‘Aziz Dahlan, Ensiklopedi., jil. 2, hlm. 376..
[32]  Yūsuf al-Qardāwīi, As-Siyāsat., hlm. 87 dan 231.
[33] As-Syāţibī, Al-Muwāfaqāt fī Uşūl as-Syarī’ah, Juz. II (ttp: Maţba’at as-Syarf al-Adnā, tt.), hlm. 6,
 [34] As-Syāţibī, Al-I’tişām, Juz. I (Riyād: Maktabat ar- Riyād  al-Hadītsah, tt.), hlm. 340-341.
  [35] As-Syāţibī, Al-Muwāfaqat., hlm. 8.
[36] Dalam hukum Jinayat (pidana Islam) pelanggaran terhadap tujuan syariat yang lima tersebut mendapatkan hukuman yang sudah ditentukan  kadarnya atau  hudud, artinya suatu hukuman yang ketentuan batasannya telah ditentukan di dalam nas, seperti kejahatan terhadap agama dengan murtad atau memerangi agama maka hukumannya adalah hukuman mati. Bagi orang yang melanggar jwa dengan melakukan pembnuhan maka hukumannya adalah qisās (Al-Baqarah (2): 178). Pelanggaran terhadap akal dengan meminum minuman keras hukumannya adalah cambuk. Pelanggaran terhadap keturunan misalnya dengan berzina maka dihukum cambuk 100 kali bagi orang yang belum menikah (gairu muhşan) (An-Nur (24) : 2) dan di rajam, dilempari dengan batu sampai mati bagi pezina muhşan, orang yang sudah menikah, serta potong tangan bagi orang yang melakukan kejahatan terhadap harta, misalnya melakukan pencurian (Al-Mā’idah (5): 38).
[37]  Ibid., hlm. 8-9.
[38]  Ibid., hlm. 10-11.
[39]  Ibid., hlm.11-12.
[40] Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘IlmUshul al-Fiqh, cet. VIII (kairo: Maktabat ad-Da’wat al-Islāmiyyah Syabāb al-Azhar, 1987),, hlm. 16-17.
[41]  Ibid., hlm. 200-201.       
[42] Abd ar-Rahmān al-Jazīri, Kitāb al-Fiqh ‘Alā al-Mazāhib al-‘Arba’ah (Mesir: Maktabat at-Tijāriyyah al-Kubrā, 1969), hlm. 1.
[43]‘Ali Ahmad an-Nadwi, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah (Dimsyaq: Dār al-Qalam, tt), hlm. 252.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar