STOP GRATIFIKASI KUA

STOP GRATIFIKASI KUA

Senin, 08 Juni 2015

PENCATATAN NIKAH SEBAGAI RUKUN PERKAWINAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latarbelakang Masalah
       Dalam kehidupan manusia, memelihara keturunan merupakan sesuatu yang amat sangat krusial. Sebab dengan keturunan manusia mempunyai generasi penerus cita-cita, dan  tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi akan dapat diteruskan. Oleh karena itu,  sarana untuk merealisasikan keinginan mempertahankan keturunan tersebut, diperkenankanlah lembaga perkawinan, yaitu lembaga bersatunya seorang laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga  yang diharapkan akan melahirkan anak-anak yang akan menjadi generasi penerus orang tua mereka. Dengan demikian, maka perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh keturunan yang sah, memelihara jenis generasi manusia, bahkan masing-masing pihak antara suami dan istri akan mendapatkan ketenangan batin yang dilandasi perasaan cinta kasih.[1]
      Perkawinan adalah salah satu sendi pokok  pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat dihindari.[2] Dengan demikian, pernikahan merupakan seruan agama yang harus dijalankan oleh manusia bagi yang mampu untuk berkeluarga.  Banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari sebuah pernikahan selain sunnatullah yang telah digariskan ketentuannya, pernikahan juga dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih terarah, tenang, tentram dan bahagia. Pernikahan adalah sebagai perantara untuk menyatukan dua hati yang berbeda, memberikan kasih sayang, perhatian dan kepedulian antara laki-laki dan perempuan. Disamping seruan agama,  pernikahan juga merupakan ibadah, karena dengan pernikahan dilakukan untuk menyempurnakan separoh agamanya.[3]
      Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa  Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Esa.[4] Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan menurut  hukum Islam adalah pernikahan ialah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah.[5]
       Menurut Abu Zahrah, perkawinan adalah akad yang mengakibatkan halalnya hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, saling tolong menolong di antara keduanya, dan saling memiliki serta memberi hak dan kewajiban.[6] Definisi lain tentang nikah adalah ikatan lahir batin antara  seorang pria dengan seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama. Pernikahan juga diartikan suatu perjanjian atau akad antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagai suami isteri yang sah yang mengandung syarat -syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat.[7]
       Berdasarkan hal tersebut di atas , maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat  sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan., pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.[8] Dengan demikian,  perkawinan memiliki beberapa aspek, baik  aspek personal (penyaluran kebutuhan biologis dan reproduksi generasi), aspek  sosial ( Rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat dan membuat manusia kreatif), aspek ritual, aspek moral  dan aspek kultural.
       Maksud dan tujuan perkawinan adalah agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, bahagia  dan sejahtera lahir batin.  Oleh karena itu, dalam rangka untuk mewujudkan  terbina dan terpeliharanya keluarga yang kekal, bahagia dan sejahtera, terlindungi dan terlaksananya hak dan kewajiban dalam hubungan antara suami dan isteri serta akibat yang ditimbulkan oleh perkawinan, maka dalam Undang N0. 1 Tahun  1974  diatur  tentang  pencatatan perkawinan.  Dalam pasal    2   UU   No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap  perkawinan dicatat menurut  peraturan perundang-undangan yang berlaku.[9]
      Berkaitan dengan hal tersebut di atas serta hubungannya dengan pencatatan perkawinan, maka dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 1 disebutkan bahwa bagi yang beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya, yang kemudian lembaganya dikenal dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan. Sedang dari segi materi, perkawinan bagi umat Islam tetap berpedoman kepada hukum agamanya (fikih munakahat), sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
       Berdasarkan ketentuan-ketentuan aturan,  maka dapat disimpulkan bahwa ada dua syarat  yang harus dipenuhi dalam suatu perkawinan, yaitu syarat-syarat keagamaan dan syarat -syarat administratif kenegaraan. Syarat-syarat keagamaan adalah segala ketentuan yang harus dipenuhi menurut hukum agama, sedangkan syarat-syarat administtratif kenegaraan berkaitan dengan pemenuhan pencatatan peristiwa nikah.[10]
      Terkait dengan masalah pencatatan nikah,   dalam kenyataannya di kalangan masyarakat Islam masih terdapat dua cara pandang antagonistik terhadap norma hukum atau peraturan yang ada. Di satu sisi aturan hukum yang dinyatakan bersumber dari al-Quran dan Sunnah atau selama dikaitkan dengan produk pemikiran fuqaha, sekalipun memiliki dimensi khilafiah dipandang memiliki nilai sakralistik dan bersifat mengikat. Sementara ketika norma hukum itu telah berbentuk dan diformulasikan dalam wujud peraturan perundang-undangan, walaupun menjadi bagian dari kerangka organik atau bahkan diserap dari dan tidak bertentangan dengan aturan hukum jenis pertama tetap dipandang sebagai aturan yang tidak memiliki nilai sakralistik sehingga dapat dikesampingkan dengan mudah. Salah satu hal yang dianggap baru dan belum mendapat tempat secara utuh di masyarakat adalah keharusan adanya pencatatan terhadap setiap perkawinan yang dilangsungkan.
      Dalam kehidupan umat Islam,  muncul pandangan adanya dualisme hukum dalam peraturan perkawinan di Indonesia.  Sebab meskipun dalam hal-hal tertentu umat Islam tetap berpegang pada hukum agamanya, tetapi disisi lain dengan statusnya sebagai warga Negara Indonesia juga harus tunduk pada peraturan perundangan lainnya, yang tidak jarang terdapat pertentangan diantaranya. Termasuk dalam hal ini adalah masalah pencatatan perkawinan. 
       Sebagian masyarakat memandang bahwa pencatatan perkawinan hanya sekedar kewajiban administratif semata, sehingga kalau hukum agamanya tidak ada perintah atau larangan, maka tidak dianggap sebagai satu kesalahan jika melanggar aturan perundangan.  Sehingga mereka merasa cukup ketika suatu perkawinan sudah terpenuhi segala syarat dan rukunnya serta sah menurut hukum agama. Di sisi lain, pemerintah dengan segala perangkat peraturan yang dimiliki tidak mampu melakukan  upaya paksa terhadap masyarakat untuk taat kepada aturan pencatatan perkawinan. Hal ini sekali lagi karena masyarakat Indonesia yang agamis tetap menganggap ketaatan kepada hukum agamanya lebih utama dibanding lainnya.
     Terkait hal tersebut, dalam prakteknya  pernikahan bawah tangan  atau dikenal masyarakat dengan nikah sirri (tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang),   hingga kini masih banyak terjadi di masyarakat muslim Indonesia. Padahal pernikahan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan serta tidak melindungi hak-hak perempuan dan juga hak-hak anak.  Terkait dengan masalah tersebut Komisi Fatwa  MUI Tahun 2006 tentang  Masa’il Waqi’iyyah Mu’ashirah Nikah di Bawah Tangan”.  difatwakan bahwa pernikahan bawah tangan hukumnya –nikah sirri- sah karena terpenuhi syarat dan rukunnya nikah, tetapi haram jika terdapat madlarat.[11]

B.     Perumusan Pokok Masalah
      Dari uraian tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pokok masalah yang akan dibahas dan dikaji dalam penulisan ini, yaitu:
1, Sejauhmnakah urgensi pencatatan nikah bgai masyarakat muslim ?
2. Dapatkah pencatatan nikah dimasukkan menjadi rukun nikah?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.      Tujuan Penulisan
      Berdasarkan pada perumusan pokok masalah di atas, maka tujuan penulisan  ini adalah :
a.    Untuk mengetahui  urgensi pencatatan nikah bagi masyarakat muslim.
b.    Untuk mengetahui   argumentasi pencatatan nikah dapat dijadikan rukun nikah.
2.      Manfaat Penulisan
       Berkaitan dengan tujuan penulisan di atas , maka signifikansi penulisan ini  adalah sebagai berikut :
a.       Aspek teoritis
  Hasil penulisan ini  diharapkan dapat memberi manfaat pada khazanah teoritis dan ilmiah yang mengacu pada kajian epistemologis terkait dengan pencatatan nikah sebagai rukun nikah.
b.      Aspek Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan dan landasan penting bagi  khazanah keilmuan terkait dengan masalah pencatatan nikah dimasukkan menjadi rukun nikah berdasarkan asas kemaslahatan bagi masyarakat muslim.
C.    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab yaitu :
BAB        I.  PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah,   Tujuan dan Manfaat Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB     II.   KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI PENULISAN
Bab ini terdiri dari : Kajian Teoritis dan    Metodologi Penulisan.
BAB    III.   PENCATATAN  SEBAGAI RUKUN NIKAH
Bab ini terdiri dari : Urgensi Pencatatan Nikah dan Pencatatan Sebagai Rukun Nikah
BAB.   IV.   KESIMPULAN.
Bab ini terdiri dari Kesimpulan dan Saran


BAB     II
KAJIAN TEORITIS DAN METODOLOGI PENULISAN

A.    Kajian Toritis
       Sumber hukum Islam adalah wahyu Allah, yang dituangkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum tidak banyak  di bandingkan jumlah ayat al-Qur’an. Demikian pula apabila dibandingkan dengan masalah yang harus diberi ketetapan hukum, yang selalu muncul dalam kehidupan di dunia ini. Akan tetapi secara umum Allah menerangkan bahwa bahwa semua masalah bahwa semua masalah (pokok-pokoknya) terdapat dalam al-Qur’an.
      Penunjukkan al-Qur’an tehadap Sunnah Rasul ditunjukkan dalam beberapa ayat, untuk dapat memahami ayat-ayat yang global. Rasulullah telah menjadi uswatun hasanah bagaimana menjalankan ajaran al-Qur’an. Hadits Mu’adz bin Jabal menunjukkan bahwa Rasulullah memberi izin kepada Mu;adz untuk berijtihad dalam hal-hal yang  tidak terdapat secara jelas dalam al-Qur’an  dan Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam nash secara terinci menjadi bidang ijtihad yang sangat  luas. [12]
       Syari’at Islam merupakan syari’at terakhir yang mengandung berbagai keistimewaan, antara lain bersifat umum, abadi, meliputi segala bidang, dan merupakan rahmat bagi seluruh alam. Al-Qur’an merupakan dasar-dasar hukum yang mampu memenuhi kebutuhan sepanjang zaman. Atas dasar itu  Allah telah memberikan hak kepada orang-orang yang memiliki kemampuan melakukan ijtihad bila terdapat masalah-masalah yang tidak shahih atau ditetapkan secara tidak jelas dan tidak pasti (qath’i) di dalam al-Qur’an. Dengan melakukan ijtihad dalam beberapa persoalan yang belum jelas tadi, syari’at Islam mampu menghadapi dan menjawab masalah baru yang lain seiring dengan kemajuan budaya manusia, dan persoalan –persoalan baru yang belum ada saat syari’at itu lahir, dengan tujuan agar manusia tetap sejalan  dengan ketentuan Allah.[13]
      Dengan kata lain, ajaran dan hukum Islam bersifat universal dan abadi, yang harus diyakini dan diamalkan oleh setiap muslim dimanapun dia berada dan pada zaman kapun dia hidup, yang dalam aplikasinya memiliki kapasitas dan kelenturan untuk menampung keanekaragaman budaya dan mempunyai kemampuan untuk mengembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Ajaran dan hukum yang demikian watak dan sifatnya itu akan tetap relevan untuk diterapkan di mana saja dan kapan saja.[14]
      Dengan demikian, syari’at Islam itu elastis, berkembang dan sanggup menghadapi masalah-masalah sulit yang selalu mengalami perkembangan dan pembaharuan. Di samping itu, dalam pusaka perundangan Islam terdapat prinsip-prinsip tetap guna menyelesaikan soal-soal pelik termasuk masalah-masalah penting dewasa ini.[15]
      Syari’at Islam bertujuan untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Nilai kemaslahatan dan martabat manusia sangatlah terhormat dalam hukum Islam, sejalan dengan petunjuk al-Qur’an yang menetapkan manusia sebagai manusia terhormat. Maka lima komponen dasar dari kemaslahatan hidupnya yakni jiwa raga dan kehormatannya, akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya, dan agama keyakinannya ; semua itu merupakan landasan dan semangat dan menjiwai seluruh batang tubuh hukum Islam. Dalam kaitan itu dapat dipahami keberadaan hukum Islam itu sebagai rahmat untuk dan kesejahteraan lahir dan batin bagi semua (rahmatan lil alamin).[16]
      Hukum syara’ atau yang disebut khitab Allah itu diformulasikan oleh para fuqaha dalam aturan-aturan terurai dengan menggunakan daya nalar yang disebut ijtihad. Hasil formulasi ijtihad itu secara sederhana disebut fiqh. Satu kenyataan hasil formulasi ijtihad itu mengalami perubahan dan perkembangan, sehingga secara mudah dikatakan bahwa hukum mengalami perubahan. Yang sebenarnya adalah pemikiran tentang hukum atau fiqh yang mengalami perkembangan. Terkait dengan hal tersebut, Prof. Hasbi Ashshidiqie, mengatakan  fiqh adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat.[17]
       Dalam pemikiran hukum Islam terdapat konsep istishlah yang menjadikan maslahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum sekunder, konsep ini disebut maslahah mursalah. Konsep penalaran ini semula dikembangkan oleh aliran pemikiran hukum Islam madzhab Malikiyyah. Tapi dapat kita catat, pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan tabi’in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam Ghazali dari aliran Syafi’iyyah.
       Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini adalah kenyataannya bahwa syariat Islam dalam berbagai pengaturan  dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya  maslahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam  kehidupannya di  permukaan bumi ). Maka tidak dituntut untuk  dilakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada ghalibnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka mewujudkan maslahah dan mencegah mafsadah adalah sesuatu yang nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas syari’at yang diturunkan Allah kepada semua RasulNya. Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.[18]
    Dengan demikian, Syari’at Islam menginsyafi bahwa maslahat umum itu menempati kedudukan penting dan menonjol di dalamnya. Berkaitan dengan hal itu, Ibnu Qayyim mengatakan bahwa  syari’at itu sendi dasarnya ialah kebaikan dan kepentingan hamba, baik untuk kehidupan dunia dan akhirat, semua merupakan keadilan dan rahmat, kebaikan serta maslahat.[19]  Dengan demikian, syari’at Islam memberikan respons terhadap tuntutan kebutuhan praktis dalam situasi zaman modern.
       Terkait dengan hal tersebut,  karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Bahkan pencatatan nikah menempati tempat terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatkannya perkawinan yang berhubungan dengan soal penting seperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Lahirnya penertiban administrasi modern telah membawa kemudahan pencatatan  nikah dan kemaslahatan dari pencatatan tersebut.[20]  
      Al-Qur’an dalam suatu  ayat terpanjang dan disebut ayat perutangan, merintahkan pencatatan hutang dan perikatan. Bertemunya antara kepentingan praktis dan tinjauan fiqh membawa penyelidikan mengenai masalah pencatatan dan mengadakan pemecahan masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatkannya akad nikah. Dengan demikian, pencatatan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan hutang dan perikatan yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يأيهاالذين أمنوا اذاتدا ينتم بدين الى أجل مسمى فاكتبوه
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”[21]

       Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
           Pencatatan pernikahan dalam perundangan dan peraturan di Indonesia di atur di dalam  UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya, yang kemudian lembaganya dikenal dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan. [22]
            Selanjutnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa: tiap-tiap  perkawinan dicatat menurut  peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Kemudian pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, di atur dalam  PP No. 9 Tahun 1975. Dalam pasal 1 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa bagi yang beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya, yang kemudian lembaganya dikenal dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan.[23]
             Selanjutnya dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa : Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954. Di samping itu, Dalam pasal 6 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa : Untuk memenuhi ketentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa :Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[24]
      Pencatatan nikah bertujuan  untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka.
      Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: 
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ
وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.

Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat.”[25]
       Terkait dengan masalah tersebut Komisi Fatwa  MUI Tahun 2006 tentang  Masa’il Waqi’iyyah Mu’ashirah Nikah di Bawah Tangan”.  difatwakan bahwa pernikahan bawah tangan hukumnya sah karena terpenuhi syarat dan rukunnya nikah, tetapi haram jika terdapat madlarat. Terkait dengan hal ini, Ma’ruf Amin menegaskan hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Dengan demikian, haram itu  datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tetapi menjadi berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga ia berdosa karena mengorbankan isteri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban.
    Kemudian selanjutnya untuk menyikapi masalah nikah bawah tangan Ijtihad Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia  sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi yang berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak madlarrat. Secara eksplisit keharusan pencatatan pernikahan secara resmi pada intansi berwenang sebagai upaya preventif, dalam rangka syadz al-dzari’ah.  Keharusan pencatatan  pernikahan didasarkan pada upaya perwujudan kemaslahatan dan menghindari dampak negatif yang terjadi dan keharusan ketaatan pada ulil amri. [26]
      Menurut Firdaus sekretaris Lembaga Bahtsul Masail NU Sumatera Barat, mengatakan bahwa pernikahan bawah tangan -–sirri-- yang memenuhi sejumlah kriteria dan rukun pernikahan, tapi tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) tidak sesuai dengan hukum Islam dan sebaiknya jangan dilakukan oleh kaum muslim. Kemudian Prof. Asassriwarni (Rais Syuriyah  NU Sumatera Barat) menyebut nikah sirri dengan  pernikahan yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan. Pernikahan yang tidak  tercatat di kantor KUA konsekuensinya  tidak memiliki akta nikah, tidak bisa mengurus berbagai surat penting lainnya, seperti akte kelahiran dalam akte tersebut hanya bin/binti Ibu tidak termuat nama bapak . Oleh karena itu, menurut Prof. Asassriwarni, seharusnya rukun nikah ditambah dengan wajib terdaftar di kantor pemerintah (KUA). Sehingga makin tegas, nikah yang  tidak tercatat tidak sah.[27]

B.     Metodologi Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif karena berusaha menyimpulkan, menganalisa dan membuat interpretasi mengenai pencatatan nikah sebagai rukun nikah.
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah historis, yuridis,  psikologis, sosiologis maupun filosofis. Hal ini penulis gunakan untuk mengetahui landasan-landasan yang mendasari  pencatatan nikah sebagai rukun nikah.
2.    Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan cara mengumpulkan buku-buku, majalah-majalah  atau  artikel-artikel yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penulisan  pencatatan sebagai rukun nikah. Metode ini disebut dengan dokumentasi.[28] Data yang dikumpulkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data pokok yang berkaitan dan diperoleh secara langsung dari obyek penelitian. Sumber data primer adalah sumber data yang memberikan data penelitian secara langsung.[29] Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data-data yang diambil dari buku-buku ataupun artikel yang berkaitan dengan masalah pencatan sebagai rukun nikah. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya. [30] Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari buku-buku , majalah-majalah ataupun artikel yang secara tidak langsung berkaitan dengan masalah pencatatan sebagai rukun nikah.
3.      Metode Analisis
Metode analisis yaitu cara penanganan suatu obyek ilmiah tertentu dengan cara mengalihkan suatu penelitian dengan pengertian lain.[31] Metode  ini digunakan untuk menjelaskan  atau kejelasan obyek yang diteliti, sehingga mendapatkan kesimpulan yang benar  dan mempunyai validitas yang tinggi. Setelah memperoleh data-data dari kepustakaan peneliti mengklasifikasikan atau mengelompokkan sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas, setelah itu data-data disusun  dan dikelompokkan, kemudian dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a.    Metode deduktif yaitu penerapan suatu kebenaran umum pada fakta yang bersifat khusus. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh Sutrisno Hadi bahwasanya apa yang dipandang benar pada semua peristiwa dalam satu jenis, berlaku pula sebagai suatu yang benar pada semua peristiwa yang termasuk dalam kelas atau jenis itu.[32] Metode ini  digunakan dalam menjelaskan  pencatatan sebagai rukun nikah.
b.   Metode induktif yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus , peristiwa-peristiwa yang konkrit dan khusus itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.[33] Metode ini digunakan untuk menjelaskan penelitian  pencatatan sebagai rukun nikah,  sehingga ditemukan formulasi kajian tentang pencatatan sebagai rukun nikah.
c.    Metode reflektif thingking yaitu berfikir yang prosesnya mondar mandir antara yang empiri dengan yang abstrak. Empiri yang khusus dapat saja menstimulasi berkembangnya konsep yang abstrak yang luas, dan menjadikan mampu melihat relevansi empiri pertama dengan empiri-empiri yang lain yang termuat dalam konsep abstrak  baru yang dibangunnya[34]. Metode reflektif thingking digunakan untuk melihat pencatatan sebagai rukun nikah.

 










BAB    III
PENCATATAN  SEBAGAI RUKUN NIKAH

A.    Urgensi Pencatatan Nikah
       Perkawinan mempunyai kedudukan yang mulia, karena perkawinan adalah   suatu akad yang menyebabkan kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dan saling tolong menolong di antara  keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban diantara keduanya.[35] Dengan demikian, pernikahan adalah kesepakatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menjadi pasangan yang saling menghalalkan, saling memiliki, saling memberi hak dan saling menolong dalam rangka berusaha secara bersama mencapai kebahagian bersama.[36]
      Esensi perkawinan yang terkandung dalam syari’at adalah mentaati perintah Allah serta Sunnah RasulNya, yaitu menciptakan kehidupan rumah tangga yang mendatangkan kemaslahatan, baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri, anak keturunan, kerabat, maupun masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya bersifat kebutuhan internal yang bersangkutan, tetapi mempunyai kaitan eksternal yang melibatkan banyak pihak. Sebagai suatu perikatan yang kokoh (mitsaqan ghalidhan), perkawinan dituntut untuk menghasilkan suatu kemaslahatan yang kompleks, bukan hanya sekedar penyaluran kebutuhan biologis semata.[37]
      Dalam kehidupan di masyarakat, kita sering menjumpai suatu  pernikahan yang disebut dengan sebutan  nikah sirri  sebagaimana dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Nikah sirri sebagaimana dikenal masyarakat Indonesia ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.
       Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan.
       Perkawinan di bawah tangan (nikah sirri) atau pernikahan yang tidak dicatatkan dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif atau madlarrat terhadap isteri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah. [38]
      Nikah bawah tangan terbukti telah merusak sendi-sendi masyarakat karena pada nikah bawah tangan biasanya ada sesuatu yang tidak beres, main-main, dan mudah digunakan sebagai alasan dan alibi dari sesuatu yang tidak benar. Ada beberapa penyebab sesorang melakukan nikah bawah tangan di antanya adalah mempelai lelaki masih terikat perkawinan, mempelai lelaki tidak memiliki identitas yang jelas, perkawinan yg tidak mendapat restu orang tua, perkawinan yang dilakukan untuk kepentingan biologis tetapi dikemas dengan alasan agama, mempelai wanita janda mati dari PNS, mempelai wanita msh dibawah umur , dan lain sebagainya.
      Dengan demikian, perkawinan bawah tangan berdampak sanagat merugikan bagi isteri dan perempuan pada umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum kenegaraan tidak diakuinya hak-hak keperdataan yang ditimbulkan oleh pertalian hubungan perkawinan, tidak dianggap sebagai isteri sah dan tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami meninggal dunia. Di samping itu, juga tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum , perkawinan  dianggap tidak pernah terjadi. [39]
       Dampak negatif lain nikah bawah tangan dirasakan pada hak-hak sipil  dan keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami isteri nikah bawah tangan. Terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan  menurut hukum negara memiliki dampak negatif  bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak yang tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya.  Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa staus anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah  akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
       Perkawinan merupakan awal dari kehidupan berkeluarga, oleh karena itu pelaksanaan perkawinan harus sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku, kelak dapat mengakibatkan timbulnya masalah dalam keluarga. Sedangkan hidup bersama sebagai suami isteri di luar perkawinan  adalah perzinaan. Dan perzinaan adalah perbuatan terkutuk dan termasuk salah satu dosa besar.[40]
     Dalam pasal    2    UU   No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap  perkawinan dicatat menurut  peraturan perundang-undangan yang berlaku.[41]
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya  diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya,  antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. 
       Pasal 10  PP No. 9 Tahun 1975 mengatur tatacara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya". Dalam ayat (3) disebutkan: "Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".
      Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11 disebutkan:
(1) Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
(1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama  disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam  wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada
(2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.[42]
      Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkawinan, bahkan ditandaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundangan hanya mengatur perkawinan dari formalitasnya, yaitu perkawinan sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.
      Terkait hal tersebut, dalam pasal 5 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa :
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954.

Dalam pasal 6 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa :

(1) Untuk memenuhi ketentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dalam pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa :
 Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[43]

        Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut maka pencatatan perkawinan dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen, karena menyangkut banyak kepentingan. Perkawinan bukan hanya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan, akan tetapi merupakan penyatuan dua keluarga besar yang masing-masing punya hak dan kepentingan dari perkawinan tersebut. Dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah adalah dengan maksud Pegawai Pencatat Nikah dapat mengawasi langsung terjadinya perkawinan tersebut. Mengawasi disini dalam artian menjaga jangan sampai perkawinan tersebut melanggar ketentuan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
      Pencatatan nikah dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam.
        Tekait dengan hal tersebut di atas, maka  pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.

B.     Pencatatan Sebagai Rukun Pernikahan
      Menurut syari’at Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum sedang syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.[44] Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup rumah tangga sebagai suami isteri  dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang telah ditentukan oleh syari’at Islam.[45] Adapun  rukun nikah sebagaimana dalam KHI dalam pasal 14 disebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul.[46]
      Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan  ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. [47]  Dari keterangan ini, kita dapat mengetahui bahwa perkawinan dalam hukum Islam bukan semata-mata memenuhi kebutuhan seksual dan bersifat perdata semata, seperti dalam Bugerlijk Wetboek, tetapi mempunyai dimensi pengabdian kepada Allah. Karena berdimensi ibadah, maka kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang yang dapat mendukung tujuan di atas sangat dibutuhkan.[48]
      Dalam pasal 4 KHI disebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Selanjutnya dalam pasal 5 KHI disebutkan bahwa  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1946 jo. UU No. 32/1954.
     Dalam pasal 6 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa Untuk memenuhi ketentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan dalam pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[49]
      Dengan penjelasan dari peraturan perundang-undangan tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pernikahan itu dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat keagamaan dan syarat-syarat administratif kenegaraan. Syarat-syarat keagamaan adalah segala ketentuan yang harus dipenuhi oleh calon pengantin berdasarkan ajaran Islam. Sedangkan syarat-syarat administratif kenegaraan berkaitan dengan pemenuhan pencatatan peristiwa nikah menurut peraturan perundang-undangan.[50]
      Secara yuridis, sistem hukum Indonesia tidak mengenal kawin bawah tangan dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap tanpa memenhi ketentuan undang-undang yang berlaku,khususnya perkawinan yang diatur dalam UU  Perkawinan pasal 2 ayat 2.  Oleh karena itu perkawinan yang tidak dicatatkan membawa madlarat atau dampak negatif dalam kehidupan   sehingga tidak sesuai dengan kemaslahatan dan maqasid al-syar’iyyah.
       Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, secara eksplisit tidak ada satupun  nash baik al-quran maupun hadis yang menyatakan keharusan adanya pencatatan perkawinan. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya  diumumkan atau dipublikasikan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-'ursyNabi saw bersabda: 
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ [رواه ابن ماجة عن عائشة]
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah)[51]

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ)

 Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing” (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf)[52]

      Adanya perintah publikasi pernikahan,  menunjukkan bahwa publikasi pernikahan dimaksudkan agar  orang lain mengetahui sebuah pernikahan, untuk memperjelas status, serta tidak memungkinkan terjadinya penyimpangan. Fenomena pernikahan yang tidak dicatatkan kadang-kadang dilakukan secara diam-diam, padahal tidak ada satupun  riwayat hadis yang mensyari’atkan nikah secara diam-diam dalam Islam. [53] Dengan demikian, adanya publikasi pernikahan menunjukkan bahwa sebuah pernikahan  secara hukum itu membutuhkan pengakuan dan kejelasan status sebagai suami dan isteri, sesuai dengan kondisi zaman pada waktu itu, yang belum memerlukan adanya pencatatan.
     Berdasarkan dengan  hal tersebut, maka apabila dikaitkan dengan kondisi zaman sekarang, perkawinan itu memerlukan pengakuan, kejelasan status, memerlukan kekuatan hukum, dan memerlukan bukti otentik dari pernikahan yang  dilakukannya. Oleh karena itu, Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat , dilangsungkan, dihadapan dan di bawah pengawasan  Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Di samping itu, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
    Terkait pencatatan perkawinan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini merupakan perkembangan pemikiran hukum Islam berdasarkan perubahan situasi dan tuntutan zaman   dengan pertimbangan kemaslahatan. Bahkan pencatatan nikah menempati tempat terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatkannya perkawinan yang berhubungan dengan soal penting seperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah.[54]
      Perubahan terhadap institusi perkawinan dengan dibuatnya undang-undang atau peraturan-peraturan pencatatan , adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: 
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ
وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.

Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat.”[55]
      Secara eksplisit, pertimbangan keharusan pencatatan pernikahan secara resmi pada instansi yang berwenang sebagai upaya preventif, dalam rangka sadd al-dz-dzari’ah. Keharusan pencatatan pernikahan didasarkan pada upaya perwujudan kemaslahatan dan menghindari dampak negatif yang terjadi.[56]
       Pencatatan nikah bertujuan  untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka.
      Dengan demikian, pencatatan perkawinan merupakan sebuah kemestian, karena banyak sekali madlarat yang akan ditimbulkan jika tidak dilakukan pencatatan,  sementara Islam menggariskan bahwa setiap kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana ungkapan sebuah kaedah fikih:        
 الضرر يزال
“Kemadlaratan harus dihilangkan.”[57]
      Pencatatan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam persoalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يأيهاالذين أمنوا اذاتدا ينتم بدين الى أجل مسمى فاكتبوه
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”[58]

      A
pabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. Terkait dengan ayat tersebut, dapat kita pahami walaupun ayat tersebut  bukan berbicara tentang persoalan pencatatan nikah, tetapi maksud syar’ah Islam   yang dituju pada ayat ini adalah untuk menghindari agar salah satu pihak di kemudian hari tidak memungkiri apa-apa yang telah disepakatinya atau mengingkari perjanjian yang telah dilakukannya dengan pihak lain. Paling tidak yang bisa dipahami dari ayat ini adalah Allah melalui firmannya diatas berusaha menutup semua kemungkinan yang akan membawa kemadlaratan.
    Pencatatan perkawinan merupakan perbuatan hukum yang penting karena akan menjadi bukti bila terjadi pengingkaran tentang adanya perkawinan tersebut. Bila transaksi jual beli saja harus dicatat dalam hukum Islam, apalagi perkawinan yang akan banyak menimbulkan hak dan kewajiban, tentu lebih  memerlukan pencatatan.
    Disamping itu,  akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”[59]

       Pemerintah ataupun penguasa dibenarkan membuat segala jenis peraturan terutama mengenai hal-hal yang tidak diatur secara tegas dalam al-Quran dan Hadis Nabi, sejauh tidak bertentangan dengan kedua nash tersebut,  menurut ajaran syari’at  Islam, perintah atau aturan penguasa wajib untuk ditaati. Sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 59  :

يأيهاالذين أمنوا أطيعواالله واطيعوا الرسول وأولى الامر منكم

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri dari (kalangan) kamu ….”
      Ayat ini secara tegas, disamping memerintahkan mentaati Allah dan Rasulnya, juga memerintahkan agar mentaati peraturan yang ditetapkan oleh ulil amri (pemerintah, penguasa). Ketaatan kepada pemerintah ini hukumnya wajib. Hanya saja ketaatan itu bukan tanpa batas dan tidak bersifat mutlak. Ketaatan disini terbatas hanya terhadap peraturan pemerintah yang tidak membawa kepada kemaksiatan.
       Ketaatan terhadap aturan pencatatan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaedah fikih:
تصرف الامام على الراعية منوط بالمصلحة
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatannya.”[60]
      Dengan demikian, ada kewajiban moral bagi rakyat untuk mentaati pemimpinnya selama kebijakan tersebut adalah untuk kemaslahatan rakyatnya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa untuk kondisi sekarang, pencatatan perkawinan menjadi sesuatu yang sangat mutlak sifatnya. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib hukumnya mencatatkan pernikahannya pada pejabat yang yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan.
      Berdasarkan pertimbangan, penjelasan dan alasan yang dikemukan tersebut, maka dalam kondisi zaman modern seperti saat ini  pencatatan dapat dikatakan sebagai  unsur pokok “rukun”  yang harus ada dalam suatu perkawinan, betapa urgennya  pencatatan pernikahan dan pentingnya akta otentik pernikahan bagi  seseorang dalam kehidupan  bermasyarakat berbangsa dan bernegara.  Oleh karena itu,   pernikahan yang tidak dicatatkan berdampak negatif bagi  seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping itu, pernikahan yang tidak dicatatkan, tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dianggap sah di mata hukum.
         





BAB   IV

KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
       Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1.      Urgensi pencatatan pernikahan adalah untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan.
2.      Mengingat situasi zaman modern seperti sekarang ini maka pencatatan dapat dimasukkan sebagai “rukun nikah” karena pencatatan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat dan sesuai dengan maqasid al-syar’iyyah al- islamiyyah.

B.     Saran
       Penulisan karya tulis ini jauh dari sempurna dan belum sesuai dengan harapan, oleh karena itu kritik dan saran membangun senantiasa penulis harapkan demi sempurnanya karya tulis ini.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Muhadarat Fi ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh, Kairo: Dar al-   Fikr al-Arabi, tt.

Ahmad al-Nadwi, Ali,  Al-Qawa’id al-Fiqhiyah,Beirut: Dar al-Qalam, 1987, Cet. I

Al-Asqalani,Ibnu Hajar, Fath al-Bari Juz 9, Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1379

Arikunto, Suharsimi , Prosedur Penelitian, Jakarta:  Rineka Cipta, 1998

Azwar, Saifudin , Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998

Bagian Proyek Pembinaan Keluarga Sakinah,  Tanya Jawab Seputar Keluarga Sakinah,Semarang : Kanwil Departemen Agama Jawa Tengah, 2004

BP4 Jawa Tengah, Buku Panduan Keluarga Muslim, Semarang: Kanwil Depag
 Jateng,2007

Bukhari, Al,  Shahih al-Bukhari Juz 5, Beirut :Dar Ibn Katsir, 1407/1987, Cet.III

Chafidh M. Afnan dan Asrori, A. Ma’ruf , Tradisi Islami : Panduan Prosesi
 Kelahiran, Perkawinan dan Kematian, Surabaya : Khalista, 2008, Cet. III

Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta :Departemen Agama, 2004

Djatnika, Rahmat, “Jalan Mencari Hukum Islami Upaya  Ke Arah  Pemahaman Metodologi Ijtihad” dalam Amrullah Ahmad  dkk (Tim Penyusun), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta :  PP IKAHA, 1994, hal. 143-144

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research,Yogyakarta : Andi Offset, 1989

Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam,  Bandung : Pestaka Setia, 2000

Kementerian Agama RI,  Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta:  PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2010

Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Bandung: Humaniora Utama Press,tt.

Muhajir,Noeng, Metode Penelitian Kualitatif,  (Yogyakarta : Rakesarasin, 1996),

Nasution, Khoiruddin, Smart dan Sukses, Yogyakarta : Academia dan Tazaffa, 2008

Qayyim, Ibnul, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III,  Kairo, Dar al-Fikr,  tt.

Sholeh, Asrorun Ni’am , Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta :  Elsas , 2006

Siraj, Muhammad , “Hukum Keluarga Di Mesir dan Pakistan” dalam Johannes Den Heijer dan Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum, Jakarta : INIS, 1993

Subagyo, Joko P., Metode penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Rineka Cipta, 2004

Sumargono,Soerjono,  Filsafat Pengetahuan , Yogyakarta : Nur Cahya,1980

Suyuthi, Al, Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979, Cet. I

Syadzali, Munawir “Relevansi Hukum Keluarga Islam dengan Kebutuhan Masa Kini” dalam Amrullah Ahmad  dkk (Tim Penyusun), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta :  PP IKAHA, 1994

Syahid, KH Ahmad,  “Sekilas tentang Ijtihad”  dalam KH Abdurrahman Wahid  dkk , Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia,  Bandung : Remaja Rosda Karya, 1990

Syarifuddin, Amir,  Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, 1990

Undang-undang Perkawinan, Semarang: AnekaIlmu, 1990

Yafie, KH Alie , “Fungsi Hukum Islam Islam dalam Kehidupan Umat”  dalam Amrullah Ahmad  dkk (Tim Penyusun), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta :  PP IKAHA, 1994

____________ “ Konsep-konsep Istihsan, Istislah dan Maslahat al-Ammah” dalam Budhy Munawar Rachman (editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1995

Yamani, Ahmad Zaki, Syari’at Islam Yang Abadi menjawab Tantangan Masa Kini, Alih Bahasa Mahyuddin Syaf, Bandung :  Alma’arif, 1986, hal. 32


[1] Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat Fi ‘Aqd al-Zawaj wa Asaruh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt.), hlm. 43-44.
[2] Ibid., hal. 4
[3] BP4 Jawa Tengah, Buku Panduan Keluarga Muslim, Semarang: Kanwil Depag Jateng,2007, hal. 1
[4] Undang-undang Perkawinan, Semarang:Aneka Ilmu, 1990, hal. 1
[5] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,  Bandung : Humaniora Utama Press, tt., hal. 14
[6] Khoirudin Nasution,  Smart dan Sukses, Yogyakarta :: Academia dan Tazaffa, 2008, hal.  119
[7] Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta :  Elsas , 2006, hal. 3
[8] Undang-undang Perkawinan....., hal. 28
[9] Ibid. hal. 2
[10] Bagian Proyek Pembinaan Keluarga Sakinah,Tanya Jawab Seputar  Keluarga Sakinah, Kantor Wilayah Departemen Agama, 2004, hal. 31
[11] Asrorun Ni’am sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 49
[12] Rachmat  Djatnika, “Jalan Mencari Hukum Islami Upaya  Ke Arah  Pemahaman Metodologi Ijtihad” dalam Amrullah Ahmad  dkk (Tim Penyusun), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta :  PP IKAHA, 1994, hal. 143-144

[13] KH Ahmad Syahid, “Sekilas tentang Ijtihad”  dalam KH Abdurrahman Wahid  dkk , Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia,  Bandung : Remaja Rosda Karya, 1990, hal. 5
[14] Munawir Syadzali, “Relevansi Hukum Keluarga Islam dengan Kebutuhan Masa Kini” dalam Amrullah Ahmad  dkk , hal.  325
[15] Ahmad Zaki Yamani, Syari’at Islam Yang Abadi menjawab Tantangan Masa Kini, Alih Bahasa Mahyuddin Syaf, Bandung :  Alma’arif, 1986, hal. 32
[16] KH Ali Yafie, “Fungsi Hukum Islam Islam dalam Kehidupan Umat”  dalam Amrullah dkk,  hal.139
[17] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, Padang : Angkasa Raya, 1990, hal. 121-122
[18] KH. Ali Yafie, “ Konsep-konsep Istihsan, Istislah dan Maslahat al-Ammah”” dalam Budhy Munawar Rachman (editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1995, hal.  365-366
[19] Ahmad Zaki Yamani, Syari’at Islam Yang Abadi...., hal. 41-42
[20] Muhammad Siraj, “Hukum Keluarga Di Mesir dan Pakistan” dalam Johannes Den Heijer dan Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum, Jakarta : INIS, 1993, hal.105
[21] Kementerian Agama RI,  Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta:  PT Sinergi Pustaka Indonesia, hal. 59
[22] Lihat Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Tentang PencatatNikah, Talak, Dan Rujuk.
[23] Undang-undang Perkawinan....., hal. 34
[24] Kompilasi Hukum Islam..., hal. 18-19
[25] Ibnul Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III,  Kairo, Dar al-Fikr,  tt. hlm. 3
[26] Asrorun Ni’am sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 49
[27] www.antaranews.com/Berita/365670/ni.....
[28] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta:  Rineka Cipta, 1998), hal. 149
[29]P. Joko Subagyo, Metode penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Rineka Cipta, 2004, hal. 87
[30]Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 16
[31]Soejono Sumargono, Filsafat Pengetahuan , Yogyakarta : Nur Cahya,1980, hal. 14
[32]Sutrisno Hadi,  Metodologi Research, Yogyakarta : andi Offset, 1989, hal. 3
[33] Ibid., hal. 42
[34]  Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif,  (Yogyakarta : Rakesarasin, 1996), hal. 66-67
[35] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam,  Bandung : Pestaka Setia, 2000, hal. 13
[36] Khoirudin Nasution, Smart  dan Sukses,  hal. 121
[37] Op.Cit.
[38] Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 147
[39] Ibid., hal. 151
[40] BP4 Jawa Tengah, Buku Panduan Keluarga Muslim, Semarang: Kanwil Depag Jateng,2007, hal. 7
[41] Undang-undang Perkawinan.., hal. 2
[42]  Undang-undang Perkawinan..., hal. 38-40
[43] Kompilasi Hukum Islam..., hal. 18-19
[44] Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta :Departemen Agama, 2004, hal. 16
[45] M. Afnan Chafidh dan A. Ma’ruf Asrori, Tradisi Islami : Panduan Prosesi Kelahiran, Perkawinan dan Kematian, Surabaya : Khalista, 2008, Cet. III, hal. 88
[46] Kompilasi Hukum Islam.., hal.21
[47]Ibid., hal. 18
[48] Bagian Proyek Pembinaan Keluarga Sakinah,  Tanya Jawab Seputar Keluarga Sakinah,  hal. 31
[49] Op.Cit. hal.  18-19
[50] Asrorun Ni,am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 31
[51] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Juz 9, Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1379, hal. 226
[52]Al-Bukhari,  Shahih al-Bukhari Juz 5, Beirut :Dar Ibn Katsir, 1407/1987, Cet.III, hal.  1979
[53] Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal 150
[54] Muhammad Siraj, “Hukum Keluarga Di Mesir dan Pakistan” dalam Johannes Den Heijer dan Syamsul Anwar, Islam Negara dan Hukum, Jakarta : INIS, 1993, hal.105
[55] Ibnul Qayyim, I’lam  al-Muwaqqi’in ,  Kairo: Dar al-Fikr, t.t.,  hlm. 3
[56] Asraoun Ni’am, Fatwa-fatwa  Masalah pernikan dan keluarga,  hal. 148
[57] Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Beirut: Dar al-Qalam, 1987, Cet. I, hal 252.
[58] Kementerian  Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  hal.  59
[59] Ibid.  hal, 105
[60] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979, Cet. I, hal.  134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar