“Antara Sunnah Fi’liyyah & Sunnah Tarkiyyah”
Buletin Al-Hujjah Vol: 06-IX/Rabi'ul Awwal-1429H/Mar-08
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu uswatun hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.”
[QS. Al-Ahzaab: 21]
Ayat yang agung di atas, di setiap bulan Rabi’ul Awwal,
biasanya menjadi ayat yang paling sering terdengar dari corong-corong masjid.
Tentu saja melalui mimbar-mimbar ceramah maulid. Para penceramah maulid juga
tidak pernah lupa mengingatkan makna inti yang terkandung dalam ayat tersebut,
bahwa kita sebagai ummat Muhammad wajib untuk menjadikan beliau sebagai panutan
dan ikutan dalam mengamalkan agama. Belakangan, mencuat sebuah pertanyaan,
sudahkah makna inti ayat tersebut terealisasi pada diri dan masyarakat muslim
kita? Dan apakah kita telah memahami hakikat “uswatun hasanah” yang diinginkan
oleh ayat tersebut?
Ulama tafsir mengaitkan turunnya ayat di atas secara khusus dengan peristiwa perang Khandaq yang sangat memberatkan kaum muslimin saat itu. Nabi dan para Sahabat benar-benar dalam keadaan susah dan lapar, sampai-sampai para Sahabat mengganjal perut dengan batu demi menahan perihnya rasa lapar. Mereka pun berkeluh kesah kepada Nabi. Adapun Nabi, benar-benar beliau adalah suri teladan dalam hal kesabaran ketika itu. Nabi bahkan mengganjal perutnya dengan dua buah batu, namun justru paling gigih dan sabar. Kesabaran Nabi dan perjuangan beliau tanpa sedikitpun berkeluh kesah dalam kisah Khandaq, diabadikan oleh ayat di atas sebagai bentuk suri teladan yang sepatutnya diikuti oleh ummatnya. Sekali lagi ini adalah penafsiran yang bersifat khusus dari ayat tersebut, jika ditilik dari peristiwa yang melatar belakanginya. [lihat Tafsir al-Qurthubi: 14/138-139]
Adapun jika dikaji secara lebih
mendalam, ayat di atas -di mata para ulama- merupakan dalil bahwasanya teladan
Nabi berupa perbuatan dan tindak tanduk beliau bisa menjadi landasan atau dalil
dalam menetapkan suatu perkara, karena tidak ada yang dicontohkan oleh Nabi
kepada ummatnya melainkan contoh yang terbaik. Hal ini dijelaskan oleh Imam
‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’adi dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Tafsir
Kariimir Rahmaan. Beliau berkata (hal. 726 Cet. Darul Hadits):
“Para ulama ushul berdalil dengan
ayat ini tentang ber-hujjah (berargumen) menggunakan perbuatan-perbuatan Nabi.
(Karena) pada asalnya, ummat beliau wajib menjadikan beliau sebagai suri
teladan dalam perkara hukum, kecuali ada dalil syar’i yang mengkhususkan (bahwa
suatu perbuatan Nabi hanya khusus untuk beliau saja secara hukum, tidak untuk
ummatnya).”
Nabi kita adalah manusia yang
terbaik di segala sisi dan segi. Di setiap lini kehidupan, beliau selalu nomor
satu dan paling pantas dijadikan profil percontohan untuk urusan agama dan
kebaikan. Sehingga tidak heran jika Allah mewajibkan kita untuk taat mengikuti
beliau serta melarang kita untuk durhaka kepadanya dalam banyak ayat al-Qur-an,
di antaranya firman Allah (artinya): “…Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang
besar.” [QS. An-Nisaa: 13]
Rasulullah juga pernah bersabda:
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ
مَنْ أَبَـى، فَقِيْلَ: وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ
الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
“Setiap ummatku akan masuk surga
kecuali yang enggan. (Lalu) dikatakan kepada beliau: ‘Siapa yang enggan itu
wahai Rasulullah ?’ Maka beliau menjawab: ‘Barangsiapa mentaati aku ia pasti
masuk surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka ia enggan (masuk surga).” [Shahih
Bukhari: 7280]
HAKIKAT
MAKNA USWATUN HASANAH
Kita sering terperangkap dalam
pola prinsip yang keliru dalam memaknai hakikat uswatun hasanah yang ada
pada diri Rasulullah . Tidak sedikit di antara kita mengkerdilkan makna sifat uswah
(keteladanan) Nabi hanya terbatas pada masalah-masalah akhlak, sunnah-sunnah
dan ritual ibadah yang dikerjakan oleh Nabi saja. Padahal, syari’at juga
menuntut kita untuk meninggalkan -atau tidak mengerjakan- segala sesuatu yang
tidak dikerjakan oleh Nabi dalam urusan agama ini. Inilah makna uswah
yang lebih sempurna, mencakup sunnah fi’liyyah dan juga sunnah
tarkiyyah.
Sunnah fi’liyyah adalah
sunnah yang dikerjakan atau dicontohkan oleh Nabi. Dalam hal ini kita pun
disunnahkan -bahkan bisa wajib- untuk mengerjakan persis seperti apa yang
dikerjakan oleh beliau sebatas kemampuan kita.
Adapun pada sunnah tarkiyyah,
kita dituntut untuk meninggalkan suatu bentuk ritual dikarenakan ritual
tersebut ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi di masanya, padahal
sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa beliau. Contohnya adalah kumandang
adzan saat solat ‘Ied, adzan solat istisqo’ (minta hujan), dan adzan untuk
jenazah. Ini semua ditinggalkan atau tidak dikerjakan oleh Nabi, maka bagi kita
ummatnya, meninggalkan ritual-ritual (seperti adzan yang tidak pada tempatnya)
tersebut juga termasuk sunnah –yang sifatnya wajib-, yang disebut sebagai sunnah
tarkiyyah.
Contoh lain yang lebih pas di
bulan ini (Rabi’ul Awwal) adalah; perayaan hari kelahiran Nabi (maulid).
Merayakan kelahiran Nabi sangat memungkinkan untuk dikerjakan di masa Nabi dan
Sahabat. Nabi tahu bahwa kelahiran dirinya ke muka bumi adalah rahmat bagi alam
yang patut disyukuri. Demikian pula para Sahabat adalah orang yang paling
mencintai dan memuliakan Nabi, mereka adalah kaum yang paling bersyukur atas
kelahiran Nabi di tengah-tengah mereka. Namun faktanya Nabi dan Sahabat
meninggalkan perayaan kelahiran tersebut, mereka tidak pernah mengerjakannya.
Sehingga jadilah ia sunnah tarkiyyah bagi kita (yakni sunnah –yang
bersifat wajib- untuk kita tinggalkan).
“Sunnah” Tarkiyyah Bermakna “Wajib”
Adapun dasar hukum sunnah
tarkiyyah ini, para ulama berdalil dengan kisah tiga orang peziarah yang
bertanya kepada istri-istri Nabi perihal keseharian ibadah yang dikerjakan oleh
beliau. Anas radhiallahu’anhu, pembantu sekaligus Sahabat Rasulullah ,
mengisahkan yang artinya:
“Datang tiga orang menuju rumah
para istri Nabi. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi. Manakala mereka
dikabarkan perihal ibadah-ibadah yang dilakukan oleh Nabi, seakan akan mereka
menganggapnya sedikit. Maka mereka berkata: ‘Kita ini di mana jika dibandingkan
dengan Nabi? (Wajar saja), beliau telah diampuni dosa-dosanya, baik yang telah
lampau dan yang akan datang.’ Salah seorang di antara mereka lantas berkata:
‘Adapun aku, sungguh aku akan solat malam selamanya (tidak tidur).’ Berkata
lagi yang lain: ‘Aku akan berpuasa dahr, dan tidak akan berbuka (puasa
setiap hari tanpa jeda).’ Dan yang satu lagi berkata: ‘Aku akan menjauhi
wanita, aku tidak akan menikah selamanya.”
“Maka Nabi datang, lantas berkata
(sambil marah) : ‘Kalian yang berkata begini…dan begini…? Adapun aku demi Allah!
Aku orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian, dan aku yang paling
taqwa kepada-Nya daripada kalian! Namun (kendatipun demikian) aku ini berpuasa,
tapi juga berbuka (ada hari jeda). Aku solat (malam), dan aku juga tidur. Dan
aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka sunnahku (lebih memilih
yang lain), maka dia bukan golonganku”. [Bukhari: 5063, Muslim: 1401, Lih. Ushuulul
Bida’ hal. 108]
Jika kita simak hadits di atas,
bagaimana kerasnya ancaman Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak mau
mencukukan diri dengan sunnah beliau, maka bisa dipahami bahwa “sunnah”
tarkiyyah -dalam artian meninggalkan bentuk-bentuk ritual yang hendak
dilakukan oleh ketiga orang tersebut- bersifat wajib hukumnya, bukan
“sunnah” dalam pengertian ilmu fiqih; berpahala jika dikerjakan dan tidak
berdosa jika ditinggalkan.
Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam
kitabnya Fadhlu ‘Ilmis Salaf mengatakan: “…adapun apa–apa yang telah
disepakati oleh Salaf (para Sahabat) untuk ditinggalkan (dalam urusan agama),
maka tidak boleh dikerjakan. Karena para Salaf tidaklah meninggalkan sesuatu
(dalam urusan agama ini), melainkan karena mereka tahu bahwa sesuatu tersebut
tidak (disyari’atkan) untuk diamalkan.” [lih. ‘Ilmu Ushulil Bida’
hal. 110]
Alhasil, apa yang Nabi contohkan
kepada kita, niscaya itu baik. Dan apa-apa yang beliau tinggalkan dari perkara
agama ini, sudah pasti itu bukan suatu kebaikan di sisi Allah jika kita
kerjakan. Rasulullah bersabda:
إنَّهُ لَمْ يَكُن
نَبِيٌّ قَبْلِي إلاَّ كَانَ حَقًّا
عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ
مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا
يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sungguh tidak ada satupun Nabi
sebelumku, melainkan ia pasti menunjukkan (mengajarkan) kepada ummatnya segala
bentuk kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan ummatnya dari segala macam
keburukan yang ia ketahui”. [Shahih Muslim: 1844]
Dan Nabi telah memperingatkan
kita dari berbuat sesuatu yang tidak ada teladannya dari beliau dalam urusan
agama ini. Sebagaimana sabdanya:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan amalan
ibadah yang tidak ada perintahnya dari kami (Nabi dan Sahabat1), maka
amalannya tertolak (tidak diterima).” [Syarh Shahih Muslim: 1718]
Akhirulkalam, baik sunnah
fi’liyyah (mengerjakan yang dicontohkan) maupun sunnah tarkiyyah
(meninggalkan yang tidak dicontohkan), kedua-duanya harus berjalan dalam diri
seorang mukmin yang mengaku Rasulullah sebagai teladan hidupnya. Dengan
demikian, barulah hakikat uswatun hasanah pada ayat yang kita kaji ini
benar-benar tidak hanya sekedar pemanis bibir di mimbar-mimbar ceramah. Wallahua’lam
Kepustakaan : –
.: Tafsir
al-Qurthubi, Cet. Darulkitab
al-Arobi:
V/1423 H
.: Tafsir
Karimir Rahman, Cet. Darul Hadits:
1426 H
.: ‘Ilmu
Ushulil Bida’, Cet. Darur Royah:
II/1417 H
(Catatan kaki)————————–
1 Sebagaimana
dijelaskan oleh Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar:
2/69-70. Lihat ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 27 karya Ali Hasan al-Halabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar