A. KATA PENGANTAR
Al Qur’an merupakan firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman bagi manusia
dalam menata kehidupan demi mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia
maupun di akhirat.
Konsep-konsep yang dibawa
al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena itu ia turun untuk
mengajak manusia berdialog dengan penafsiran sekaligus memberikan solusi
terhadap problema tersebut di manapun mereka berada.
Pada kenyataannya, Al-Quran
benar-benar telah mengepung level kecil klasik kesusastraan jahiliyah untuk
memperkenalkan pemikiran keagamaan dan konsep-konsep monoteistiknya ke dalam
Bahasa Arab. Ia juga menciptakan design dahsyat dalam Bahasa Arab dengan
mengubah instrument-instrument teknis pengungkapannya.
Pada satu sisi, ia
menggantikan syair metrik dengan bentuk ritmenya sendiri yang tak tertirukan,
dan pada sisi lain memperkenalkan konsep-konsep dan tema-tema baru yang
mengarah kepada arus besar monoteisme.
Luas dan keberagaman tema
Al-Quran merupakan hal yang sangat unik. la menembus sudut pandang paling kabur
dalam pikiran manusia, menembus dengan kekuatan nyata jiwa orang beriman bahkan
orang yang tanpa iman sekalipun untuk merasakan
sesuatu dalam gerak-gerik jiwanya.
Al-Quran juga mengalihkan
perhatiannya kepada masa lalu yang jauh dalam sejarah perjalanan ummat manusia
sekaligus mengarah ke masa depannya dengan tujuan mengajarkan tugas-tugas masa
kini. Ia melukiskan gambaran dan tanda-tanda yang mengundang manusia untuk
segera menarik pelajaran darinya.
Setelah pelajaran dapat
ditarik kesimpulannya, ternyata jiwa manusia tanpa disadari terseret serta
terpesona oleh kedalaman dan keluasan makna Al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa
Al-Quran sebagai mukjizat terbukti menjadi modal kehidupan dunia dan akhirat.
B. URAIAN POKOK MATERI
Masih adakah Al-Quran
selalu bersama kita merupakan pernyataan tegas terhadap sikap prilaku dan
kondisi internal keberagamaan ummat Islam di tengah arus modernisasi sebagai
suatu proses perkembangan dalam peradaban manusia.
Apalagi sekarang ini, ummat islam Indonesia diera orde reformasi masih
menanti datangnya pemimpin baru yang dengan tulus ikhlas membawa perubahan
struktural kondisi kebangsaan dan menjadi tiang penyanggah yang kuat dari
rapuhnya keyakinan (tauhid) dan robohnya nilai-nilai sosial kemanusiaan bahkan
mampu membuka bendungan ekonomi yang mensejahterakan setelah sekian lama
tersendat oleh kepentingan ideologis maupun golongan tertentu.
Melalui momentum Nuzulul
Quran ini, pertanyaan “Masihkah Al-Quran
bersama kita” menjadi sebuah gugatan terhadap prilaku dan keyakinan yang belum
selalu berdampingan dengan Al-Quran bahkan menyatu dengannya.
Al-Quran sebagai risalah
terakhir yang sempurna dan universal bagi seluruh ummat manusia dengan
konsep tanzil-turun, membawa atau menurunkan banyak pesan yang
harus direpresentasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dibuktikan dengan
banyaknya media seruan yang dimunculkan dalam ayat al-Quran, baik yang diseru
“Wahai manusia”, “Bani Adam”, “Orang-orang beriman dan kaf ir” ataupun Ahli
Kitab.
Melalui risalah Muhammad,
Allah SWT menurunkan al-Quran saat manusia sedang mengalami kekosongan para
rasul, kemunduran akhlak dan kehancuran problem kemanusiaan, sosial politik dan ekonomi.
Pada setiap problem itu, al-Quran meletakkan sentuhannya yang mujarrab dengan
dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah
manusia selanjutnya yang relevan di setiap zaman.
Sejak diturunkannya sampai
dengan sekarang al-Quran tidak pernah terlepas dari suatu tradisi yang sedang
berjalan. Dengan kata lain, pesan-pesan al-Quran selalu berhubungan
dengan pribadi atau masyarakat yang
mengganggapnya sakral atau sebagai sentralitas etika universal.
Jika melihat kondisi ummat
Islam pada saat al-Quran diturunkan, melalui momentum nuzulul Quran ini, semua
peristiwa di masa lalu itu dibangkitkan melalui perenungan. Jadi ada kesamaan
konteks ketika al-Quran diturunkan pertama kali dengan kondisi terkini yang
secara sosial, politik, ekonomi dan agama memang sedang mengalami kebobrokan dan
membutuhkan pemecahannya.
Untuk itu, ummat Islam
sebagai ummat yang terbaik mengemban tugas berat yang berkaitan dengan
memahami, mengilhami dan melakukan tanggung jawab. Karena memahami dan menaf
sirkan adalah bentuk yang paling mendasar dari keberadaan manusia dimuka bumi
yang memiliki
jabatan sebagai khalifah (baca penyuluh)
jabatan sebagai khalifah (baca penyuluh)
Dengan demikian, eksistensi
ummat Islam sebagai ummat yang terbaik tidak diragukan. Dengan bantuan ilmu
pengetahuan dan agama, peristiwa Nuzulul Quran yang terjadi beberapa abad yang
lalu menjadi sesuatu yang berkesinambungan hingga kini.
Masa lalu tidaklah usang
dan ia menjadi pendahulu masa kini. Maka dari itu, upaya memahami makna nuzulul
Quran pada saat sekarang ini sama sekali tidak menghilangkan makna dan konteks
terdahulu, melainkan merangkumnya untuk kemudian diteruskan hingga kini. Ada
semacam harapan yang harus terpenuhi
dalam menghadapi tantangan global saat ini sebagaimana Rasulullah juga menghadapi
tantangan dan ujian yang berat.
Setelah melihat konteks
nuzulul Quran, tugas selanjutnya ialah melakukan kontektualisasi ajaran dan
pesan yang terkandung dalam peristiwa nuzulul Quran. Kita harus selalu berdampingan dengan al-Quran
dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatan. Persahabatan kita dengan
al-Quran baru sebatas pragmatis dan belum menjadi sesuatu yang harmonis
sehingga al-Quran belum membuka solusi terhadap problem kehidupan.
Selain itu, ketika def
inisi konkrit dari nilai-nilai al-Quran ialah menghadirkannya dalam pikiran dan
realita semakin berkurang intensitasnya sehingga membacanya yang dianggap
sebagai ibadah hanya menjadi bacaan biasa karena dibaca tanpa pengamalan dan
penghayatan.
Terjadi pengaburan pada
batas-batas norma dan etika. kekacauan dan ketidakdisiplinan di kubu wakil
rakyat yang masih sulit diverif ikasi dalam memberikan keterangan tentang
identitas individu dalam proses pemilu menunjukkan keremangan nasib bangsa.
Pantaskah mereka mewujudkan keadilan sosial yang menyeluruh jika kejujuran
belum menjadi dasar kursi kepemimpinan.
Masalah lainnya adalah
ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius. Asumsi tentang indikator
pertumbuhan dipahami dengan meratanya volume perdagangan, padahal
pengentasan kemiskinanmasih berjalan di tempat
dan belum menemukan solusi yang berarti.
Ketika Negara gagal
merepresentasikan kepentingan warga lemah, melalui momentum Nuzulul Quran,
kepentingan membangun Negara digugat. Di samping itu angka pengangguran semakin
bertambah di tengah laju pertumbuhan ekonomi.
Kasus rendahnya adaptasi
lulusan sekolah menjadi tuntutan pasar sekaligus menjadi persoalan pertama
dalam mengatasi
kemiskinan global. Belum lagi Lembaga pemerintah yang terpercaya
dalam memberantas kasus korupsi ternyata gagal dalam mengungkap kasus korupsi
yang terencana dan professional.
Keterlibatan sejumlah
pejabat tinggi Negara dan kejaksaan membuat tidak ada lagi yang bisa dipercaya
dalam menegakkan keadilan. Pejabat dan wakil rakyat miskin secara hati nurani
sehingga menghasilkan mentalitas koruptor.
Sedemikian parahkah Negeri
ini? korupsi dinyatakan sebagai
akibat sikap mentalitas bangsa Indonesia yang suka menerabas yaitu mentalitas
yang terkait dengan trend hidup masa kini yaitu, konsumerisme dan hedonisme
yang berikutnya menghasilkan sikap permisif.
Mereka hanya memikirkan
kesenangan diri tanpa memperdulikan klaim negatif dari norma sosial. Mereka
mengaburkan batas etika. Korupsi menjadi sebuah kejahatan yang struktural
sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola. Nasionalisme yang
dibanggakan telah beralih kepada nasionalisme yang simbolistis dan cendrung
destruktif pada dirinya sendiri.
Jika kecendrungan manusia
di zaman globalisasi yang didukung dengan kemajuan teknologi ini cendrung
memperlihatkan sisi egoisitas dalam memenuhi kebutuhan materialnya, maka ada
baiknya juga menggunaka ego untuk memenuhi kebutuhan spiritual kepada Allah
yang sebenarnya menjadi ikatan primordial antara hamba dan Tuhan-Nya (Hablum
min Allah wa hablum minan-naas).
Karena secara psikologis
ego merupakan pusat pencerapan dan kesadaranyang memberi kesempatan dan
kemampuan untuk memiliki kesadaran diri sepenuhnya. Dan ego tidak lagi dipahami
dengan opini negatif.
Kesadaran yang mendasar
terhadap perisitiwa Nuzulul Quran memberikan akses kepada esensi al-Quran
dengan keanekaragaman dimensi dan nilai holisitiknya. Bersamaan dengan itu
keraguan terhadap al-Quran hilang dan digantikan dengan keyakinan yang teguh.
Keyakinan yang teguh kepada al-Quran setelah dengan melakukan pencerapan dan
penghayatan dapat membuka pintu-pintu hidayahnya sebagai sumber etika dan nilai
universal.
Al-Quran sebagai Kalamullah
secara komprehensif terbukti telah mencerahkan eksistensi kebenaran dan moral
manusia. Mukjizat dan wahyu yang menjadi kitab bagi ummat Islam khususnya dan
seluruh ummat pada umumnya tidak habis-habisnya menguraikan secara detail
subtansi kebenaran. Ayat-ayatnya senantiasa melahirkan interpretasi filosofis
yang menggugat infiltrasi pemikiran kebenaran semu bahkan menyesatkan dari para
pemikir non wahyu.
Al-Quran yang membuka ruang
penafsiran secara tipikal menukik pada akal orisinil dan langsung menyentuh
aspek mendasar dalam kehidupan, yaitu etika dan moral dalam hubungannya sebagai
hamba dengan Sang Khaliq-Allah.
Salah satu penyebab utama
kekerasan dan konflik yang dialami ummat manusia karena tidak menjadikan
al-Quran sebagai sumber nilai etika dan moral. Keadaan ini menurut Harun Yahya
seorang Filsuf Islam Kontemporer adalah dengan mengupayakan nilai-nilai moral
dan etika dalam al-Quran diberlakukan dalam kehidupan.
Allah Swt telah berbicara
dalam al-Quran tentang kaidah besar seperti keadilan, perdamaian, kebenaran,
Iman dan Islam. Dia juga berbicara tentang muamalah dan pandangan hidup.
Problem apapun yang terjadi, krisis apapun yang berlaku, solusi dan
penawarannya ada di dalam al-Quran.
Dengan semangat baru,
Nuzulul quran menjadi momentum efektif jika Al-Quran dijadikan sebagai solusi
problem kehidupan yang memberitahukan tuntutan yang harus dilaksanakannya dalam
membangkitkan berbagai niiai yang diinginkan dalam penyucian jiwa.
Membaca al-Quran sebagai
jalan mencari solusi juga menyempurnakan ibadah lainnya. Ia dapat berfungsi
dengan baik jika dalam membacanya disertai dengan adab-adab batin dalam
perenungan, khusyu’ dan mentadabburinya yang akhirnya banyak mendatangkan
manfaat berupa petunjuk dari Allah, inspirasi dan basis imajenasi.
Bertadabbur berarti
memperhatikan dan merenungi makna-maknanya. Bahkan Ibnu Mas’ud berkata, “Barang
siapa yang menghendaki ilmu orang-orang yang terdahulu dan ilmu orang-orang
yang akan datang, hendaklah ia mendalami Al-Quran“.
Kitab Ummat islam ini
memberikan pedoman serta jalan yang lurus yang mampu menghindari buruknya
kesesatan. Etika kehidupan dan akhlak kan’mah terangkum dalam Al-Quran. Bahkan,
Rasulullah sendiri dibina akhlaknya langsung oleh Al-Quran.
C. PENUTUP
D. Melalui Nuzulul Quran ini,
mari bersama membangun Indonesia dengan spririt keimanan dan keislaman.
Menjadikan akhlak Rasulullah sebagai basis sumber
daya manusia. Akhirnya Nuzulul Quran di masa lalu membawa pesan yang sama di
masa kini dan akan selalu menjadi landasan structural yang abadi di masa
mendatang. Amin.
Akhirnya bisa kita simpulkan bahwa :
1. Masa lalu tidaklah usang
dan ia menjadi pendahulu masa kini. Maka dari itu, upaya memahami makna nuzulul
Quran pada saat sekarang ini sama sekali tidak menghilangkan makna dan konteks
terdahulu, melainkan merangkumnya untuk kemudian diteruskan hingga kini. Ada
semacam harapan yang harus terpenuhi
dalam menghadapi tantangan global saat ini sebagaimana Rasulullah juga
menghadapi tantangan dan ujian yang berat
2. Setelah melihat konteks
nuzulul Quran, tugas selanjutnya ialah melakukan kontektualisasi ajaran dan
pesan yang terkandung dalam peristiwa nuzulul Quran.
3. Kita harus selalu
berdampingan dengan al-Quran dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatan.
Persahabatan kita dengan al-Quran baru sebatas pragmatis dan belum menjadi
sesuatu yang harmonis sehingga al-Quran belum membuka solusi terhadap problem
kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar