STOP GRATIFIKASI KUA

STOP GRATIFIKASI KUA

Senin, 08 Juni 2015

PENUNJUKAN WALI HAKIM






 I.  LATAR BELAKANG
Dalam istilah fikih, wali termasuk rukun (nikah), yakni salah satu unsur perbuatan hukum yang apabila unsur tersebut tidak terpenuhi maka suatu pcrbuatan hukum itu(nikah) berakibat tidak sah menurut syar'i. Dan ketentuan ini berlaku juga dalam UU No. I Tahun 1974 tentang Hukunl perkawinan.yang berlaku di Indonesia. Bahkan dalam salah satu Hadis nabi disebutkan bahwa siapapun
Wanita yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal.(Hadis riwayat Ahmad dari Aisyah RA)

Kemudian dalam ketentuan yang lainnya dinyatakaun bahwa bagi seorang­ perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, atau wanita berhalangan, tidak memenuhi syarat, mafqud ( tidak di ketahui alamatnya), atau walinya adhal (menolak mcnjadi wali), maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan menggunakan wali hakim (Hadis Aisyah /PMA No.2 Tahun 1987). Dalam hadis nabi wali hakim disebut dengan istilah sulthan (pemegang kekuasaan).

II. POKOK MASALAH
            Ketentuan wali hakim ini sebenarnya berasal dari hadis Aisyah yang Iengkap­nya berbunyi: "Siapapun perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, dan sulthan itu sebagai wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah yang disebut dengan sulthan dalam sebuah negara yang kepala negra­nya adalah presiden.

III. PEMBAHASAN
Sebagai agama yang sempurna Islam menjadi satu-satunya agama yang ajarannya meliputi segala aspek kehidupan. Tidak saja meng­atur tentang ubudiahhucliuh, tetapi juga menyentuh berbagai sistem kehidupan, seperti sistem sosial, hukum, moral dan lain sebagainya. Salah satu diantarnya yang paling menonjol dalam Islam adalah sistem hukum, baik yang menyangkut bidang maupun pidana.

Dalam bidang perdata, salah satu pembahasan yang paling erat kaitannva dengan kehidupan sehari-hari adalah masalah pernikahan. Olch karena itu dalam hukum pernikahan Islam diatur segalala yang berkaitan dengannya, mulai dari syarat rukun hingga akibat hukum dari pernikahan. ltu scmua bcrtujuan agar, di samping pernikahan itu termasuk satu aktifitas ibadah juga mcrupakan suatu Iembaga yang setiap orang diharapkan memperoleh kepuasan perasaan dan seksual serta sebagai perlindungan moral.

Oleh karena itu untuk mewujudkan cita-cita ideal dan tercapaiya norma agama di atas, sangat wajar jika aturan perkawinan Islam begitu rinci dan sempurna. Ini bisa dilihat dalam berbagai kitab fikih maupun buku-buku perkawinan, pembahasan nikah selalu dimulai dari definisi dan dasar hukumnya hingga persoalan hubungan suami-istri dalam rumah tangga, bahkan sampai persoalan seandainya pernikahan itu putus, hukum lslam masih memberikan ketentuan-ketentuan yang jelas.

Dalam istilah fikih, wali termasuk rukun (nikah), yakni salah satu unsur perbuatan hukum yang apabila unsur tersebut tidak terpenuhi maka suatu pcrbuatan hukum itu(nikah) berakibat tidak sah menurut syar'i. Dan ketentuan ini berlaku juga dalam UU No. I Tahun 1974 tentang Hukunl perkawinan.yang berlaku di Indonesia. Bahkan dalam salah satu Hadis nabi disebutkan bahwa siapapun
Wanita yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal.(Hadis riwayat Ahmad dari Aisyah RA)

Kemudian dalam ketentuan yang lainnya dinyatakaun bahwa bagi seorang­ perempuan yang tidak mempunyai wali nasab, atau wanita berhalangan, tidak memenuhi syarat, mafqud ( tidak di ketahui alamatnya), atau walinya adhal (menolak mcnjadi wali), maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan menggunakan wali hakim (Hadis Aisyah /PMA No.2 Tahun 1987). Dalam hadis nabi wali hakim disebut dengan istilah sulthan (pemegang kekuasaan).

Salah satu  fungsi wali dalam perkawi­nan adalah sebagai orang yang bcrtindak menikahkan calon mempelai wanita atau yang memberi izin pernikahannya. Oleh
sebab itu untuk menjadi wali diperlukan syarat-syarat tertentu, diantaranya harus beragama lslam, baligh, bcrakal, tidak di­paksa, jelas lelakinya, adil (bukan fasik), tidak sedang ihrom haji atau umroh, tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah), tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya . Ketentuan ini berla­ku baik untuk wali nasab maupun wali hakim.

Kemudian, karcna nikah itu termasuk perbuatan ibadah serta agar tujuan perkawinan ­itu benar-benar tercapai dengan sempurna maka di samping adanya syarat wali di atas, juga ditentukan urutan ke­dudukan kelompok wali yang didasarkan atas erat tidaknya dengan calon mempelai wanita. Kclompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterus­nya. Kedua adalah kerabat saudara laki-laki kandung dan saudara taki-laki seayah dan keturunan anak laki-laki mereka.

Ketiga adalah kelompok kerabat pa­man, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara laki-laki seayah dari ketu­runan anak laki-laki mereka. Keempat adalah saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, keturunan anak laki-laki mereka. Apabila yang pal­ing berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali yang lain me­nurut urutan derajat berikutnya. Untuk se­lanjutnya, bilamana keseluruhan wali na­sab tidak ada atau berhalangan, tidak me­menuhi syarat, mafqud atau adhal(meno­lak ) maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan menggunakan wali hakim.
                                                                                               
Ketentuan wali hakim ini sebenarnya berasal dari hadis Aisyah yang Iengkap­nya berbunyi: "Siapapun perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, dan sulthan itu sebagai wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah yang disebut dengan sulthan dalam sebuah negara yang kepala negra­nya adalah presiden.

Hal ini dikemukakan karena masalah tersebut mempunyai dampak ke berbagai hal. Pertama , kalau istilah sulthan di atas diartikan kepala negara/presiden, maka yang berkewajiban menjadi wali hakim presiden itu sendiri. Seandainya mewakilkan kepada orang lain, siapa pejabat yang berhak ditunjuk menjadi wali hakim, apakah Menteri Agama, Kepala Kanwil, Kepala Kandepag atau Kepala KUA Kecamatan. Kedua, bagaimana kalau kepala negara tersebut seorang perempuan, atau tidak memenuhi syarat-syarat perwalian lainnya, siapa yang akan bertindak sebagai wali hakim?
                                                                                                           
Kalau memperlihatkan bunyi hadis serta praktek di zaman Nabi, juga perkembangan sistem politok dan birokasi saat ini, kata sulthan bisadiartikan dua-duanya. Sulthan diartikan pemerintah jika kita kaitkan dengan sistem birokasi, sebab dalam sistem birokasi kita mengenal istilah atau teori distribution of power, yaitu pembagian kekuasaan berdasarkan bidang-bidang tertentu. Misalnya di Indonesia terdapat beberapa departemen yang menangani urusannya masing-masing.

Disamping sulthan juga dapat diartikan orang perorang, yakni kepala negara. Secara historis, penunjukan kepala negara sebagai sulthan sebagaimana paktek di zaman Nabi minimal memiliki dua alasan mengapa ia tidak memerlukan pembantu atau wakil dalam menjalankan tugasnya, sehingga dalam urusan perwalianpun diserahkan kepadanya. Pertama berkaitan dengan faktor geografis, karena waktun itu wilayah suatu negara tidak begitu luas, maka kepala negara mampu menjalankan tugasnya sendiri tanpa membutuhkan pembantu atau wakil di daerah sebagaimana teori distribution of power tersebut. Tetapi untuk saat ini, dimana perkembangan wilayah suatu negara sedemikian pesat dan luasnya, maka kondisi semacam itu tidak mungkin dipraktekkan pada masa sejkarang ini.

Kedua, istilah sulthan di zaman Nabi tidak hanya bertugas mengatur dan mengurusi kenegaraan saja, tetapi juga berfungsi sebagai mufti (pemberi fatwa) dan qaldi. Maka wajar saja kalau urusan-urusan hukum dan agama (termasuk menjadi wali hakim) diserahkan sepenuhnya kepada kepala negara.

Dari kedua arti sulthqan di atas, disimpulkan bahwa istilah sulthan pada saat itu lebih cenderung berarti pemerintah. Hal ini sesuai pula dengan istilah yang digunakan oleh istilah hukum perkawinan di indonesia, bahwa wali sulthan semacam itu deisebut dengan istilah wali hakim, yakni wali yang kewenangan dan penunjukan dilakukan oleh pemerintah, meskipun dalam hadis nabi menyebutkan wali as sulthan. Sebab informasi tambahan bahwa dalam literatur Arab, kata hakim hanya memiliki dua arti, yakni Allah dan pemerintah.

Sedang  arti sulthan sebagai seoprang individu (kepala negara/presiden), hal itu hanya menunjuk pada praktek zaman Nabi. Jadi istilah sulthan seperti ini tidak tepat dan sangat tidak mungkin digunakan untuk menyebut seorang kepala negara atau presiden untuk saat ini, kecuali kalau fungsi dan peran presiden sekarang sama dengan tugas Nabi.

Sedang arti sulthan sebagai seorang individu (kepala negara/presiden), hal itu nhanya menunjuk pada praktek zaman Nabi. Jadi istilah sulthan seperti ini tidak tepat dan sangat tidak mungkin digunakan untuk menyebut seorang kepala negara atau presiden untuk saat ini, kecuali kalau fungsi dan peran presiden sama dengan tugas sulthan di zaman Nabi.

Disamping itu juga para pejabat yang mempunyai tanggung jawab langsung terhadap bidang perkawinan, seperti Kabid Urusan Agama Islam beserta kasinya ditingkat Kanwil, Kasi Urusan Agama Islam dan Kasubsi kepenghuluan ditingkat Kandepag dan para wakil PPN. Dengan satu syarat, sebelumnya ada penunjukan lebih dulu oleh kepala KUA. Sebab berdasar pasal  ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987, Kepala KUA adalah pihak pertama yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai Wali Hakim. Oleh karena itu apabila pihak-pihak lain tersebut akan bertindak menjadi wali hakim, maka sebagaimana ketentuan pasal 1 poin b PMA tersebut, harus ada penunjukan telebih dahulu oleh pejabat yang telah ditunjuk oleh Menteri Agama, yakni Kepala KUA.

Di samping itu dengan mengartikan sulthan sebagai pemerintah, persoalan seandainya kepala negara itu seorang perempuan atau tidak memenuhi syarat-syarat perwalian lainnya, maka dengan sendirinya sistem perwalian hakimnya tetap sah. Berbeda jika sulthan berarti orang perorang, atau individu seorang kepala negara, maka jika kepala negara tersebut tidak memenuhi syarat wali, sistem perwalian hakimnya menjadi tidak sah.
            Wallahu a’lam


BENARKAH HAK TALAK HANYA DI TANGAN SUAMI


 
I.  LATAR BELAKANG
­
Dalam organisasi keluarga, laki-laki adalah kepala dan pengawas secara ke seluruhan. Anggota tertua dalamkelu­arga, menduduki tempat kepala. Tang­gung jawab kehidupan keluarga terletak di tangan laki-laki, menjaminnya secara materi dan ekonomi, memelihara hubu­ngarp keluarga dengan masyarakat lain­nya baik secara ekonomi rnaupun ke­bijaksanaan, serta menjaga disiplin di dalam keluarga. Adalah adil jika wanita itu tunduk dan patuh karena sadar bahwa Allah telah memberikan kepadanya seorang pelindung.
Tetapi karena alasan-alasan itu, a­khirnya berkembang di kalangan ahli fikih satu pandangan bahwa perceraian itu merupakan hak eksklusif kaum pria. Dengan menonjolkan kelebihan-kelebi­han yang dimiliki kauin pria serta me­manfaatkan kelemahan-kelemahan ka­um wanita dalam hal-hal tertentu, para ahli figih mengambil satu kesimpulan bahwa Islam menjadikan hak percerai­an hanya ditangan kaum pria saja.

II. POKOK MASALAH
Terlepas dari benar atau tidaknya, ternyata para ahli fikih telah menjadikan perbedaan sifat alamiah manusia serta perbedaan peran antara suami dan isteri sebagai alasan diberikannya hak per­ceraian kepada suami.
Sebagai agama yang menekankan keadilan, dalam hal perceraian sebenarnya Islam bermaksud memberikan status yang setara antara laki-laki dan perem­puan. Sebagainiana yang telah kita lihat bahwa AI Qur'an menuntut diadakan­nya perundingan sebelum perceraian terjadi, seperti firman Allah dalam surat An Nisa' ayat 35 dan 128.
Disamping itu, penetapan laki-laki lebih tinggi derajatnyadari wanita (2:228) hanyalah menunjukkan bahwa laki-laki itu adalah pernimpin rumah tangga, bukan menunjukkan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari pada wanita. Atas dasar itulah, timbul pertanyaan bagi penulis, benarkah hak talak hanya di tangan suami ?

III. PEMBAHASAN
Sebagian ahli fiqih dalam memberikan definisi perka­winan cenderung hanya me­nonjolkan aspek lahiriah yang bersifat normatif dari hakekat perkawinan, sehingga timbul kesan se­olah-olah akibat dari sahnya perkawi­nan hanya terbatas pada timbulnya ke bolehan atas sesuatu yang sebelumnya dilarang, yakni berhubungan badan an­tara seorang laki-laki dan perempuan.
Pemahaman di atas muncul akibat dari pengertian "nikah"yang mereka definisikan. Para ahli fikih pengikut mazhab yang empat biasanya mendefinisikan"nikah" sebagai akad antara seorang laki-laki dan perempuan yang menjadikan bolehnya berhubungan badan diantaranya.­
            Hal ini didasarkan atas tuntunan moral Islam yang menghendaki agar manusia , menjaga diri dari per­buatan-perbuatan yang dilarang Allah. Dalam hal ini adalah perbuatan zina. Maka untuk menjaga kese­lmatan moral manusia, satu-satunya cara untuk menjadikan yang haram menjadi halal adalah dengan melaksana pernikahan, dan dari sinilah aspek normatif dari sebuah perkawinan menjadi paling menonjol.
Tetapi apabila pemahaman tentang perkawinan lebih diperdalam lagi, maka sesungguhnya gambaran diatas tidak sepenuhnya menunjukkan hakekat perkawinan  secara utuh. Apa yang dikemukakan tadi tidak lain hanyalah salah satu tujuan saja dari perkawinan. Dalam pelbagai ayat Al’Ouran sering disinggung mengenai ikatan wanita dan pria. Ayat-ayat tersebut diantaranya ada yang menjelaskan tentang hubungan an­tara keduanya serta hak-hak dan kewa­jiban masing-ma,ing. Hal ini secara g ris besar dapat dipahami dari firman Al­lah dalam surat Al Baqarah ayat 228.
Atas dasar ayat di atas, Islam mengu­kuhkan hubungan antara pasangan su­mai istri atas dasar keseimbangan, ke­harmonisan dan keadilan. Wanita mempunyai hak yang wajib dipikul suami­nya, sebagai perimbangan bagi hak suami yang wajib dipikul oleh isterinya menurut aturan-aturan agama.
             Da1am pemahaman dan penghayatan seperti itulah kemudian Abu Zahrah menyusun definisi nikah atau perkawinan sebagai satu akad yang menjadikan halnya hubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan, tolong menolong antara keduanya dan menyatunya hak-hak serta kewajiban kedua-nya.
Hampir sama dengan definisi tersebut adalah definisi nikah yang dikemukakan oleh Dr Muhamad Yusuf Musa, menurutnya nikah adalah akad yang menghalalkan bagi setiap pasangan u­tuk bersenang-senang dengan pasangannya atas dasar ketentuan yang digaris­kan syariat serta menjadikan bagi keduanya hak dan kewajiban atas yang lain­nya.
Dengan demikian, disamping Islammenerima lembaga perkawinan itu agar setiap orang memperoleh kepuasan perasaan dan seksual serta, sebagai perlindungan moral, juga diharap­kan dari perkawinan, akan timbul jalinan hak serta kewajiban­kewajiban yang diletakkan sebagai dasar kehidupan keluarga, dengan tujuan untuk memperoleh pola si­kap dan tindakan yang hendak diwujudkan Islam bagi individu dan masyarakat. Keseimbangan peran, persamaan hak dan ke wajiban yang baru telah ditetapkan dalam hubungan antara suami isteri, antara orangtua dan anak-anaknya dan dengan pihak-pi­hak di luar Iingkungan keluarga.      '
            Untuk itu setelah berlangsung akad nikah, maka oleh Islam antara suami dan isteri diikat ketentuan-ketentuan agama yang berhubungan dengaa kehidupan suami isteri. Agama menetapka bahwa suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu  yang menjadi hak is­teri, demikian isteri mempunyai kewajiban-kewajiban yang menjadi hak suami. Tetapi meskipun, oleh Al Quran suami diberi derajat setingkat lebih tinggi dari isterinya (Al Baqarah ayat 228).
Masalah perbedaan derajat, oleh para para mufassir ditafsirkan dengan mengkaitkannya dengan ayat-ayat yang lain,yaitu kaum pria berfungsi sebagai pelin­dung kaum wanita serta penyelenggara seluruh urusan keluarganya. Allah me­nentukan demikian karena kaum pria harus lebih banyak memeras daya upaya­nya.
Dalam organisasi keluarga, laki-laki adalah kepala dan pengawas secara ke seluruhan. Anggota tertua dalamkelu­arga, menduduki tempat kepala. Tang­gung jawab kehidupan keluarga terletak di tangan laki-laki, menjaminnya secara materi dan ekonomi, memelihara hubu­ngarp keluarga dengan masyarakat lain­nya baik secara ekonomi rnaupun ke­bijaksanaan, serta menjaga disiplin di dalam keluarga. Adalah adil jika wanita itu tunduk dan patuh karena sadar bahwa Allah telah memberikan kepadanya seorang pelindung.
Tetapi karena alasan-alasan itu, a­khirnya berkembang di kalangan ahli fikih satu pandangan bahwa perceraian itu merupakan hak eksklusif kaum pria. Dengan menonjolkan kelebihan-kelebi­han yang dimiliki kauin pria serta me­manfaatkan kelemahan-kelemahan ka­um wanita dalam hal-hal tertentu, para ahli figih mengambil satu kesimpulan bahwa Islam menjadikan hak percerai­an hanya ditangan kaum pria saja.
Mereka beragumen, bahwa kaum pria lebih bersungguh-sungguh untuk melanggengkan ikatan perkawinan, ka­rena untuk yang satu ini ia banyak menghabiskan biaya, sehingga apabila ia ber­cerai dan ingin kawin lagi tentu membu­tuhkan biaya yang lebih besar. Disamping itu ia juga dibebani untuk mem­bayar sisa mahar kepada isterinya yang dicerai, memberikan mut'ah (hadiah) talak dan memberikan nafkah selama ma­sa ‘iddah Karena kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itulah Is­lam menjadikan hak bercerai kepada la­ki-laki.
           Alasan lain yang dikemukakan para ahli fikih adalah dari segi penalaran dan tabiatnya. Kaum pria itu lebih sabar menghadapi segala tekanan dari pada kaum perempuan dan ia tidak tergesa-gesa untuk bercerai karena rasa marah. Sedangkan kaum perempuan biasanya lebih cepat marah dan kurang pertimbangan. Hal ini menurut mereka disebabkan oleh tidak adanya beban yanhg ditanggung leh pihak perempuan setelah cerai sebagaimana yang diwajibkan kepada laki-laki,sehingga wajar apabila ia mudah berpikir untuk melepas ikatan perkawinan apabia terjadi hal-hal meskipun sifatnya sepele.
Hal lain yang memberikan wewe­nang kepada suami untuk menceraikan isterinva ialah bahwa laki-laki itu dalani menimbang suatu masalah yang diha­dapinya lebih banyak menggunakan pi­kiran dibanding dengan perasaannya, sedang kaum wanita sebaliknya. ia lebih banvak menggunakan perasaan diband­ing dengan pikirannya.
Terlepas dari benar atau tidaknya, ternyata para ahli fikih telah menjadikan perbedaan sifat alamiah manusia serta perbedaan peran antara suami dan isteri sebagai alasan diberikannya hak per­ceraian kepada suami.
Sebagai agama yang menekankan keadilan, dalam hal perceraian sebenarnya Islam bermaksud memberikan status yang setara antara laki-laki dan perem­puan. Sebagainiana yang telah kita lihat bahwa AI Qur'an menuntut diadakan­nya perundingan sebelum perceraian terjadi, seperti firman Allah dalam surat An Nisa' ayat 35 dan 128.
Disamping itu, penetapan laki-laki lebih tinggi derajatnyadari wanita (2:228) hanyalah menunjukkan bahwa laki-laki itu adalah pernimpin rumah tangga, bukan menunjukkan bahwa laki-laki lebih berkuasa dari pada wanita.
Jadi ketika Al Qur'an memberikan kelebihan tertentu bagi laki-laki atas pe rempuan, Al Qur'an menjelaslkan bahwa hal ini bukan karena kelemahan yang ada pada diri perempuan, tetapi karena konteks sosialnya, dalam hal ini adalah peran yang dimiliki oleh masing-ma­sing pihak. Sedang perbedaan peran ti­dak mengandung arti ada yang lebih dari yang lain. Sebagai contoh. apakah seorang dokter Iebih atas dibanding, ar­sitek, atau seorang penyanyi lebih atas dibanding seorang guru. Jadi peran itu bukan berarti rnenunjukkan yang satu memiliki kelebihan yang lain, tetapi pe­ranserta yang satu menjadi pelengkap bagi yang lain dalam setiap pekerjaan.
Dengan demikian, jelas bahwa ke­unggulan yang  diberikan Allah kepada laki-laki adalah keunggulan fungsi so­sialnva. Laki-laki mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan, maka ia memperoleh keunggulan fungsional atas perempuan.
Tetapi sekarang, ketika kaum perempuan mulai memproklamirkan bahwa pekerjaan rumah tangga perempuan ju­ga harus diperhitungkan sebagai peker­jaan produktif secara ekonomi dan tidak dapat begitu saja dianggap sebagai ke­wajiban rumah tangga mereka, maka alasan-alasan yang bersifat ekonomi yang dikemukakan di atas menjadi ku­rang tepat. Sebab dengan adanva fungsi yang berbeda, maka mengakibatkan tanggung jawab yang berbeda, yaitu se­suai dengan peran masing-masing.
Tugas perempuan sebenarnya juga membawakan peran dalam soal ekono­mi sama dengan laki-laki. Dengan de­mikian malah dapat dikatakan bahwa ti­dak ada keunggulan fungsional antara laki-laki dan perempuan, tetapi yang ada adalah perbedaan fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan.
Kemudian tentang kelemahan-kele­mahan perempuan yang juga menjadi alasan diberikannya hak bercerai kepa­da laki-laki sebagaimana diantur bebe­rapa spekulatif dan bersifat relatif, se­bab penulis beralasan bahwa apabila di lihat dalam masalah pemeliharaan anak, mayoritas ulama fikih berpendapat bah wa ibu lebih berhak atas anaknya, de­ngan alasan ibu lebih dekat dengan anak dan mencintainya lebih mendalam dari pada siapapun, dan juga ini adalah ma­salah kesejahteraan anak dan bukan ha­nya salah satu hak orang tuanya saja.
Dengan dasar ini dapat dibuktikan bahwa apa yang dituduhkan kepada pe­rempuan itu tidak benar, sebab apabila dikatakan perempuan itu emosinya selalu tidak stabil, maka tidak mungkin masalah pemeliharaan anak diserahkan ke pada ibunya. Sebab dalam mengasuh dan mendidik anak dibutuhkan kesabar­an dan rasa tanggung jawab yang tinggi, dan dengan diserahkannya hak menga­suh anak kepada fihak perempuan berarti diakui adanva sifat-sifat tersebut pada diri perempuan.
Jadi dalam Islam, perkawinan itu di­garnbarkan sebagai persekutuan antara dua pihak dengan penuh kedamaian dan kasih sayan. Masing-masing mempu­nyai hak yang seimbang dengan kewajibannya. Sebagaimana laki-laki memiliki hak atas perempuan, perempuan memiliki hak atas laki-1aki. Demikian juga perempuan memiliki kewajiban terhadap laki-laki, laki-laki juga memilikin kewajiban terhadapwanita.

HAMIL TUA TAPI MASIH DI BAWAH UMUR





I. LATAR BELAKANG
Salah satu problem sosial yang melanggar norma dan agam yang akhir-akhir ini kembali marak adalah : pergaulan bebas para remaja. Pra remaja yang sedang dalamn masa dinamis biasanya paling cepat dalam berinteraksi, baik dengan sesama remaja ataupun  lainnya. Terjadinya interaksi ini akhrinya menimbulkan beberapa akibat, seperti munculnya jenis-jenis perikatan dalam masyarakat. Salah satu bentuk perikatan atau hubungan diantaranya terjadi atas dasar suka sama suka,  dan khusus di kalangan remaja, hubungan atas dasar suka sama suka biasanya berlanjut dengan hubungan cinta.
Apabila remaja tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang makna cinta maka sering terjadi salah pengertian diantara mereka bahwa cinta identik dengan seks, dan lebih parah lagi, mereka sama sekali buta tentang pendidikan seks. Maka akibat dari semua itu adalah banyaknya kehamilan di luar nikah. Dari sini muncul masalah yang lebih rumit lagi, yang bukan sekedar persoalan moral, tetapi lebih menyangkut hukum perkawinan dan status seorang anak.
Tetapi dengan berbagai pertimbangan , akhirnya  undang-undang memperbolehkan yang bersangkutan untuk dinikahkan Hal ini dilakukan bukan bermaksud memberi peluang terjadi perbuatan itu terulang kembali, tetapi sesungguhnya untuk melindungi status anak yang akan dilahirkan nanti. Meskipun demikian permasalahnya tidak berhenti sampai disitu, masih terdapat persoalan yang segera membutuhkan jawaban, yakni masih dalam kasus hamil diluar nikah, tetapi wanita yang bersangkutan masih berusia dibawah umur dalam keadaan hamil tua

II. POKOK MASALAH
Yang menjadi persoalan disini menyangkut lamanya waktu yang dibutuhkan dalam mengajukan dispensasi umur serta kaitannya dengan usia kehamilan. Sebab seperti yang kita ketahui bersama bahwa untuk pernikahan dibawah umur dibutuhkan dispensasi atau izin dari Pengadilan Agama, sebagaimana ketentuan pasal 7 ayat(1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 serta pasal 15 ayat (1) dan (2) Kompilasi hukum Islam bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria sudah berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Apabila pihak-pihak yang bersangkutan belum mencapai umur sebagaimana yang ditentukan maka harus minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain.
Dalamkondisi normal, ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 1 / 1974 dan KHI diatas masih dapat / dimungkinkan berlakunya., Tetapi dalam kondisi yang mendesak, dalam kasus ini wanita yang masih berusia dibawah umur tersebut dalam keadaan hamil tua, maka aturan yang mengharuskan calon pengnatin memperoleh dispensasi umur dari pengadilan akan menemui hambatan. Sebagai misal, entah karena alasan takut atau malu,seorang wanita yang sudah terlanjur  hamil diluar nikah terlambat melaporkan kehendak nikahnya ke KUA, padahal usia kehamilannya sudah berumur tujuh atau bahkan delapan bulan. Di satu sisi, untuk memperoleh dispensasi dari pengadilan tentunya harus melalui prosedur sebagaiman ditetapkan, sudah barang tentu termasuk pelaksanaan sidang pengadilan yang tidak cukup hanya memakan waktu satu dua hari.

III. PEMBAHASAN
Akibat pesatnya Pembangunan di berbagai bidang, interaksi manusia mengalami perkembangan yang luar  biasa. Hal itu ditandai dengan berkembangnya teknologi informasi yang seolah-olah menghapuskan jarak antar titik dibelahan bumi.  Kemajuaninformasi benar-benar mampu mengantarkanmamnusia dalamsebuah kehidupan yang tidak pernah ditemuai pada abad-abad sebelumnya. Akibat itu semnua, terdapat pengaruh positif dan negatif dalam bidang-bidang lainnya.  Dari sisi positif, kita dapat dengan mudah mengikuti arus informasi secara cepat, sehingga setiap terjadi perkembangan kita bisa mengikutinya, yang selanjutnya dapat memacu kita untuk lebih maju dan berkembang. Yang perlu kita perhatikan adalah aspek negatifnya,khususnya pengaruhnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Tidak dapat dipungkiri, berkembangnya dunia informasi ternyata tidak diimbangi dengan sikap mental keagamaan yang kuta. Kita ambil contoh saja materi siaran televisi, antara informasi yang bersifat keagamaan. Bahakan kalau kita lihat dalam internet, dari sekian home page yang ada, informasi moral keagamaan hanya setitik debu dipadang pasir saja. Maka wajar jika pengaruh materialistis hedonis lebih cepat diserap masyarakat dibanding moralitas ruhaniah. Akibatnya perilaku-perilkauy yang menyimpang dari moral dan norma agama semakin merebak dalam kehidupan sehari-hari.. Sebagai salah satu penyebabnya adalah penerimaan bahan informasi yang sangat terbuka dan mudah didapat, sedang agama yang seharusnya berfungsis sebagai kontrol maupun sensor semakin menghilang gemanya.
Salah satu problem sosial yang melanggar norma dan agam yang akhir-akhir ini kembali marak adalah : pergaulan bebas para remaja. Pra remaja yang sedang dalamn masa dinamis biasanya paling cepat dalam berinteraksi, baik dengan sesama remaja ataupun  lainnya. Terjadinya interaksi ini akhrinya menimbulkan beberapa akibat, seperti munculnya jenis-jenis perikatan dalam masyarakat. Salah satu bentuk perikatan atau hubungan diantaranya terjadi atas dasar suka sama suka,  dan khusus di kalangan remaja, hubungan atas dasar suka sama suka biasanya berlanjut dengan hubungan cinta.
Apabila remaja tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang makna cinta maka sering terjadi salah pengertian diantara mereka bahwa cinta identik dengan seks, dan lebih parah lagi, mereka sama sekali buta tentang pendidikan seks. Maka akibat dari semua itu adalah banyaknya kehamilan di luar nikah. Dari sini muncul masalah yang lebih rumit lagi, yang bukan sekedar persoalan moral, tetapi lebih menyangkut hukum perkawinan dan status seorang anak.
Tetapi dengan berbagai pertimbangan , akhirnya  undang-undang memperbolehkan yang bersangkutan untuk dinikahkan Hal ini dilakukan bukan bermaksud memberi peluang terjadi perbuatan itu terulang kembali, tetapi sesungguhnya untuk melindungi status anak yang akan dilahirkan nanti. Meskipun demikian permasalahnya tidak berhenti sampai disitu, masih terdapat persoalan yang segera membutuhkan jawaban, yakni masih dalam kasus hamil diluar nikah, tetapi wanita yang bersangkutan masih berusia dibawah umur dalam keadaan hamil tua.
Yang menjadi persoalan disini menyangkut lamanya waktu yang dibutuhkan dalam mengajukan dispensasi umur serta kaitannya dengan usia kehamilan. Sebab seperti yang kita ketahui bersama bahwa untuk pernikahan dibawah umur dibutuhkan dispensasi atau izin dari Pengadilan Agama, sebagaimana ketentuan pasal 7 ayat(1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 serta pasal 15 ayat (1) dan (2) Kompilasi hukum Islam bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria sudah berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Apabila pihak-pihak yang bersangkutan belum mencapai umur sebagaimana yang ditentukan maka harus minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain.
Dalamkondisi normal, ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 1 / 1974 dan KHI diatas masih dapat / dimungkinkan berlakunya., Tetapi dalam kondisi yang mendesak, dalam kasus ini wanita yang masih berusia dibawah umur tersebut dalam keadaan hamil tua, maka aturan yang mengharuskan calon pengnatin memperoleh dispensasi umur dari pengadilan akan menemui hambatan. Sebagai misal, entah karena alasan takut atau malu,seorang wanita yang sudah terlanjur  hamil diluar nikah terlambat melaporkan kehendak nikahnya ke KUA, padahal usia kehamilannya sudah berumur tujuh atau bahkan delapan bulan. Di satu sisi, untuk memperoleh dispensasi dari pengadilan tentunya harus melalui prosedur sebagaiman ditetapkan, sudah barang tentu termasuk pelaksanaan sidang pengadilan yang tidak cukup hanya memakan waktu satu dua hari.Bahkan jika dilihat dari pengalaman yang ada, untuk memperoleh dispensasi umur dari pengadilan dibutuhkan waktu tidak kurang dari 3 bulan sejak diajukannya permohonan sampai dikeluarkannya penetapan.
Jadi memperhatikan begitu lamanya proses yang harus ditempuh dalam mengajukan dispensasi umur, tidak menutup kemungkinan wanita yang bersangkutan lebih dahulu melahirkan sebelum memperoleh ijin pengadilan. Itupun jhika hanya menjadikan pihak wanita saja yang berusai diabwah umur, bagaimana jika kedua-duanya (pihak pria dan wanita) sama-sama berusia dibawah umur, bukankah hambatan tersebut semakin berat? Belum lagi jika domisili kedua berbeda kabupaten, yang tentu saja masing-masing pihak harus mengajukan dispensasi ke pengadilan agama yang mewilayahinya, sehingga waktu yang dibutuhkan akan lebih lama lagi.
Tujuan pokok penetapan hukum Islam bagi mukallaf iualah untuk kemaslahatan hidup manusia, dan dalam mencapai kemaslahatan ini diadakan pembagian tiga kualifikasi.
-          Tingkat Dlarury, yaitu kemaslahatan yang harus diutamaklan karena menyangkut lima hal,yaitu agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.
-          Tingkat Hajjiy, diwujudkan untuk menghindari kesulitan dan kesempitan
-          Tingkat Tahsiny,diwujudkan dalam rangka memperoleh dan memperindah bangunan hukum.
Salah satu tujuan agama islam mensyariatkan perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita, serta membentuk keluarga, sebagaimana firmal Allah, “ Allah menjadikan kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezki dari yang baik-baik.”
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa tujuan pokok penetapan hukum Islam yang berkaitan dengan perkawainan adalah untuk menjaga keturunan, yaitu salah satu kemaslahatan yang harus dijaga, yang dalam pembagian tingkat kemaslahatan termasuk dalam tingkat dlaury. Karena pentingnya perkawinan itulah, segala hal yang dapat menghambat atau menghalangi perkawinan sedini mungkin harus dicegah,
Dalam kasus yang sedang kita kaji ini, kemaslahatan yang harus dilindungi termasuk dalam tingkatan dlarury, yaitu sudah terwujudnya keturunan atau janin yangdikandung pihak wanita. Maka demi kemaslahatan bayi tersebut, baik menyangkut segi kehidupan, status nasab ataupun masa depannya, sudah sepantasnyalah hal-hal yang berkaitan dengan sang bayi lebih dipentingkan. Artinya aturan-aturan formal yang justru dapat menjadi halangan hendaknya diabaikan lebih dulu. Sebab meskipun aturan-aturan itu sesungguhnya dibuat juga demi kemaslahatan, tetapi karena ada satu hal yang apabila mendahulukan kemaslahatan akan menimbulkan masadah, maka lebih baik mencegah terjadinya mafsadah lebih dahulu, baru memikirkan tentang kemaslahatan. Sebagaimana kaidah ushul fiqh : “dar’ul mafaasid muqadedamun ‘ala jalbil mashaalih”.
Jadi atas dasar itu, wanita yang berusia dibawah umur yang xxx hamil tua perlu segera dinikahkan tanpa menunggu dispensasi dari pengadilan.
Di samping itu dari segi yuridis formal, UU No. 1/1974 pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa apabila pihak-pihak belum mencapai batas umur yang ditetapkan, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain aygn ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dengan memperhatikan pasal ini, pengajuan permohonan dispensasi tidak harus ke pengadilan agama, tetapi dapat ke pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua pihak yang bersangkutan. Dengan demikian  atas dasar ketentuan di atas, juga memperhatikan lamanya waktu yang harus dilalui jika dispensasi harus minta ke Pengadilan gama, maka dalam situasi mendesak, dispensasi umur cukup dikeluarkan oleh pihak yang ada di tingkat Kecamatan, dalam hal ini Camat atau Kepala KUA. Sedang prosedurnya sama seperti yang dikehendaki UU, yakni orang tua dari pihak yang bersangkutan menunjuk salah satu diantara keuda pejabat tersebut dengan mengajukan beberapa alasan yang menyertainya.
Wallaahu a’lam.